"Hemm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mujijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau?"
"Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu? Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna."
"Hushh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berobah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku membakarnya."
"Sesukamulah!"
Kata Ci Sian agak marah.
"Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini."
Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut. Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu. Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
"Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan?"
Katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut.
"Bukankah lebih berguna membakar bebek-bebek ini?"
Kam Hong tersenyum.
"Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan."
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu kini telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?"
Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang mentakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
"Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah guha yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat."
Kam Hong mengerutkan alisnya. Walaupun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya.
"Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini."
Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata.
"Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!"
"Ci Sian....!"
Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya. Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
"Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar."
Katanya. Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk melindungi dan menjaganya. Dia mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam guha, agaknya kedinginan. Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan guha. Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan.
"Sudah hancurkah dia?"
"Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh."
"Huh! Lalu kau apakan dia?"
"Kukembalikan kepada Locianpwe itu."
"Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau seorang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang."
"Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya."
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki guha dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
"Kau merasa kedinginan?"
"Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!"
Ci Sian menggigil.
"Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!"
"Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu hangat. Dan mulai sekarang engkau harus menurut petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar dapat melawan dingin."
Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia me-nempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.
"Dengarkan baik-baik."
Bisiknya.
"engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku...."
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya.