"Baik, teecu menerima perintah dan hukuman."
Lalu dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.
"Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!"
Katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Kemudian pendekar itu berkata kepada isterinya dan puteranya.
"Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan tetapi engkaupun masih belum sembuh!"
Seru isterinya dengan khawatir. Sim Houw cepat maju berkata,
"Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimanapun juga, saya adalah anggauta keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu mengangguk.
"Akan tetapi, engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."
"Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentu seorang sakti."
Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek. Ketika mereka tiba di luar gedung, tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat, datang dari depan dan diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki gin-kang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka.
Segera nampak seorang kakek berdiri di depan mereka. Kakek itu memang nampak sudah tua sekali, sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus dan saking kurusnya, nampak tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya, Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning. Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal,
"Aih, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, dan siapa lagi yang dapat kuharapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh.... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tdak mau...."
Dan suara kakek itu berobah seperti suara orang menangis! Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas,
"Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga, tidak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Kalau locianpwe memaksa, terpaksa sayalah yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.
"Heh-heh, kau gagah juga....! Apakah kau murid mereka?"
Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan datang berkunjung."
"Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
"Locianpwe yang sombong, seolah-olah locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapakah locianpwe dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus kering itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, kau bocah kemarin sore tapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu."
Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut dan awan.
"Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku takkan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku."
"Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Kalau memang locianpwe tidak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apapun juga."
Kakek itu menghela napas panjang.
"Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah kau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"
Sim Houw menjadi marah.
"Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"
Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling di cabut, nampak sinar emas berkelebat dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh....? Itu.... itu senjatamu? Sebatang suling emas?"
Tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu. Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong, sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dipergunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.
"Aneh....!"