Tentu keberanian-nya terdorong kebencian yang amat be-sar." "Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan pe-nyelidikan sampai di mana kekuatan ki-ta." kata Kam Hi Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggauta tiga ke-luarga besar itu sampai jauh malam mem-bicarakan gadis Pao-beng-pai itu, men-duga-duga dan merasa heran karena pe-ristiwa itu memang amat aneh dan men-curigakan.
Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut.
Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ke-tiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungan-nya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak.
Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa-lagi membunuh seorang gadia muda yang menjadi lawan mereka.
Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng--pai itu maka ia berani menantang se-demikian nekatnya.
Sampai jauh malam baru para ang-gauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masingmasing yang sudah di-persiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ.
Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang me-lihat gadis itu.
Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuh-kan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali.
Tan Sin Hong menghiburnya.
"Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh.
Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandai-an yang cukup untuk menjaga diri sen-diri." "Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang was-pada, dapat terancam bahaya." Isterinya membantah.
Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong.
"Lihat Ayah, cucu-mu telah pergi, meninggalkan surat ini.
Bagaimana baiknya" Hatiku merasa geli-sah sekali, apalagi mengingat akan peris-tiwa yang baru kemarin terjadi." Dengan tenang Kao Cin Liong me-nerima surat cucunya itu, lalu membaca-nya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan.
Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu.
Juga ia ingin melakukan pe-nyelidikan terhadap Paobeng-pai.
"Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati." demiki-an ia mengakhiri suratnya.
"Aih, anak itu, kenapa demikian ne-kat!" seru Can Bi Lan.
"Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi ke mana ia akan mencari anak kami" Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena ber-tahun-tahun mencari tak pernah berhasil!" "Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong Li.
"Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan.
Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kangouw, terutama golongan sesat?" Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa.
"Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu meman-dang ringan puterimu sendiri" Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan meng-ikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi" Tenangkanlah hati-mu, dan biarkan puterimu meluaskan pe-ngalaman dan menambah pengetahuan." Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata.
"Benar apa yang di-katakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri.
Biarpun ia keras hati, na-mun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik." Mendengar ini, Suma Ciang Bun menganggukangguk membenarkan.
Setelah para tokoh tua dalam ke-luarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun.
"Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?" Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu.
Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyo-nya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan.
Ia tahu benar apa yang ber-ada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat.
"Eng-kau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kaulakukan itu baik dan benar, Ciang Hun." Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
"Terima kasih, Ibu.
Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga.
Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!" Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ter-nyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi! Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang.
Mereka berdua adalah orang--orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya.
Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka.
Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pen-dekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak mu-rid keluarga Pulau Es pula.
Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan un-tuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun.
Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata.
"Sian Li se-betulnya tidak boleh pergi sekarang kare-na kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan per-tunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun." "Pangeran....?" Kao Cin Liong me-mandang puterinya dengan alis berkerut.
"Engkau akan bermenantukan seorang pangeran" Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?" Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mere-ka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu.
Mereka semua me-nyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu! Tentu saja Tan Sin Hong dan isteri-nya tahu apa yang dipikirkan kakek itu.
Sin Hong cepat membantu isterinya.
"Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi.
Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu.
Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu." "Tapi....tapi kenapa seorang pange-ran....?" Kao Cin Liong berkata lirih.
Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan.
Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar! Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya.
"Kalau seorang pa-ngeran kenapa, Ayah" Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya.
Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun.
Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li." Kao Cin Liong menghela napas pan-jang dan tidak mampu menjawab lagi.
Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturun-an Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.
Semantara itu, tentu saja diam-dian, Nyonya Gakmengeluh.
Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan de-ngan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bah-wa perjodohan berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.
Selama beberapa hari, berangsur--angsur para anggauta keluarga meninggal-kan rumah Suma Ceng Liong dan akhir-nya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng.
Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali.
Baru saja ru-mah mereka demikian cerah meriah de-ngan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.
Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan.
Murid mereka itu, me-nurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urus-an pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.
Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama se-kali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri.
Sian Li tidak men-ceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang men-jaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.
"Kita harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.
"Ah, ke mana kita harus mencari" Tidak banyak terdapat anak yang ber-bakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik.
Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun." Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
"Kita harus mencari," kata suaminya.
"Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat.