Suling Naga Chapter 19

NIC

"Cek-kong berdua, Long-siauw-kiam ini dapat dipergunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu dapat lebih mantap kalau dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam dan suling emas akan saya tinggalkan di sini, saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."

"Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?"

Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.

"Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang. lembah ini di ganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Biarpun suling emas di tangan saya bukan suling emas yang aseli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman, dengan demikian terhapuslah sudah, semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."

"Akan tetapi...."

Cu Kang Bu hendak membantah.

"Aih, kenapa engkau hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya. Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, puteramu. Tidak pantaskah puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?"

Kata Yu Hwi dengan penuh semangat. Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal.

"Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu."

Sini Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya dan meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, kemudian menyerahkan kedua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.

"Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walaupun suling emasnya hanya tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu."

"Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!"

Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang.

"Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"

"Hemm, enak saja kau bicara!"

Ayahnya menegur,

"Tanpa memiliki ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?"

"Jangan khawatir, Kun Tek."

Ibunya menghibur.

"Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."

Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berobah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Depalan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin. Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan mengingat bahwa memang tidak keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.

"Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya."

Katanya dengan hati lega.

"Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu."

Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Dia lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya. Selama tiga tahun ini, banyak sudah dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar.

Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga. Demikianlaih peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang di dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu. Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.

Dia merasa betapa kulkit pinggul dan belakang pahanya dingin, karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana dan membasahi kulitnya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya. Dengan kesadaran sepenuhnya akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas, kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda denga kenyataan pada saat itu.

Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tak terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku. Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengau keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran,

Tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih. Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup. Segera melayanglah suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya dan bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya,

Melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu maupun tiupan dengan pengerahan khi-kang untuk menyerang lawan yang tangguh. Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula, merdu dan sesuai sekali dengan suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan kicau burung, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu. Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir batin seperti masuk ke dalam suara itu, dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.

"Heiiii....! Bising sekali suara sulingmu!"

Tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling. Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya. Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Lalu gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah,

"Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!"

Posting Komentar