Si Teratai Emas Chapter 68 (Tamat)

NIC

“Pakai alasan bahwa engkau sakit, kemudian bersembunyilah di rumah Pamanmu di dusun.” Li An adalah seorang gagah yang berbakti kepada Ibunya, maka diapun mentaati permintaan Ibunya, Cun bwe kecewa sekali ketika berkali-kali dikirimnya utusan, namun tak pernah utusan itu berhasil membawa laki-laki yang diinginkannya itu kepadanya. Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya dan tahu-tahu Tahun Baru telah tiba. Jenderal Chow yang bertugas di markas besarnya di Tung-Cang-Fu merasa rindu kepada keluarganya dan diapun mengutus pembantunya ke Ceng-Ho-Sian untuk menjemput kedua isterinya dan anaknya. Ketika keluarganya tiba dengan selamat, dia menanyakan ketidak hadirannya Li An yang semestinya mengawal keluarganya.

“Ah, jangan bicarakan orang tak mengenal budi itu!” Cun Bwe berkata sambil cemberut.

“Karena dia telah menyelamatkan aku, maka aku ingin menyenangkan hatinya dan memberinya beberapa potong pakaian untuk Ibunya. Akan tetapi, pada malam hari ketika berjaga, dia mencuri lima puluh ons perak dari ruangan dalam. Aku lupa menaruh hasil panen sawah kita itu ke dalam gudang uang. Pada keesokan harinya, diapun minggat. Mungkin dia tidak berani kembali karena merasa bersalah.”

“Ah, sungguh tak dapat disangka! Begitukah dia membalas budi kita? Aku akan mengutus petugas di Ceng-Couw-Fu untuk menangkapnya!” kata Jenderal Chow penasaran. Cun Bwe tidak bicara sesuatu tentang Mei Li dan pertemuan di kuburan Ceng Ki itu. Sayang bahwa pertemuan antara jenderal dengan keluarganya itu tidak leluasa dan dia dapat berkumpul dengan mereka hanya beberapa hari lamanya.

Tugas pekerjaannya bertumpuk, membuat dia tidak ada kesempatan untuk bercakap-cakap dengan keluarganya, bahkan di waktu malam dia begitu lelahnya sehingga tidur pulas. Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati Cun Bwe dan la merasa disia-siakan. Wanita yang bernafsu besar ini tentu saja menjadi gelisah dan iapun mulai mendekati seorang kacung bernama Cu I berusia sembilan belas tahun yang bekerja di tempat tinggal suaminya. Mula-mula Cun Bwe hanya menyuruhnya melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil membantunya, kemudian mengajaknya bercakap-cakap, membuatkan teh atau mengambilkan anggur untuknya, bermain catur dan kemudian wanita yang berpengalaman ini berhasil memikatnya seperti seekor laba-laba menjerat seekor lalat. Sekali terkena jerat, Cu I menjadi kekasihnya yang baru, yang harus memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam.

Jenderal Chow sama sekali tidak tahu akan hal ini karena seluruh perhatiannya dicurahkan untuk pekerjaannya. Pemberontakan pasukan Kin Fan Tartar itu semakin menghebat, bahkan kini telah melampaui garis depan di utara, mulai mengancam daerah pedalaman di Wilayah Tengah. Mereka berbondong-bondong menyerbu ke selatan, ratusan ribu orang banyaknya, semua berkuda dan setiap perajurit merupakan orang yang ganas, liar dan kuat. Pasukan kuat itu menyerang dari dua bagian, dari utara berpencar masuk ke selatan melalui timur dan barat. Tentu saja tentara kerajaan menjadi sibuk dan jenderal Chow mendapatkan tugas untuk membendung membanjirnya pasukan musuh yang mengalir ke selatan melalui Propinsi Shantung. Dan dalam tugas inilah terbukti firasat tidak enak yang pernah dirasakan Cun Bwe.

Pada hari yang panas itu, dalam pertempuran mati-matian, Jenderal Chow berhadapan dengan seorang komandan pasukan musuh yang terkenal gagah, yang bernama Kanlipu. Pertempuran antara mereka amatlah hebat dan serunya sampai tiba-tiba sebatang anak panah yang dilepas secara curang mengenai batang leher Jenderal Chow dan robohlah jenderal yang gagah perkasa ini, tewas seketika. Untung bahwa anak buahnya berhasil merampas jenazahnya dan membawanya kembali ke markas. Jerit tangis menyambut jenazah Jenderal Chow, dan Cun Bwe segera mempersiapkan peti mati yang tebal dan membawa jenazah itu kembali ke Tung-Cang-Fu agar dapat dikubur di makam keluarga di sana. Kematian ini disambut dengan penuh duka cita dan keprihatinan oleh Cui Peng dan Mei Li yang merasa kasihan kepada Cun Bwe yang sudah melepas banyak budi kebaikan kepada mereka.

