Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi, sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya! Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,meninggalkan Pulau Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah menjadi mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan. Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoinya.
Dia mencintai suhengnya, dan melihat sikap suhengnya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suhengnya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara! Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan, menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suhengnya mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suhengnya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal dan larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hunya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suhengnya, Kam Han Ki. Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biarpun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapapun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia beium melihat daratan besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak lalu didekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka? Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubuhg tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang berk gerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak. Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini.
Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara perahu memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut, teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati. Banyak sekali di antara perajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang adakalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu, Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya, telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat perajurit. Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka.
Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya karena mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih. Adapun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar-besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!
"Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, sekarang telah terkepung menyerahlah!"
Terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil, dan mendengar ini, segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya! Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
"Basmi tentara Sung yang lalim!"
Teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, kemudian mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang. Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat keluar dari perahu besar terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya,
Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar. Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri. Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung!
Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera teringat akan cerita suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya. Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi, Si Dampit itu, lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
"Tawan dan bawa dia ke sini!"
Terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil. Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya. Apalagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya, maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
"Wuuuuttt.... tranggg....!"
Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun, manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi juga amat lihai gin-kangnya.
"Lepaskan dia....!"
Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoinya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih baersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru slnar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda, untuk melawan Maya. Namun, sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya, selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sin-kang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
"Gadis siluman!"
Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru,
"Loncat turun, bawa dia lari!"
Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya, membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka. Akan tetapi, Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran.
"Ke mana kau hendak lari, setan dampit?"
Bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang. Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang, menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke.... air!
Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biarpun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan lawan lihai seperti Si Dampit itu. Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
"Aduhhh....!"
Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya, berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok, berkata, "Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung ini!"
Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat, dan kagum bukan main, berkata,
"Li-hiap.... harap memperkenalkan nama yang mulia...."
"Cepat putar perahu!"
Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama dan dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya kebakaran dan pasukan musuh yang berloncatan itu ada yang meloncat ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahu-perahu kecil mundur! Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati, ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak, dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golokp para pengeroyok yang tadi ketika ia mengamuk tidak dirasakannya. Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget, balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi, tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam!
Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak kembarnya, Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol. Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah. dlcarl pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini. Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya seperti itu sehingga tubuh Tang Hauw Lam kurus kering dan, wajahnya selalu muram dan pucat, bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal pendidikan.
Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya. telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanakkanak dan perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka. Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa. Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan Ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih).
Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu mengubah Ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk memperlengkap ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut. Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.