"Aih, keponakanku, bagaimana engkau sampai menjadi begini? Bagaimana kabarnya orang-tuamu?" "Keduanya telah meninggal dunia."
"Apakah engkau tidak lagi tinggal di rumah mertuamu?
"Ayah mertua saya telah meninggal dunia. lbu mertua saya mengusir saya keluar dari rumah, bahkan ia menuntut saya ketika baru-baru ini isteri saya meningga.! Karena pernikahan yang tidak patut itu saya telah kehilangan segala-galanya, harus menjual rumah dan segala barang yang saya miliki. Sekarang saya sudah tidak punya apa-apa lagl, dan terpaksa harus mengemis...” Kakek itu menarik napas panjang
"Sekarang engkau tinggal di mana?"
"Di bawah jembatan bersama para pengemis lain...”
"Ah... ah, sungguh menyedihkan! Masih teringat olehku ketika sahabat baik ku, Ayahmu itu, masih tinggal di sini dan engkau masih seorang anak kecil. Betapa terhormat dan makmur keadaan keluargamu ketika itu. Dan sekarang keadaanmu seperti ini, sungguh mengenaskan sekali. Apakah tidak ada anggauta keluarga lain yang dapat membantumu?"
"Tidak ada dan satu-satunya Paman saya yang tinggal di sini tidak mau menerima saya." Kakek Wang Ting Yang mengajak Chen Ceng Ki masuk, memberinya makan sekenyangnya, kemudian memberinya pakaian yang pantas dan lima ratus uang tembaga ditambah satu ons perak. “Di luar kota terdapat sebuah Kuil Tao, dan aku bersahabat, baik dengan ketua Kuilnya. Bagaimana kalau kita pergi ke sana dan akan kubujuk dia agar merimamu sebagai seorang kacung Kuil? Tentu saja engkau harus bekerja disana akan tetapi, bagaimanapun juga, engkau akan hidup terhormat dan cukup makan.”
"Saya setuju sekali, Paman yang budiman.” Setelah membuatkan dua stel pakaian kacung Kuil untuk Chen Ceng Ki, Kakek itu lalu mengajaknya pergi ke Kuil Tao yang jauhnya ada tujuh belas li. Setelah diterima oleh ketua Kuil, Kakek Wang menyerahkan sumbangan berupa segulung kain Sutera, seguci anggur, beberapa potong dendeng kering, dua ekor bebek panggang, dua keranjang buah dan lima ons perak, berikut permohonannya agar Chen Ceng Ki dapat diterima bekerja di Kuil itu sebagai kacung. Yen Tosu, ketua Kuil itu, menerima sumbangan tadi dengan gembira, apalagi ketika dia melihat bahwa calon kacung itu adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bertubuh tegap. Tanpa banyak alasan lagi diterimanya Chen Ceng Ki dengan gembira dan setelah Kakek Wang pergi dan mereka berdua saja di dalam ruangan belakang, Yen Tosu bertanya,
"Berapakah usiamu?”
"Dua puluh empat tahun” jawab Ceng Ki.
"Baik, mulai sekarang engkau menjadi kacung Kuil dan pembantuku yang baru dan namamu yang baru sebagai angauta Kuil adalah Tiong Bi, yaitu Sumber Kecantikan." Kepala Kuil Yen Tosu ini bukanlah seorang Pendeta yang menjauhi kesenangan dunia. Dia masih suka pesta, makan daging, minum anggur. Dia tidak kekurangan dana karena Kuilnya berada didekat kota Lin-Cing, sebuah kota pelabuhan sungai yang ramai oleh arus lalu lintas air. Banyak pengunjung datang ke Kuil itu dan mereka ini tentu saja menyumbang agar permohonan mereka kepada dewa penunggu Kuil dapat mudah terlaksana. Yen Tosu bahkan mempergunakan kelebihan uang penghasilan Kuil itu untuk membuka toko beras dan tempat penukaran uang di pelabuhan Lin-Cing, yang, menghasilkan keuntungan cukup banyak. Untuk mengurus perusahaannya, dia mempunyai seorang kepercayaan yang pandai berdagang.