Kerajaan amat menghargai pengorbanan Jenderal Chow dan menganugerahkan pangkat Panglima Besar kepada jenderal yang gugur itu, memberi uang jaminan untuk keluarganya, bahkan puteranya memperoleh jaminan untuk kehidupannya kelak. Namun, agaknya Cun Bwe tidak memiliki batin yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa ia berharga untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia itu. Kini, setelah seluruh harta kekayaan berada di bawah kekuasaannya, ia mulai hanyut dibawa nafsunya, setiap hari ia bersenang-senang memuaskan nafsu tanpa mengenal batas lagi. Kekasihnya yang masih muda, Cu I, kini tak pernah terpisah dari sampingnya dan siang hari malam tanpa mengenal waktu. Ia mengharuskan kekasihnya itu melayani dirinya yang tak pernah mengenal puas. Segala sesuatu ada batas kemampuan dan kekuatannya, dan segala hal tidaklah langgeng. Tubuh hanyalah terdiri dari darah daging, kalau terlalu diperas kemampuannya, akhirnya akan rusak. Demikian pula dengan Cun Bwe. Karena terlalu, membiarkan nafsu menghanyutkan tanpa mengenal batas, akhirnya tubuhnya menjadi kurus kering dan lemah. Namun celaka baginya, makin lemah tubuhnya, makin besarlah nafsu berkobar dalam dirinya, nafsu yang selalu menuntut pemuasan. Akhirnya, pada suatu malam, setelah tenggelam dalam kemesraan bersama kekasihnya, wanita ini menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan kekasihnya. Usianya baru dua puluh sembilan tahun! Ketika Cu I melihat bahwa wanita itu tak bernapas lagi, diapun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Diambilnya sebanyak mungkin perhiasan dan barang berharga yang dapat dibawanya dan diapun melarikan diri melalui pintu belakang. Namun, para pelayan mengetahuinya dan diapun ditangkap. Adik laki-laki Jenderal Chow yang berkewajiban mengamati keadaan rumah tangga mendiang Kakaknya, menjatuhkan hukuman cambuk sampai mati kepada Cu I. Namun, demi menjaga nama baik dan kehormatan keluarga Kakaknya, dia tidak membiarkan berita itu keluar dan jenazah Cun Bwe dikubur dengan sederhana dan khidmat, di samping kuburan Jenderal Chow. Pasukan pemberontak kini semakin maju ke selatan dan akhirnya, kota Kai-Hong-Hu, Ibukota Timur, diserbu dan Kaisar Hui Cung, juga puteranya, Kin Cung, beserta keluarga Kerajaan, puteri-puteri dan Pangeran-Pangeran, ditawan oleh musuh dan dibawa ke utara.

Gegerlah seluruh penduduk di Propinsi Shan-Tung dan rakyat melarikan diri mengungsi ke selatan. Bahkan penduduk Ceng-Ho-Sian juga terseret oleh arus pengungsi yang ketakutan melihat sepak terjang pasukan pemberontak yang ganas. Setiap kali mereka menyerbu kota, terjadilah pembunuhan besar- besaran, rumah-rumah dirampok dan dibakar, wanita-wanita diculik dan diperkosa. Semua penghuni rumah keluarga Jenderal Chow, termasuk Cui Peng, lari mengungsi. Hanya Mei Li yang tadinya masih bertahan. Namun akhirnya iapun membawa buntalan pakaian dan dalam pakaian sederhana, iapun meninggalkan rumah itu menuju ke kota pelabuhan Lin-Ceng. Mula-mula la ingin mencari Ayah bundanya. Akan tetapi di kota ini, ia memperoleh kabar bahwa Ayah-Ibunya telah pergi ke Hu-Couw bersama hartawan Hou.

