Bukankah isteri Chen sedang tidak berada di kamarnya dan pergi berkunjung ke rumah Ibunya? Diapun berindap-indap mendekati jendela dan dia mendengarkan semua percakapan tadi mengenai dirinya dan saudara iparnya. Tentu saja Chang Shong menjadi terkejut setengah mati, juga marah. Mati hidup berada di tangan Tuhan. Hanya Tuhan yang menentukan kematian seseorang dan agaknya memang sudah dipastikan bahwa Cun Bwe akan terlepas dari ancaman maut malam itu. Ketika Chang Shong pergi ke kamarnya untuk mengambil pedangnya, datang pelayan memberi tahu Nyonya bahwa putera Cun Bwe rewel, menangis dan mencari Ibunya. Maka, ketika akhirnya Chang Shong memasuki kamar Chen Ceng Ki, dia mendapatkan orang muda itu seorang diri saja. Melihat Chang Shong membuka daun pintu kamarnya dengan paksa dan melangkah masuk, Ceng Ki terkejut dan membentak marah. “Hei, apa artinya ini?”
“Artinya aku akan membunuhmu!” kata Chang Shong. Aku mendengarkan percakapanmu dengan wanita itu. Engkau ingin menghancurkan aku, dan sekarang aku lebih dulu menghancurkanmu!”
Chang Shong menerjang dengan pedangnya dan tanpa dapat berteriak lagi Ceng Ki berkelojotan ketika pedang itu menembus jantungnya. Kemudian Chang Shong memenggal batang lehernya, dan meninggalkan kamar yang sudah banjir darah itu. Chen Ceng Ki baru berusia dua puluh enam tahun ketika dia terbunuh. Setelah membunuh Ceng Ki, Chang Shong kini mencari Cun Bwe. Setelah tidak berhasil menemukan wanita itu di kamar itu dan di kamar-kamar sebelah, dia menduga bahwa tentu wanita itu telah kembali ke kamarnya sendiri, kamar induk. Maka dengan pedang di tangan diapun segera melangkah menuju ke bangunan induk. Akan tetapi muncullah Li An, seorang kepala pengawal yang malam itu juga melakukan ronda.
“Hei, engkau hendak ke manakah?” Chang Shong tidak menjawab dan melihat Li An menghadangnya, diapun menyerangnya. Li An cepat mengelak ke samping dan setelah beberapa kali mengelak dari serangan pedang, akhirnya dia berhasil menendang pergelangan lengan Chang Shong dan menangkap pembunuh itu. Dipuntirnya lengan Chang Shong ke belakang dan sekali menendang lutut, Chang Shong roboh terhimpit dan tidak perdaya ketika dibelenggu kedua tangannya. Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu membuat Cun Bwe berlari keluar. Dia terkejut melihat Chang Shong.
“Apakah yang telah terjadi?” tanyanya kepada Li An. Pengawal ini memberi hormat. “Dia ingin membunuh Nyonya, dia datang membawa pedang itu.”
“Tapi pedang itu bernoda darah.” Cun Bwe berseru kaget. Li An hanya menuding ke arah kamar barat di mana Ceng Ki tinggal dan Cun Bwe lalu berlari memasuki kamar kekasihnya.
Melihat kekasihnya sudah tewas dengan kepala terpisah dan mandi darah, Cun Bwe mengeluh dan jatuh pingsan. Beberapa hari kemudian, Jenderal Chow pulang dan mendengar akan peristiwa yang terjadi di rumahnya, dia marah sekali kepada Chang Shong dan menjatuhi hukuman cambuk seratus kali dengan tongkat besar. Chang Shong tewas ketika menjalani hukuman. Kemudian, Liu, tukang pukul di Lin-Ceng itupun ditangkap dan dipukuli sampai mati. Sun Siu Oh yang ketakutan telah menggantung diri sampai mati sehingga ia terbebas dari dendam Cun Bwe dan tidak sampai diseret ke depan pengadilan. Setelah mengatur penguburan Chen Ceng Ki, Jenderal Chow akhirnya harus berangkat ke utara. Cun Bwe yang masih terguncang perasaannya oleh kematian Ceng Ki, melayani suaminya makan dengan wajah muram dan penuh kekhawatiran.
