Kini kita sudah se-makin tua.
Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur" Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas." "Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat.
Bukankah kita berdua su-dah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li" Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mem-punyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid.
Cucu--cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu--ilmu kita." "Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmuilmu dari kita.
Mereka juga mempunyai guru-guru lain.
Aku ingin seorang murid yang hanya mengua-sai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik napas panjang.
Isterinya tersenyum.
"Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan men-cari seorang murid.
Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selama-nya." Suaminya mengangguk-angguk.
"Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemu-kan seorang murid yang cocok.
Bagai-mana pendapatmu?" Isterinya memandang dengan wajah berseri.
"Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat.
Kita kun-jungi keluarga, juga sahabatsahabat la-ma, sekalian mendengarkan berita ten-tang Pao-beng-pai." *** Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa.
Lembah ini selain mempunyai ba-nyak hutan liar yang dihuni binatang--binatang buas, juga terkenal banyak ular-nya yang berbisa dan terdapat pula pen-jahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pe-merintah maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.
Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa ber-lumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya.
Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menarik-nya keluar.
Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeram-kan, terdengar suara-suara aneh seolah--olah laksana iblis berpesta pora di situ.
Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)! Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.
Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur.
Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli.
Pe-tak rumput hijau segar dan bersih di-seling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna.
Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya.
Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak ber-diri sebuah bangunan yang anggun dan megah.
Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi.
Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi.
Selain megah dan besar, juga gedung itu te-rawat baik, nampak bersih.
Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan.
Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan me-gah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar ke-sibukan atau suara apa pun dari sana.
Seperti rumah kosong saja, padahal me-lihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong.
Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan te-naga belasan orang! Pagi hari itu cuaca amatlah cerah-nya.
Hawa udara juga hangat oleh mata-hari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga--bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau.
Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur.
Mata-hari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cua-ca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbang-an sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan.
Juga suara monyetmonyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.
Semak-semak bergerak, ter-dengar bunyi ranting kering patah ter-injak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu.
Seorang yang berjalan paling depan me-megang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan.
Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena me-mang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ.
Terlalu besar bahayanya.
Karena itulah, maka tiga orang ini ter-paksa harus membuka jalan baru.
Be-berapa kali mereka itu menemui jalan buntu.
Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah.
Baru ke-nyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran.
Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati.
Kiranya perjalanan me-reka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan! "Hemmm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok.
"Tadi pun kita sudah lewat di sini." "Sudah tiga kali kita kembali ke tem-pat yang pernah kita lewati.
Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.
"Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan se-macam jebakan.
Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
"Kita adalah tamu-tamu yang di-undang, bagaimana mereka berani meng-hina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?" orang ke dua bertanya pena-saran.
Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu.
Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
"Kalian tenang dan bersabarah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning.
"Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput.
Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini." Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan.
Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah go-longan orang-orang kang-ouw, petualang--petualang yang hidup berlandaskan ke-kerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.
"Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.
"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah.
"Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sen-diri, kita harus dapat menemukan sarang mereka.
Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon." Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor mo-nyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu.
Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba--tiba dia berteriak.
"Ahhh, bukan main....! Betapa megah-nya sarang mereka....! Itu, di sana sa-rang mereka, besar dan megah sekali!" Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah, tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu.
Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
"Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.
Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada.
Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.
"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya dan dia pun hendak lari ke de-pan, akan tetapi baru saja kakinya meng-injak hamparan rumput, kaki itu ter-jeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lum-pur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuh-nya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
"Tolooonggg...., Twako.....
Ji-ko, to-long....!" Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh ke-ngerian, mukanya pucat sekali.