Mei Li lalu melanjutkan perjalanan ke Hu-Couw, berjalan kaki saja! Namun ia tetap gembira dan penuh kepercayaan kepada dirinya sendiri. Kalau ia kehabisan uang bekal, ia meniup sulingnya, bernyanyi dan memperoleh sumbangan dari mereka yang mendengarnya. Berhari-hari ia melakukan perjalanan dan hatinya tetap gembira. Hanya satu hal yang mengganggu, yaitu kakinya yang kecil itu lecet-lecet karena tidak biasa melakukan perjalanan lama dan jauh. Setelah melakukan perjalanan puluhan hari lamanya, pada suatu senja tibalah ia di sebuah dusun kecil tak jauh dari kota Shue Couw-Fu. Karena hari telah menjelang malam, ia mengetuk pintu rumah kecil yang pertama kali dilihatnya di dusun itu, untuk minta perlindungan malam itu. Seorang wanita tua membuka daun pintu dan begitu pintu terbuka, tercium bau masakan yang agaknya baru saja dimasak oleh Nenek itu.

“Selamat sore, Nek. Maafkan saya. Saya adalah seorang pengungsi dari Ceng-Ho-Sian yang hendak pergi ke Hu-Couw, di mana saya akan mencari orang tua saya. Bolehkah saya bermalam di rumahmu? Saya melanjutkan perjalanan besok pagi-pagi sekali dan saya mau membayar untuk kebaikanmu ini.”

“Ah, masuklah dan beristirahatlah di atas dipan itu,” kata si Nenek yang dapat melihat bahwa pendatangnya bukan seorang pengemis. “Maafkan dulu, saya harus menyelesaikan masakan untuk makan malam beberapa orang pekerja terusan sungai yang biasa makan malam di sini.” Tak lama kemudian, setelah masakan itu matang, enam orang laki-laki kasar memasuki rumah itu. Wajah mereka terbakar matahari, pakaian mereka kasar, kaki mereka telanjang dan berlepotan lumpur. Mereka nampak lapar sekali.

“Bibi, ada makanan?” mereka berteriak.

“Tunggu sebentar! Ada makanan cukup untuk semua orang.” “Eh, siapakah wanita di atas dipan itu?”

“Seorang pengungsi dari Ceng-Ho-Sian,” jawab Nenek. “la sedang melakukan perjalanan ke selatan, mencari orang-tuanya dan ingin bermalam untuk malam ini di sini.”

“Bolehkah aku mengetahui namamu?” tanya seorang di antara mereka kepada Mei Li. “Aku she Han, puteri dari Han Tao Kok.”

“Apa? Kalau begitu engkau tentulah keponakanku Mei Li!”

“Paman, engkaukah itu? Aih, aku tidak mengenalmu lagi.” teriak Mei Li dengan gembira sekali. Laki-laki itu bangkit dan menghampirinya dan mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata.

“Bagaimana engkau sampai terpisah dari orang tuamu?” tanya sang Paman. “Kukira kalian semua masih berada di Ibukota Timur.” Mei Li lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan bagaimana ia sampai berpisah dari orang tuanya.

“Mereka ditolong oleh seorang pedagang sutera she Hou dari Hu-Chouw, dan sekarang saya hendak mencari mereka di sana. Saya membawa suling dan kalau bekalku habis saya mencari uang dengan jalan bernyanyi dan bermain suling. Sekarang ceritakan keadaanmu, Paman.”

“Semenjak orang-tuamu pindah ke Kai-Hong-Hu dan meninggalkan rumah kecil di Ceng-Ho-Sian itu kepadaku, aku merasa tidak betah mengganggur. Lalu kujual rumah itu dan aku pergi mengembara sampai akhirnya aku bekerja di sini dan bertemu denganmu. Kalau begitu, aku akan menemanimu ke Hu-Chouw mencari orang tuamu.” Tentu saja Mei Li merasa gembira bukan main.

Akhirnya mereka berdua melakukan perjalanan ke selatan dan tibalah mereka di Hu-Chouw. Dengan mudah mereka dapat menemukan Han Tao Kok dan Wang Liok Hwa. Ternyata hartawan Hou telah meninggal dunia dan dia meninggalkan seluruh kekayaannya kepada suami-isteri itu, yang tentu saja kini hidup berkecukupan. Akan tetapi setahun kemudian Han Tao Kok meninggal dunia karena sakit, dan Wang Liok Hwa lalu menikah dengan adik iparnya yaitu laki-laki yang menemani Mei Li mencarinya di Hu-Chouw. Mereka berdua saling mencinta dan hidup berbahagia. Wang Liok Hwa ingin agar puterinya menikah lagi, akan tetapi Mei Li tetap tidak mau menikah. la tetap setia kepada sumpahnya, bahkan akhirnya ia mencukur gundul rambutnya dan hidup sebagai seorang Nikauw (Pendeta wanita) di sebuah Kuil.

