"Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!"
Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan "singgg!"
Pedang Toa-hong-kiam sudah berada ditangan kanan sedangkan tangan kirinya disaat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju semuanya kearah muka Si Pengemis Kurus!
"Aiiihhh!"
Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.
"Monyet tua, makan pedangku!"
Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!
"Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!"
Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat kebelakang menjauhkan diri agar terlepas daripada rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek.
"Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak.
"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!"
Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju.
Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga kemana hendak menyerang. Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang ditangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, kemana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.
"Hebat wanita ini!"
Diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan.
Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.
"Menarilah, Ular Buduk, menarilah!"
Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya.
Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang kearah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya! Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding kedekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!
"Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?"
Lu Sian mengejek. Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan! "Jangan curang!"
Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.
"Dukkk!"
Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan.
Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.
"Koko, mengapa begini sabar melayani dia?"
Tiba-tiba Lu Sian berkata halus dibelakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku? Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya "koko"
Begitu mesra.
"Plakkk!"
Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tepat dimana hawa sin-kang lewat dan menjurus kelengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat kebelakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!
"Kalian yang curang!!"
Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar disampingnya dan melontarkannya kearah Tan Hui dan Lu Sian.
Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja! Hebat serangan ini, karena jarak diantara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting kebelakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat kedepan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap diatas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia "menunggang"
Batu itu dan ketika batu jatuh ketanah, ia pun meloncat turun!
"Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!"
Tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman. Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata,
"Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!"
Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.
"Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"
Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya.
"Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia hatiku."