Dia sendiri telah mempunyai dua orang kacung yang tampan, yang menemaninya, melayaninya untuk keperluan sehari-hari, juga menjadi teman-teman tidurnya. Semua teman dekatnya tahu belaka bahwa Yen Tosu adalah seorang Kakek yang suka membawa pemuda-pemuda tampan ketempat tidurnya. Inilah sebabnya mengapa tosu ini demikian gembira menerima Chen Ceng Ki, karena pemuda ini amat tampan. Beberapa hari kemudian, setelah mengajak Ceng Ki makan minum dan membuat pemuda itu agak mabuk oleh minuman keras, Yen Tosu mengajak Ceng Ki tidur di dalam kamarnya. Ceng Ki adalah seorang muda yang berpengalaman dan melihat keadaan ini, ia menggunakan akal demi keuntungan dirinya. Dia pura-pura menolak keras dan seolah-olah hendak berteriak. Ketika Kakek yang terkejut itu menutup mulutnya dengan tangan, Ceng Ki berkata,
"Ah, kiranya engkau suka padaku. Baiklah, aku akan melayanimu, tetapi dengan tiga syarat." Kakek pendeta yang sudah dicengkeram nafsu itu, menjawab dengan penuh gairah,
"Jangan hanya tiga, biar sepuluh syaratpun akan kupenuhi"
"Pertama, tidak boleh ada lain orang menemanimu tidur. Ke dua, aku minta kunci dari kamar-kamar di Kuil dan pintu gerbang. Dan ke tiga, aku minta agar boleh keluar dan masuk Kuil sesuka hatiku.”
"Hanya itu? Permintaanmu kusetujui!" Kembali dengan kecerdikannya Ceng Ki dapat hidup senang walaupun dia menjadi kacung Kuil. Dia bebas pergi kemana saja, dapat memakai uang dan ambil apa saja yang diperlukannya. sementara dengan, kepandaiannya dia berhasil menguasai kepala Kuil itu yang menjadi tergila-gila kepadanya dan setiap malam tidur bersama pemuda yang menjadi kekasih barunya itu,
Pada suatu hari ketika Chen Ceng Ki pergi mengunjungi kota Lin-Ceng, dari teman dia mendengar bahwa seorang sahabat lama, bekas kekasihnya, yaitu Kim Giok, berada di kota itu. Bekas pelayan di dalam rumah keluarga Shi Men, setelah keluar dari situ, menjadi anggota keluarga rumah pelesiran milik Bibi Ceng di Ceng-Ho-Sian, akan tetapi sekarang wanita muda yang cantik ini bekerja di dalam sebuah kedai arak yang besar di Lin-Ceng. Mendengar ini, giranglah hati Ceng Ki. Dia membawa uang secukupnya dari Kuil, kemudian bersama temannya pergi mengunjungi kedai arak itu. Ketika Kim Giok melihat munculnya Ceng Ki, Ia terbelalak dan sepasang mata yang indah itu lalu menjadi basah dan berderailah air matanya. Ceng Ki juga merasa terharu, dengan lembut diapun membimbing tangan wanita itu dan diajaknya duduk di sampingnya. Kini Kim Giok menangis di atas pundak bekas kekasih itu,
"Sudahlah sayang, kini aku. telah berada di sampingmu lagi, jangan bersedih.” Setelah teman Ceng Ki yang tahu điri meninggalkan mereka berdua saja, mereka saling menceritakan pengalaman masing- masing sejak berpisah, kemudian merekapun berpesta untuk merayakan pertemuan kembali itu yang ditutup dengan pelepasan kerinduan yang mesra dan memuaskan kedua pihak.
Mulailah hari itu terjadilah hubungan yang akrab antara Chen Ceng Ki dan Kim Giok, melanjutkan hubungan mereka yang dahulu terputus ketika isterinya mati menggantung diri dan Kim Giok akhirnya dijual ke rumah pelesiran. Kini seminggu dua tiga kali Chen Ceng Ki datang berkunjung dan bersenang- senang dengan kekasihnya itu. Kedai arak yang juga menjadi rumah pelesiran di mana kini Kim Giok tinggal adalah milik seorang she Liu dan dia adalah ipar dari Chang Shong, yang terkenal sebagai seorang tukang pukul yang ugal-ugalan, sewenang-wenang mengandalkan kekuatan dan keberanniannya yang didasari kedudukannya sebagai seorang pelayan pembesar tinggi. Chang Shong ini bukan hanya suka, mabuk-mabukan akan tetapi juga suka mengganggu gadis-gadis penghibur yang datang ke kedai arak itu untuk melayani para tamu.
Dia memeras mereka dengan kekerasan, mengharuskan mereka membayar semacam uang pajak. Setiap waktu dia menghendaki, wanita-wanita penghibur itu harus mau melayaninya dan dia memperlakukan mereka dengan kasar dan kejam. Pada suatu siang, ketika Cheng ki sedang duduk bersendau gurau dengan Kim Giok di dalam kamarnya sambil minum arak, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar dengan keras. Karena Kim Giok agak lambat membukakannya, pintu itu ditendang dari luar sehingga terbuka dan muncullah Chang Shong yang mukanya merah karena mabuk dan marah, matanya melotot penuh ancaman. Chen Ceng Ki terkejut dan ketakutan, akan tetapi Kim Giok dengan sikap ditenangkan lalu bangkit dan menghampirinya, bertanya dengan sikap manis,