Pasukan pemberontak semakin mendekati daerah Ceng-Ho-Sian dan hampir semua penduduk kota itu lari mengungsi. Bahkan Goat Toanio yang biasanya tenang itu, kini tidak ragu-ragu lagi untuk pergi mengungsi pula, menyelamatkan keluarganya. Setelah membawa barang-barang berharga dan mengunci semua pintu, iapun meninggalkan rumah ditemani adiknya, Wu dan puteranya yang berusia lima belas tahun, pelayan A Tai, dan pelayan wanita Siauw Giok yang setia. Mereka terpaksa pergi mengungsi dengan jalan kaki dan mereka keluar dari pintu gerbang kota sebelah selatan.

Goat Toanio bermaksud untuk mengungsi ke kota Ci-Nam-Fu, di mana tinggal Yuen Li Su, seorang di antara sahabat-sahabat baik mendiang Shi Men. Bahkan antara Shi Men dan Yuen Li Su telah ada perjanjian bahwa kelak putera Shi Men akan dinikahkan dengan puteri Yuen Li Su. Maka, Goat Toanio merasa yakin bahwa ia dan keluarganya tentu akan dapat berlindung ke rumah calon besan itu . Ketika mereka tiba di sebuah jalan perempatan, hari telah mulai senja dan di tempat ini, rombongan Goat Toanio bertemu dengan seorang Hwesio yang memegang sebatang tongkat Pendeta. Hwesio itu muncul secara tiba-tiba dan dia melangkah, lebar menghampiri rombongan pengungsi itu.

“Nyonya hendak pergi ke manakah, Nyonya Wu? Dan mana calon pembantuku yang pernah nyonya janjikan kepadaku?” Goat Toanio memandang dengan kaget dan heran, dan wajahnya berubah.

“Suhu, pembantu apakah yang kau maksudkan?”

“Harap jangan berpura-pura tidur dan mimpi, nyonya yang terhormat. Apakah nyonya sudah melupakan Pertapa Pu Ceng, yang pernah menerimamu di dalam guanya ketika nyonya tersesat ke dalam rimba pada malam hari di Thai-San? Lima belas tahun yang lalu dan sekaranglah tiba saatnya nyonya memenuhi janji itu.” Goat Toanio tertegun. la teringat semua itu. Memang benar, lima belas tahun yang lalu ia pergi berziarah ke bukit Thai-San ketika puteranya hampir setahun umurnya. la tersesat jalan dan dalam kegelapan itu, ia tiba di gua Pertapa Pu Ceng yang menerimanya dengan ramah.

Pada keesokan harinya, ketika ia hendak memberi hadiah uang dan kain, Pertapa itu menolaknya, Ia menerangkan bahwa sudah menjadi takdir, TUHAN bahwa nyonya itu tersesat ke guanya dan sudah takdir pula bahwa putera nyonya. itu berjodoh untuk menjadi muridnya. Tentu saja ia menolak dan memberi alasan bahwa puteranya merupakan anak tunggal. Akhirnya Pendeta itu berkata bahwa dia melepaskan anak itu, tetapi lima tahun lagi dia akan muncul untuk menagih janji dan mengambil anak yang menjadi calon muridnya itu. Dan ia telah menyetujui, hanya untuk membuat Pendeta itu lega, karena lima belas tahun adalah waktu yang amat lama, Pendeta tua itu mungkin akan sudah mati dalam waktu itu. Siapa kira, kini dia benar-benar muncul dan menagih janji! Wu, adik dari Goat Toanio, membantu Kakaknya.

“Suhu, anak ini merupakan anak tunggal darl Kakak saya, dia adalah satu-satunya harapan untuk menjaga Ibunya di waktu tua kelak, dan mewarisi rumah, melanjutkan nama dan pekerjaan Ayahnya. Bagaimana kini Lo-Suhu hendak mengambilnya dari Ibunya, meninggalkan keduniawian dan menjadi murid dan pengikutmu?”

“Jadi permintaanku akan ditolak dan dia tidak akan diberikan kepadaku?”