“Suamiku, kapankah aku akan dapat melihatmu lagi?” katanya sambil menghapus air mata.
“Aku tidak tahu mengapa sekarang aku merasa begini gelisah melepasmu pergi perang. Berhati-hatilah suamiku, karena para pemberontak itu adalah yang ganas dan liar.”
“Jangan khawatir, isteriku. Baik-baik saja menjaga dirimu dan anak kita. Aku harus mempertaruhkan nyawaku untuk Kerajaan, yang telah memberi aku kehidupan yang penuh dengan kehormatan dan kemuliaan.” Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, jenderal itu berangkat meninggalkan kotanya dengan pasukannya. Cun Bwe ditinggal seorang diri dalam keadaan kesepian dan setiap hari ia hanya menangis, menangisi kematian Ceng Ki dan menangisi kepergian suaminya. Sementara itu, orang yang paling menderita karena kematian Chen Ceng Ki adalah Mei Li. Perasaannya hancur luluh dan setelah gagal melayat, iapun pergi mengunjungi kuburan kekasihnya, di kuburan yang tidak jauh letaknya dari kuburan Kim Lian. Setelah tiba di depan kuburan yang masih baru itu, Mei Li melempar dirinya di atas gundukan tanah itu, membakar uang kertas akhirat dan menangis dengan suara nyaring.
“Kekasihku, aku mengharapkan untuk hidup sampai Kakek Nenek di sampingmu, dan sekarang engkau telah meninggalkan aku seorang diri!” Ia memukul-mukulkan kepalanya di kuburan Itu sampai jatuh pingsan. Selagi Ayah-Ibunya sibuk menolongnya, muncullah Cun Bwe dan Cui Peng, isteri Ceng Ki, di kuburan. Han Tao Kok segera memberi hormat kepada Cun Bwe yang mengenalnya.
“Dan siapakah wanita ini?” Cun Bwe bertanya sambil menunjuk kepada Mei Li yang mengenakan pakaian berkabung dan yang baru saja siuman dari pingsannya.
“Ia adalah anak kami, Mei Li.” Han Tao Kok lalu menceritakan tentang keadaannya setelah melarikan diri dari Kota Timur, betapa di Lin-Ceng mereka bertemu dengan Ceng Ki dan tentang hubungan Ceng Ki dengan Mei Li.
“la memaksa untuk mengunjungi kuburan ini dan bersembahyang...!” Han Tao Kok menutup ceritanya. Kini Mei Li melanjutkan cerita Ayahnya.
“Walaupun hubungan antara kami tidak sah, namun kami saling mencinta, hidup sebagai suami-isteri dan saling bersumpah untuk setia sampal mati.” Dan Mei Li menangis lagi sampai hampir kehabisan napas. Melihat kedukaan yang mendalam ini, Cui Peng sendiri merasa terharu dan Cun Bwe juga percaya bahwa kekasihnya itu, Chen Ceng Ki, benar-benar saling mencinta dengan wanita ini. Ketika Ayah dan lbunya akan pulang, Li berkata, “Tidak, aku tidak mau pulang!” Ia lalu berlutut di depan kaki Cun Bwe sambil menangis.
“Saya ingin hidup bersama Nyonya Besar. di rumah itulah, di rumah di mana kekasihku tinggal, aku akan melanjutkan hidupku, bersembahyang untuknya dan menjadi jandanya sampai mati. Kalau aku mati kelak, ingin dikubur di sampingnya.” Cun Bwe berkata dengan lembut,
“Adik yang baik, engkau masih muda. Engkau akan menderita kalau hldup menjanda. Apakah engkau akan meninggalkan kehidupan masa depanmu yang cerah?”
