Dengan berakhirnya kata-kata itu tiba-tiba Tong Kiam Ciu telah melesat pergi dengan mengerahkan ilmunya Cien-li-piauw-hong melesat bagaikan terbang, Sedangkan Cit Sio Wie pada saat itu saking gugupnya tanpa dapat mengejar.
Gadis itu hanya berseru sambil mengerahkan ilmu Pan-yok-sin-im.
"Ciu Ko tunggu !” seru Cit Sio Wie.
Saat itu Kiam Ciu mendengar seruan Cit Sio Wie yang dilambari dengan ilmu Pan-yok-sin-im maka benar-benar dia telah berhenti. Tetapi ketika ingat kelinting saktinya. Maka digerakannya kelintingan itu hingga terdengar bunyi nyaring dan bunyarlah pengaruh ilmu Pan yok stn im.
Begitulah berkali-kali terjadi dan akhirnya Tong Kiam Ciu lelah dapat kabur jauh sekali. Sedangkan Cit Sio Wie sudah tidak mampu untuk mengejarnya. Lagi pula dia tidaklah mengetahui kemana yang akan dituju oleh Tong Kiam Ciu.
Dalam pada itu Tong Kiam Ciu terus melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Pek-seng yang hilang itu. Dia masih ingat betul jalan-jalan yang harus dilaluinya. Ketika dia memasuki taman bunga hatinya berdebar. Tiada sambutan dari gadis she-Gan itu seperti pada waktu kedatangannya yang pertama, dimana gadis itu telah menyanyikan lagu sedih. Hari itu Tong Kiam Ciu merasakan seolah-olah dia telah berada ditempat itu seorang diri. Burung-burungpun ikutikutan tidak berkicau.
Dengan tergesa-gesa Tong Kiam Ciu berlari-lari menuju ke gedung mungil satu-satunya di tempa t itu. Tong Kiam Ciu akan menolong membebaskan gadis she Gan itu untuk keluar dari kota Pek-seng. Dia telah mendapatkan biji Cu-sik dari Cit Sio Wie, sedangkan akar pohon Lok-bwee-kim-keng lelah diterimanya dari pemberian Kun-si Mo-kun, kedua benda syarat pembebas gadis itu telah ada ditangan Tong Kiam Ciu saat itu. Maka dengan hati gembira Tong Kiam Ciu mendekati bangunan gedung itu.
Namun ketika beberapa langkah dia mendekati gedung mungil itu dia menjadi ragu-ragu dan menahan langkahnya. Karena ketika angin berhembus terciumlah bau yang memualkan dan hampir saja Tong Kiam Ciu tidak tahan lagi. Namun dia harus mendekati gedung dan harus mengetahui keadaan gadis she-Gan itu. Maka dengan mengenyahkan perasaan muak dan menahan pernafasan dia telah mendekati gedung. Bau yang memuakan itu bertambah menyolok, rupa-rupanya memang digedung itu ada mayat manusia atau binatang. Ketika Tong Kiam Ciu melangkah menghampiri ruang pintu depan dia telah dikejutkan dengan suatu pemandangan. Di tempat itu tampaklah mayat seorang gadis yang dalam keadaan menyedihkan. Tubuh mayat itu benar-benar telah menimbulkan bau yang memuakan hampir tidak tertahan.
Walaupun bagaimana Tong Kiam Ciu ingin pula untuk melihat wajah mayat itu. Tiba-tiba ketika dia menghampiri mayat itu terdengarlah pekikan tertahan.
"Oh Gan siocia !” seru Tong Kiam Ciu dan menutupi mulutnya dengan tapak tangan. Ternyata mayat gadis she Gan itu telah membusuk. Sedangkan debu bekas membakar kitab Pek-seng-ki-su masih berserakan di tempat itu, Maka dengan tangkas Tong Kiam Ciu lalu membuat liang dan menguburkan mayat Gan siocia.
Tong Kiam Ciu menggeledah tempat di dalam rumah gedung mungil itu dan mencari kitab Pek-seng-ki-su. Namun rupa-rupanya telah keduluan orang lain terbukti benda-benda pada berserakan.