“Lo-Suhu yang baik, harap jangan mengganggu kami. Kami masih harus melakukan perjalanan jauh, dan kami harus dapat mencari tempat berlindung sebelum malam tiba.”

“Baiklah, aku tidak akan memaksa,” kata Pendeta itu, “Akan tetapi sekarang sudah mulai gelap dan amat berbahaya bagi kalian melanjutkan perjalanan di dalam kegelapan malam. Kalian akan tersesat. Ikutilah aku. Aku mengetahui Sebuah Kuil tak jauh dari sini di mana kalian dapat melewatkan malam dengan aman.”

Goat Toanio setuju dan mereka lalu mengikuti kakek Pendeta itu. Benar saja, tak lama kemudian tibalah mereka di Kuil Yung-Fu-Se. Sebagian dari para Pendeta kuil itu telah melarikan diri mengungsi, hanya beberapa orang salah yang masih tinggal dan kini mereka nampak berlutut dan membaca doa di ruangan dalam. Para pengungsi itu lalu mencari tempat beristirahat di sebelah belakang, di mana terdapat banyak ruangan kosong yang cukup bersih. Seorang hwesio lalu menyuguhkan air teh dan nasi dengan sayur tanpa daging. Setelah makan sederhana, para pengungsi yang kelelahan itu lalu beristirahat. Goat Toanio, puteranya, dan Siauw Giok berada di sebuah kamar, sedangkan Wu dan A Tai di dalam sebuah kamar lain. Sebentar saja mereka sudah tidur pulas karena kelelahan. Dan dalam tidurnya, Goat Toanio bermimpi.

Mimpi yang demikian jelas seolah-olah dialaminya benar-benar semua itu dan bukan hanya sekadar mimpi. Di dalam mimpinya itu, Goat Toanio dan keluarganya telah tiba di rumah Yuen Li Shu dan diterima dengan ramah, dan ternyata Yuen Li Shu telah menjadi seorang duda. Akan tetapi, keramahan Yuen Li Shu itu ternyata mengandung maksud yang amat mengejutkan hati Goat Toanio. Yuen Li Shu mengutus seorang perantara, meminang janda yang akan menjadi besannya itu! Bahkan memutuskan untuk mengadakan perayaan pernikahan kembar, yaitu pernikahan putera dan puteri mereka, dan pernikahan mereka sendiri. Tentu saja Goat Toanio menolak. Akan tetapi, ketika Yuen Li Shu berkesempatan berdua saja dengan Goat Toanio di dalam sebuah kamar, laki-laki itu mempergunakan kekerasan dan hendak memperkosanya! Goat Toanio menolak.

“Jangan sentuh aku! Akan kupanggil adikku dan kacungku!” Yuen Li Shu tertawa.

“Wu dan A Tai? Ha-ha-ha, percuma saja karena mereka sudah kubunuh. Kau lihat!” Dan dia memberi isyarat ke luar pintu. Seorang pelayan masuk membawa baki dan di atas baki itu nampak dua buah kepala, kepala Wu adiknya dan A Tai kacungnya! Goat Toanio hampir pingsan dan sambil tertawa Yuen Li Shu memondongnya dan hendak membawanya ke atas pembaringan.

“Jangan engkau menolak lagi, manis. Aku kaya dan berkedudukan, dan aku cinta padamu.” Goat Toanio terkejut dan ketakutan, lalu mencari akal.

“Baiklah, akan tetapi jangan memaksaku. Aku suka menjadi isterimu, akan tetapi hanya dengan satu syarat.”

“Apa syaratnya?”

“Engkau harus menikahkan dulu puterimu dan puteraku.”

“Ha-ha-ha, itu urusan kecil dan mudah!” Yuen Li Shu lalu memanggil kedua orang muda itu dan pada saat itu juga dia menuangkan arak pengantin dan menyatakan kedua orang muda itu telah menikah, dan dia menyuruh mereka berdua memasuki kamar pengantin. Setelah itu, kembali dia merangkul dan memondong Goat Toanio, hendak dibawanya ke pembaringan. Goat Toanio meronta, mencakar, menggigit dan memaki. Yuen Li Shu menjadi marah sekali, lalu dengan sebatang pedang di tangan dia lari ke dalam kamar pengantin dan tak lama kemudian keluar lagi membawa kepala putera Goat Toanio yang berlumuran darah. Goat Toanio menjerit dan sadar dari mimpinya. Malam telah lewat dan mimpi yang menyeramkan itu membuat Goat Toanio bergegas hendak meninggalkan Kuil. Akan tetapi, Hwesio Pu Ceng melangkah masuk dan langsung bertanya.