“Nyonya Besar, saya adalah milik kekasih saya itu, untuk selamanya. Biar mataku akan dicongkel dan hidungku di buntungi, saya bersumpah tidak akan melayani laki-laki lain.” Setelah berkata demikian, la menoleh kepada orang-tuanya.
“Pergilah kalian, aku akan Ikut Nyonya Besar!”
“Anakku, kami orang-tuamu mengharapkan untuk mendapat perawatanmu di waktu kami sudah tua. Inikah balas jasamu terhadap orang-tua?” kata Wang Liok Hwa. Namun Mei Li tidak mau memperdulikannya.
“Lebih baik aku mati daripada harus berkhianat kepada kekasihku.” Akhirnya, orang-tua Itu mengalah dan Mei Li ikut Cun Bwe tinggal di dalam gedung keluarga Jenderal Chow. Tentu saja kepergian Mei Li dirasakan sangat berat oleh suami-isteri Han Tao Kok dan Wang Liok Hwa. Mereka seolah-olah melihat gunung harapan mereka runtuh. Untunglah bahwa masih ada hartawan Hou yang setelah kini tidak terdapat lagi gangguan dari Liu, melanjutkan hubungannya dengan Wang Liok Hwa. Bahkan ketika dia hendak pulang ke kotanya, dia mengusulkan kepada Han Tao Kok agar suami-isteri itu, ikut saja dengan dia ke kota Hu-Couw, di mana mereka akan terjamin hidupnya.
Tidak ada jalan lain yang lebih baik bagi suami-isteri itu untuk menerima penawaran ini dan pergilah mereka mengikuti hartawan Hou. Sementara itu, Mei Li hidup menjanda dan ia akrab sekali dengan Cun Bwe. Akan tetapi, kalau Mei Li dapat hidup dengan tenang dan tenteram sebagai seorang janda yang setia, sebaliknya Cun Bwe merasa gelisah sekali. Ia amat kaya raya, cukup segala-galanya, namun apa- bila malam tiba, ia gelisah sendiri di atas pembaringannya yang dingin. Karena tidak dapat menahan gejolak berahi, yang mengganggunya setiap malam, akhirnya pandang mata Cun Bwe tertuju kepada Li An, kepala pengawal yang gagah perkasa dan cukup ganteng itu. Pada suatu malam, selagi Li An rebah seorang diri dalam kamarnya, masuklah seorang pelayan wanita.
“Hemm, apa maksudmu mengunjungiku selarut ini?” tanyanya heran. “Saya datang karena disuruh oleh Nyonya Besar,” jawab pelayan itu. “Masuklah dan apa yang dikehendaki oleh Nyonya Besar?”
“Ini,” ia mengeluarkan buntalan dua pakaian wanita. “Beliau mengirim pakaian ini untuk Ibumu, dan karena engkau telah menyelamatkannya dari maut di tangan Chang Shong, maka beliau menyuruh aku menyerahkan lima puluh ons ini kepadamu.” Setelah pelayan itu pergi, Li An termenung dan tidak dapat tidur, keesokan harinya, dia bergegas menuju ke rumah Ibunya dan membawa pakaian untuk Ibunya itu. Uang lima puluh ons itu ditinggalkannya di dalam almarinya... Sebagai seorang putera yang berbakti, dia menceritakan semua yang terjadi pada lbunya dan mohon petunjuk.
“Aihhh” wanita tua ltu berkata. “Aku melihat hal yang tidak baik di balik semua ini. Kebaikan yang berlebihan itu tentu mengandung pamrih yang membahayakan. Apa yang akan terjadi denganmu kelak kalau engkau sudah dianggap tidak berguna lagi dan mengganggu? Ingat nasib Chang Shong... Lebih baik engkau mengingat nasib Ibumu yang sudah berusia lanjut dan Jangan engkau kembali ke sana,”
“Akan tetapi, aku akan kesalahan terhadap Jenderal Chouw”