SIAPA pula ini yang berbuat?” pikir Tong Kiam Ciu seraya memeriksa keadaan didalam gedung mungil itu.
Ketika dia memeriksa didalam rumah itu ternyata tidak diketemukan barang yang dicari, maka segeralah dia keluar. Keadaan didalam gedung yang berserakan itu dibiarkannya seperti apa adanya. Diluar masih tampak setumpuk debu bekas kertas terbakar. Namun Tong Kiam Ciu tidak dapat menduga bahwa debu yang bertumpuk dan telah mulai bertebaran ditiup angin itu adalah debu kitab Pek-seng-ki-su. Hanya satu yang diduganya, bahwa kitab pusaka itu pastilah jatuh ketangan Kwi Ong. Kalau benar kitab pusaka Pek-seng ki-su jatuh ketangan Kwi Ong. Maka alamat bahwa dunia persilatan akan kiamat. Orang yang berjiwa keji itu akan merajalela dikalangan Kang-ouw dan akan berbuat sewenang-wenang serta menginjak-injak perikemanusiaan.
"Semuanya telah menjadi ber larut-larut dan ruwet. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugasku!” pikir Tong Kiam Ciu.
Kiam Ciu meninggalkan gedung mungil itu dan kesamping taman menghampiri makam Gan siocia. Sejenak Tong Kiam Ciu berdoa di makam gadis malang itu. Dipandangnya makam yang membisu itu, kemudian dengan tekad bulat dia berjanji akan membasmi segala kejahatan.
Dengan langkah pasti ditinggalkannya tempat itu. Kepergian Tong Kiam Ciu tidak diiringkan oleh lambaian tangan. Tetapi angin kencang berhembus dan debu bekas kitab Pek-seng-ki-su berhamburan seolah-olah mengiringkan kepergiannya. Begitu pula kembang-kembang yang terdapat dipertamanan itu berhamburan seolah-olah taburan kembang dan sedaun pohon liu tertiup angin seolah-olah seruan penghuni kota Pek-seng itu mengiringi kepergian Tong Kiam Ciu. Tong Kiam Ciu telah berjanji dengan nenek di lembah Si-kok. Dia harus datang kelembah itu untuk mempelajari jurus-jurus pokok ilmu sakti yang dimiliki oleh nenek itu. Dia telah berjanji bahwa dalam waktu setahun dia akan datang kembali kedalam lembah itu dan akan menemui nenek itu. Saat itu kurang dari setahun dengan pertemuannya yang pertama ketika dia menyaksikan nenek itu membinasakan ular-ular berbisa dan menundukannya dengan mudah. Begitu pula dia telah mencari dua kitab sakti yang katanya tersimpan di bawah patung dilembah Si-kok itu. Namun patung telah dibongkar dan selama tiga-hari tiga malam dia mencari kitab yang tersimpan itu namun tidak diketemukannya. Akhirnya nenek itu menjanjikan untuk mengajarkan ilmu sakti itu dalam waktu setahun lagi. Kini Tong Kiam Ciu akan menagih janji nenek itu. Karena untuk memburu kitab sakti Pek-seng-ki-su telah mengalami kegagalan. Lagi pula dia merasa khawatir akan datangnya bencana yang mengancam seluruh umat manusia kalau sampai kitab Pek-seng-ki-su itu benar-benar jatuh ketangan Kwi Ong yang berjiwa kejam. Maka Tong Kiam Ciu telah bersumpah untuk memperdalam ilmunya guna mengatasi Kwi Ong atau orang-orang yang berjiwa keji dan jahat. Setelah berjalan beberapa hari lamanya dan jauh dia meninggalkan kota Pek-seng serta menyeberangi telaga Ang-tok-ouw kemudian sampailah dia di sebuah padang pasir dan pegunungan yang tinggi puncaknya. Akhirnya sampailah Tong Kiam Ciu dilembah Si-kok yang banyak dihuni oleh ular-ular berbisa. Ular-ular ganas dan berbisa keras. Siapapun yang tiba dilembah itu pasti diserangnya dan kerangka manusia banyak berserakan ditempat itu. Juga kerangka-kerangka binatang. Maka lembah itu dinamakan lembah Si-kok atau Lembah Maut. Tetapi berlainan dengan kedatangan Tong Kiam Ciu yang pertama, saat itu dia tidak mendapat serangan dari ular penghuni lembah itu mungkin karena pengaruh akar Lok-bwee-kim-keng yang berhawa wangi.