“Nyonya Wu, apakah nyonya tidak bermimpi dan melihat terbukanya rahasia apa yang akan terjadi pada keluargamu itu?” Mendengar ini, Goat Toanio terkejut bukan main dan iapun menjatuhkan diri berlutut.

“Saya telah bermimpi, Lo-Suhu.”

“Nah, sebaiknya engkau dan rombonganmu tidak melanjutkan perjalanan ke Ci-Nam-Fu, karena malapetaka menanti kalian di sana. Apabila kalian melanjutkan perjalanan, maka segala yang telah kubuka semalam kepadamu itu akan sungguh terjadi dan kalian berlima akan tewas semua. Ketahuilah bahwa puteramu masih membawa kutukan karena dosa-dosa yang dilakukan mendiang suamimu, maka hanya kalau dia menjadi muridku, maka dia akan dapat dibersihkan dari pengaruh buruk itu. Biarkan dia ikut denganku, dan kalian tidak usah pergi mengungsi dan tinggal saja di sini. Tak lama lagi musuh akan pergi dan keadaan akan kembali aman, dan kalian boleh kembali ke Ceng-Ho-Sian.”

Goat Toanio kini tidak berani menolak lagi. Dirangkulnya puteranya dan merekapun bertangis-tangisan. Akan tetapi anehnya, puteranya itupun tidak mengatakan keberatan ketika Pendeta tua itu menggandengnya dan dengan lembut menariknya terlepas dari rangkulan Goat Toanio.

“Mulai sekarang, kuberi nama Kuil Beng Bu kepadamu,” kata kakek itu dan diapun menuntun pemuda itu pergi.

“Lo-Suhu, katakanlah, kapan saya akan dapat bertemu lagi dengan anakku?” Goat Toanio menangis. Akan tetapi Pendeta itu hanya tersenyum, kemudian tiba-tiba saja dia dan muridnya itu menghilang di antara kepulan asap, perlahan-lahan menghilang sambil melambaikan tangan kepada Goat Toanio dan yang lain-lain.

Mereka ini terkejut dan cepat berlutut untuk menghormati Pendeta itu yang mereka anggap sebagai penjelmaan Sang Buddha sendiri. Tepat seperti dikatakan Pendeta itu, sebelum sepuluh hari mereka tinggal di Kuil itu, pasukan pemberontak itu mundur kembali ke utara. Keadaan menjadi aman kembali dan segera Goat Toanio bersama rombongannya segera kembali ke Ceng-Ho-Sian. Ternyata rumahnya masih utuh. Kehidupan Goat Toanio menjadi tenang. Karena kini ia tidak mempunyai anak, ia mengangkat A Tai menjadi ahli warisnya. Dan ternyata A Tai menjadi seorang anak angkat yang amat baik dan berbakti, menjaga dan melayani Goat Toanio sampai di hari tua. Karena kebaktian A Tai, Goat Toanio merasa terobatlah hatinya karena kehilangan puteranya, dan iapun hidup dalam keadaan tenteram sampai akhirnya meninggal dunia dengan tenang dalam usia lebih dari tujuh puluh tahun.

Demikianlah, kisah ini berakhir, sebuah kisah klasik oleh pengarang yang tidak dikenal yang menggambarkan kemaksiatan yang terjadi di jaman itu, di mana orang-orang yang berkuasa merajalela, dan orang-orang kaya menggunakan kekayaan mereka untuk melakukan penyuapan dan penyogokan, membeli kebenaran dan kemenangan untuk diri sendiri di mana manusia sudah kehilangan peri kemanusiaannya karena buta oleh pengejaran kesenangan duniawi. Namun kisah ini menggambarkan pula bahwa segala akibat baik maupu buruk merupakan kelanjutan daripada sebab yang terjadi karena ulah manusia sendiri.

Segala peristiwa kehidupan, baik yang terjadi di dalam kehidupan, baik maupun buruk, hanya memiliki dua makna yaitu menuai ataupun menanam. Tanamlah yang baik-baik saja, dan jangan mengeluh kalau kita menuai sesuatu yang buruk sekalipun karena itu bukan lain hanyalah hasil daripada tanaman kita sendiri.

Lereng Lawu, awal Juli 1981

T A M A T

Posting Komentar