Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati.
Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw" Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
50 Gadis itu kembali tersenyum.
"Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang" Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya.
Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memper-kenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi.
Maafkan kalau Sam--wi menghadapi kesukaran tadi." Si tinggi kurus menghela napas pan-jang.
"Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan.
Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?" "Sudah banyak yang datang, dan ma-sih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini." Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap.
Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka mempergunakan minyak.
Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik.
Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari ju-rang yang tadi.
Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau me-miliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
"Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.
"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan me-mandang ke seberang sana.
"Tidak ada jalan lain.
Inilah jalan satu-satunya." "Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.
"Menyeberangi jurang ini." kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak.
"Akan tetapi, siapa yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gen-dut tanpa malu-malu lagi.
"Tidak meloncati, melainkan menye-berang." "Tapi, bagaimana mungkin" Tidak ada jembatannya...." kata pula si muka hitam."Tunggu dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis berpakaian putih itu mengeluar-kan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu.
Terdengar bunyi melengking nyaring de-ngan irama tertentu, lalu ia menghenti-kan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.
Tak lama kemudian, dari seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban.
Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning.
Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.
"Singgg....
wirrrrr....!" Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ter-nyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki.
Keti-ka anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap te-nang sekali hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai.
Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari se-berang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat.
Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur sehingga dari se-berang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
"Nah, kita menyeberang melalui jem-batan tali ini," kata gadis pakaian putih.
"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali se-besar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan me-layang ketika badan akan terbanting hancur di dasar jurang! Gadis itu tersenyum mengejek.
"Siapa bilang main-main dengan nyawa" Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali me-nyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya.
Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung.
Yang tidak mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao--beng-pai." Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali.
Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata.
"Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang." Setelah berkata demikian, ia pun lalu melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jem-batan besi yang lebar saja.
"Jangan membikin malu saja." kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan.
Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut.
Mereka bertiga adalah orang--orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka.
Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di atas jurang yang ter-amat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.
Setelah mereka semua tiba di sebe-rang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya.
Walaupun wajahnya ter-senyum dan diperlihatkan ketenangan dan kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, mem-bayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.
Setelah tiba di seberang, sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di sebe-rang sana dan gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya.
Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi semakin gembira.
Kalau Pao-beng-pai memiliki perajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat! "Nona, kalau tidak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Kini si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi.
"Tentu saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami." Ia saling pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya ter-senyum geli.
"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, sila-kan mengikuti kami menghadap pimpinan kami." kata si baju putih.
Mereka melanjutkan perjalanan, si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju kuning ber-jalan di belakang.
Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi ke-lihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.
Tiga orang itu tercengang.
Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Paobeng-pai merupakan gedung besar yang megah.
Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas.
Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik.
Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana! Kalau tadi, dari atas pohon, mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu mereka muncul, bagaikan semut saja, nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi.
Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hi-tam, ada yang biru.
Namun, para peraju-rit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu berdisiplin.
Ketika Tiat-liong Sam-hengte me-masuki pekarangan, bermunculan penjaga--penjaga yang berpakaian abu-abu, ber-kelompok di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendapa bagian luar gedung itu.
Mereka berdiri dengan sikap tegak se-perti arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi hormat ke-pada gadis berpakaian putih seperti perajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya.
Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang perajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah datang diper-silakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri.
Mari, kita persilakan Sam-wi me-nunggu pula di sana seperti para tamu lain." Tiat-liong Sam-hengte hanya meng-angguk.
Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah kehilangan wi-bawa.
Gedung itu memang megah, de-ngan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran.
Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jerih dan mak-lum bahwa mereka memasuki sarang se-buah perkumpulan yang besar dan kuat.
Kiranya di sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu, telah berkumpul banyak sekali tamu.
Dengan girang Tiat--liong Sam-hengte mengenal beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang--ouw yang terhitung golongan hitam atau golongan sesat.