Walaupun tiada sambutan dari ular-ular penghuni lembah itu, namun Tong Kiam Ciu berhati-hati juga menghampiri pintu gua yang mengaga dan disana sini berserakan tengkorak manusia.
Tampaklah beberapa ekor ular penghuni gua itu meluncur cepat-cepat memasuki kedalam lubang didinding gua. Seolah-olah ketakutan. Namun Tong Kiam Ciu tidak merasa heran akan keadaan itu. Karena binatang-binatang itu hanya berge rak instingnya. Pengalamannya yang lalu, kc tika untuk pertama kali Tong Kiara Ciu me masuki lembah itu. Ular-ular itu telah menyerangnya, tetapi akibatnya bagi mereka itu luar biasa! Bukan saja Tong Kiam Ciu tidak mengalami bencana, tetapi beberapa ekor ular telah binasa karenanya mereka menjadi jera setelah tercium bau Lok-bwee-kim-keng maka mereka cepat-cepat merat dan sembunyi. Tong Kiam Ciu masih juga berjaga-jaga kalau-kalau sampat terjadi penyerangan yang datangnya dengan mendadak. Namun sampai sekian jauhnya dia masuk di dalam gua itu ternyata tidak ada serangan salah seekor ularpun. Tetapi tiada antara lama tampaklah batu-batu kerikil berjatuhan dari tebing lembah Si-kok. Tong Kiam Ciu menunggu didalam gua itu. Dia telah menduga, pastilah si nenek aneh itu yang telah menuruni tebing lembah Si-kok dan akan meninjau kedalam gua. Pastilah beberapa ekor ular yang memberikan laporan atau setidak-tidaknya nenek itu mempunyai suatu ilmu yang hebat untuk membeda-bedakan bau dan telah terlatih panca indranya.
"Hee hee hee kau lagi yang datang !” seru nenek itu sambil tertawa-tawa mendekati Tong Kia m Ciu.
"Terimalah salam dan hormatku !” seru Tong Kiam Ciu sambil membongkok hormat. "Hee hee hee kami dikalangan ular dilembah Si-kok sudah tidak ada lagi tata cara seperti manusia beradab. Tetapi aku senang juga mempelajari tata cara peradaban itu hee hee hee !” sahut nenek itu sambil membongkok-bongkok pula menghampiri Kiam Ciu. "Ya aku tahu, nenek gemar belajar tata cara peradaban !” sambung Tong Kiam Ciu. "Hee hee hee kau datang untuk apa anak muda ?” tanya nenek itu.
"Aku telah berjanji untuk datang kelembah Si-kok ini dalam waktu satu tahun.
Nah, kini aku datang dan ingin mempelajari ilmu-ilmu yang Locianpwee janjikan dulu.” jawab Tong Kiam Ciu.
"Ooh, sebenarnya kau ini dengan maksud apa ingin mempelajari ilmu sakti dariku ?” tanya nenek lembah Si-kok.
"Untuk menegakkan keadilan dan membinasakan kemungkaran!” jawab Tong Liam Ciu. "Oh.. . apakah kau sanggup berbuat begito?” tanya nenek tua dan masih tampik ragu-ragu. "Mengapa?” sahut Tong Kiam Ciu bertanya dan heran.
"Menurut perhitungan manusia beradab, katanya selama masih ada kehidupan maka jahat dan baik itu pasti ada. Seperti juga adanya siang dan malam, gelap dan terang hee-hee-hee itu kata mereka” jawab nenek itu tertawa tawar. "Benar juga Locianpwee, namun satu alasan yang sebenarnya ialah aku ingin membinasakan seorang tokoh tua yang maha sakti. Musuh besarku itu adalah seorang yang telah menghancurkan dan menumpas segenap saudarasaudaraku dan membunuh mati kedua orang tuaku” itu diucapkan oleh Tong Kiam Ciu dengan hati sedih.
"Siapa orangnya yang kau maksudkan?” tanya nenek tua.
