Suling Emas Chapter 54

NIC

"Kau seorang Jenderal! Dan aku.. aku hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang tadi didalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.

"Ah, kau kedinginan! Mari kita keluar dari sini!"

Katanya

"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini."

Lu Sian menggoda. Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran. Mereka lalu meloncat kedarat.

"Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada disana?"

"Ah, malah kembali ke perahu?"

"Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."

Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di utara. Ditengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek.

Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik didekat telinga masing-masing. Karena melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari barulah mereka sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar. Dusun yang terendam air makin tak tampak dan keadaan disitu sunyi sekali, para anak buah perahu berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih berada disana sehingga mereka menjadi girang sekali. Karena banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit, kira-kira sejengkal dalamnya. Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu, mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.

"Celaka betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja! Apakah kita akan didiamkan disini sampai mati kedinginan?"

"Ah, Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada pahalanya!"

Cela suara lain. Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat masuk dan seorang gadis dengan pedang ditangan telah berada di depan mereka. Apalagi ketika melihat bahwa bayangan kedua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja, seketika mereka menjadi pucat dan berseru.

"Celaka...!"

Akan tetapi pada saat itu, pedang ditangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada berlubang atau leher hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang merendam lantai seketika menjadi merah.

"Moi-moi... jangan..."

Kam Si Ek mencegah, akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat menyambar dan enam orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini berdiri dengan muka berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat kejam dan ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya kekejaman-kekejaman yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.

"Hemm, gadis berhati kejam! Sekarang aku tahu maksud hatimu! Kau tidak ada bedanya dengan yang lain. Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao, bukan? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku cinta kepadamu, aku tergila-gila kepadamu oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa hanya karena seorang wanita!"

Ia mencabut golok emasnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Lu Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum, tersenyum mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut dibunuh harus dibunuh, demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan baik baginya untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan pedangnya dan berkata.

"Kam Si Ek, begitukah dugaanmu? Dan kau telah menghunus golokmu? Baiklah, mari kita lihat siapa diantara kita yang lebih lihai!"

Sambil berkata demikian, gadis itu meloncat keruangan belakang gedung yang lebih luas karena ruangan itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, membikin hati Kam Si Ek makin panas.

"Lihat golok!"

Bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat. Lu Sian membalikkan tubuh dan menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah kedua orang itu dalam ruangan belakang di mana lantainya penuh air sehingga kaki mereka membuat air di lantai muncrat-muncrat. Golok dan pedang menyambar-nyambar dan berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata itu! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa jam yang lalu mereka masih berpelukan, berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata mereka saling mengintai nyawa! Dalam hal ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian.

Akan tetapi, pemuda ini mempunyai ketabahan hati luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali sehingga untuk seratus jurus lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang. Lu Sian orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati kekasihnya, maka ia tidak marah ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi Kam Si Ek, cara pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya kekasihnya ini mulai merasa curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk dan menariknya untuk membantu Kerajaan Nan-cao. Oleh karena ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati pemuda yang sudah menjadi kekasihnya itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka yang sudah mulai terjalin.

Kini ia sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguhpun tingkat kepandaian jenderal muda ini tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan para pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul. Tidak banyak selisihnya daripada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat laun ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas. Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah! Ia sudah mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba hatinya. Biarlah ia mainkan ujian berbahaya ini.

Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti maut! Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya kearah leher. Namun, tetap saja goloknya itu membabat kearah pundak dan "makan"

Kedalam daging dipangkal lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.

"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?"

Lu Sian berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.

"Kau.. kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"

"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya dibibir. Aku... aku... ahhhh....!"

Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling. Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.

"Moi-moi.... Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian...! Moi-moi...!"

Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari kebelakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya diperahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian keatas sebuah pembaringan yang berada dibilik perahu.

"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!"

Kam Si Ek merobek baju dipundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak.

Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Dimusim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih. Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli! Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi!

Setelah air matang Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat diperahu itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin. Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah diatas pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya!

"Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng! Tidak mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat atau putera mahkota di utara! Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!"

Posting Komentar