Suling Emas Chapter 76

NIC

"Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin didunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"

"Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..."

Saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan didalam hati masing-masing makin tertarik. Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian.

Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh kearah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada disebelah bawah tingkatnya sendiri!

"Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"

Sudah berada diujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu ginkangnya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu.

"Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu turunan..."

Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras.

"Apakah kau tidak mau menganggap aku orang dalam...?"

Suaranya merdu lirih seperti berbisik. Pada saat itu, sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan didepan rumah makan. Melihat ini, Tan Hui segera berkata perlahan.

"Moi-moi, tak baik bicara disini seperti ini. Dimanakah kau tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu."

"Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."

Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba didepan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan diantara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.

"Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang celaka....!"

Seorang diantara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan.

"Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap disini, maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."

Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap selemah ini.

"Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?"

Tanyanya berisikan teguran.

"Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tali emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa kuatir apa-apa. Ternyata, diluar dugaan, dilereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang perampok, barang-barang kami dirampas semua, bahkan diantara kami ada yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru disana, dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"

"Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?"

Tiba-tiba Lu Sian membentak mereka.

"Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan yang lebih penting!"

Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada disitu bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ketanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.

"Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala kerendahan hati..."

"Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si perampok?"

"Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita..."

"Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres."

"Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!"

Lu Sian cemberut. Tan Hui tersenyum.

"Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali."

Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang kearah para piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulils, lalu ditulisnya beberapa huruf diatas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.

"Kalau Tan Hiap datang, kau berikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!"

Posting Komentar