"Dia adalah Ciam Gwat!” seru Tong Kiam Ciu.
"Oh, dia pula?!"seru nenek itu dengan mata terbeliak.
Maka Kiam Ciu sedikit mengisahkan tentang keadaan keluarganya. Dengan hati terharu dan sedih mendengar cerita Kiam Ciu, maka nenek lembah Si-kok itu kemudaan menyanggupi untuk menurunkan ilmu kepada Tong Kiam Ciu.
"Baiklah akan kuajarkan padamu dan ilmu silat ialah Pek-jit-hui-sat (Sinar matahari menyorot maut) dan Kai-thian-pik-tee (membuka langit membongkar bumi)” kata-kata nenek itu diucapkan dengan sorot mata tajam memandang Kiam Ciu. "Terima-kasih locianpwee!” seru Kiam Ciu sambil membongkok hormat dan menundukkan kepala. "Sebelum kau memulai dengan ajaran kedua ilmu itu, maka lebih dahulu makanlah biji Leng Yok. Biji ini khasiatnya untuk kekebalan terhadap segala macam pukulan maut!” seru nenek itu seraya menyerahkan biji Leng Yok kepada Kiam Ciu. Suasana kembali sepi, hanya kesiuran angin yang bertiup dari lembah Sikok menghembus dalam goa. Kiam Ciu memakan biji Leng Yok seperti petunjuk nenek itu. Beberapa saat kemudian barulah nenek itu memulai memberikan petunjukpetunjuk untuk memulai pelajaran ilmu silat Pek-jit-hui-sat atau Sinar matahari menyorot maut. Jurus permainan silat yang diajarkan nenek itu memang sangat aneh tetapi mempunyai dasar-dasar langkah maupun gerakan-gerakan yang kuat. Semua gerakan-gerakan berdasarkan keseimbangan tubuh dan pernapasan.
Tampaknya sangat lamban, tetapi pasti dan kuat.
Begitulah Kiam Ciu yang terotak tajam dan cerdas itu dapat memahami serta menghapal semua gerakan pokoknya. Dengan tekun Kiam Ciu memperdalam ilmu Pek-jit-hui-sat itu. Tanpa lelah-lelahnya dia terus berlatuh. Istirahat hanya untuk makan dan minum sebentar, kemudian memulai berlatih lagi Nenek itu memang dengan bersungguh-sungguh mengawasi latihan Kiam Ciu. Semua keperluan makan dan minum telah disediakannya.
Dalam beberapa hari saja Tong Kiam Ciu telah dapat memahami rahasia ilmu yang diajarkan olah nenek itu.
"Bagui. bagus, dan sekarang kau akan kuajarkan ilmu Kai-thian-pik-tee. Nah, perhatikanlah baik-baik". Selesai dengan kata-katanya itu tampaklah nenek itu mulai berloncatan. Tong Kiam Ciu memperhatikan semua jurus-jurus yang dimainkan oleh nenek itu. Perhatian Kiam Ciu sangat besar sekali terhadap ilmu ajaran nenek itu. Maka dalam beberapa kejap saja dia telah dapat menghapal semua langkahlangkah dan gerakan Kai-thian-pik-tee.
Seperti juga ketika memperdalam ilmu Pek-jit-hui-sat maka kini Tong Kiam Ciu juga dengan penuh semangat telah memperdalam segala langkah maupun gerakan Kai-thian-pik-tee dengan tekun sekali.
Dalam waktu beberapa hari saja Kiam Ciu telah dapat memperdalam kedua ilmu itu. Hal ttu menjadikan nenek yang mengajarkan ilmunya itu menjadi sangat bergembira dan mengagumi kesanggupan serta kecerdasan Tong Kiam Ciu.
Kini Tong Kiam Ciu telah dapat memperdalam kedua ilmu itu. Bahkan telah dicoba oleh nenek yang baik hati itu. Ternyata ilmu Pek-jit-hui-sat dan Kai-thianpik-tee dapat dipahami, diperdalam perkembangannya oleh Kiam Ciu.
"Bagus !” seru nenek itu memuji.
"Terima kasih atas pujian Locianpwee” seru Kiam Ciu.
Tong Kiam Ciu masih terus memanggil nenek itu dengan sebutan Locianpwee, karena nenek itu tidak mau menyebut namanya serta tidak mau disebut sebagai suhu oleh Kiam Ciu.
"Kau telah dapat memahami dengan sempurna ilmu itu! Tinggalah kini kau memperdalam cara latihan-latihan yang tekun!” seru nenek itu seraya mengamati Kiam Ciu. Adapun Kiam Ciu hanya menundukkan kepala memandangi lantai goa yang berbatu-batu itu. "Apakah aku telah diizinkan untuk keluar dari lembah Si-kok ?” kata Kiam Ciu sangat sopan kepada nenek itu.
"Ya, akupun tidak akan menahanmu lebih lama ditempat ini!” jawab nenek itu dengan nada seenaknya.
"Terimakasih atas kebaikan . . . . “ belum selesai kata-kata itu diucapkan oleh Tong Kiam Ciu, Nenek yang aneh dari lembah Si-kok itu telah lenyap. Tong Kiam Ciu mengarahkan pandangan matanya kesegenap sudut di daiam gua itu tetapi ttdak dapat menemukan nenek itu.
"Hem, nenek yang aneh tetapi baik hati” pikir Tong Kiam Ciu.
Tong Kiam Ciu tidak dapat lebih lama lagi berada di dalam gua itu. Dia harus cepat-cepat untuk menunaikan tugas mencari Ciam Gwat kemudian mencari kitab Pek-seng-ki-su. Dengan rasa puas dan gembira Tong Kiam Ciu telah meninggalkan gua di lembab Si-kok itu. Selama Tong Kiam Ciu berada di gua itu tiada seekor ularpun yaug berani mendekati ataupun tampak berkeliaran ditempat sekitar gua.
Padahal dilembah Si-kok itu terkenal dengan ribuan ular berbisa.
Ketika itu udara masih sangat dingin walaupun matahari telah tampak tinggi.
Kiam Ciu berjalan setengah berlari di lembah Si-kok. Matanya sekali-sekali mengawasi ke langit memandang kearah awan yang sedang bergolak di langit biru. Seolah-olah awan-awan itu sedang saling memburu dan bergurau. Tiba-tiba kembali dia teringat akan masa kanak-kakaknya dulu di telaga bermain-main dengan adiknya yang jelita. Tong Kiam Ciu terbayang saat berlatih ilmu dan berkejaran di atas air telaga dengan Ji Tong Bwee saat itu. Mereka sedang melatih ilmu Cian-li-piauw-biauw (melayang diangkasa seribu li). Karena mengenangkan ke masa-masa lampau itu maka kini kembalilah kerinduannya akan diri Ji Tong Bwee sangat menjadi-jadi. Bahkan dia merasa khawatir janganjangan Ji Tong Bwee mendapat bencana ketika terjadi angin topan di telaga Angtok-ouw dulu.
Juga tentang kabar berita ketiga Shin-ciu-sam-kiat sampai sekian lamanya dia tidak mendengarkannya. Banyak persoalan kini yang harus dihadapinya.
Tong Kiam Ciu merasa banyak bersalah dan hampir saja terjerumus dan memadamkan semangatnya untuk menuntut balas sakit hati keluarganya.
Dengan mengembangkan ilmu Cian-li-piau-hong Tong Kiam Ciu telah meninggalkan lembah Si-kok. Kemudian meloncat keatas tebing serta berlarilari di pegunungan. Tujuan utama ialah desa Cit Wi.
Beberapa saat kemudian ketika Tong Kiam Ciu istirahat dibawah sebatang pohon, tiba-tiba telinganya mendengar ada seseorang yang telah mendatanginya. Tong Kiam Ciu telah berdiri dan siap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi sosok tubuh yang berke!ebat itu terdengar tertawa dan memanggil nama Tong Kiam Ciu. Suaranya tidak asing lagi bagi pemuda itu, ialah suara murid tunggal Shin Kai Lolo.
"Tong Siauwhiap! Lama aku mencarimu dan kemana-mana tetapi baru sekarang aku dapat bertemu !” seru Teng Siok Siat sambil tertawa.