Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak pu-cat dan napas terengah, sedangkan gadis itu ketika terdorong ke belakang, mem-buat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak.
Suma Lian ter-bebas dari ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sin-kang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang ter-desak.
Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata mencorong, kulit wajahnya memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
"Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?" Ia berkata mengejek.
Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan.
Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun tentu saja tidak seperti dahulu, walaupun dia masih berwatak gembira.
Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya melaku-kan pengeroyokan dia hanya tersenyum.
"Bu-beng Sio-cia, aku tidak melaku-kan pengeroyokan, hanya melerai.
Puteri kami Suma Lian sudah kalah olehmu.
Nah, sekarang engkau mau apa lagi" Masih penasaran dan ingin menantang seorang di antara kami?" Biarpun kata--kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengan-dung penawaran kalau-kalau gadis itu masih mau menantang lagi, dan semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit.
Jelas kalau melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia tidak akan mampu menang.
"Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membukti-kan kehebatan nama besar para pendekar tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir.
Aku hanya bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hen-dak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh orang-orang biadab Mancu.
Sebaliknya, tiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!" Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan pengawal.
Ia pun menerima kembali kebutan-nya dari tangan gadis pakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil memberi hormat.
Sikap gadis itu tiada ubahnya seorang puteri istana, se-dangkan para pengikutnya amat menghor-matinya.
Sejak tadi, Tan Sian Li sudah ter-bakar hatinya.
Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi sebelum Suma Lian maju, ia sendiri sudah me-nerjang gadis itu.
Kini, mendengar ucap-an gadis itu yang dianggapnya amat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri" Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis depan joli itu dan mulutnya membentak garang, "Iblis betina sombong! Sambut serang-anku!" Akan tetapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang men-jadi pengawalnya itulah yang menyambut Sian Li.
Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.
"Dukkk!" Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang digabung itu, dan ia pun melayang turun.
Hatinya semakin panas.
Gadis sombong itu menyu-ruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap ia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya! "Jangan mengganggu nona kami yang mulia!" kata si baju kuning yang agaknya merupakan pemimpin dari mereka ber-empat.
Mereka sudah mengepung Sian Li dan menghadang Sian Li, melindungi nona mereka.
Melihat ini, Sian Li marah bu-kan main.
"Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Sian Li galak.
"Sian Li, jangan membunuh orang!" Ayahnya memperingatkan.
Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah.
Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan mengerikan karena suara tawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biarpun cantik namun dingin itu.
"Heh-heh-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?" Ditantang seperti itu, Sian Li mem-bentak, "Iblis betina, engkau boleh se-kalian maju mengeroyokku, akan kuroboh-kan kalian semua!" Setelah berteriak demikian, Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna itu.
Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki sin-kang yang cukup kuat.
Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao--beng-pai itu tidak membual ketika me-nertawakan Sian Li.
Empat orang pela-yannya memang lihai bukan main.
Me-reka adalah gadis-gadis berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus.
Hal ini tidaklah aneh karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai, me-wakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik.
Tadi ia memang meman-dang rendah kepada empat orang pelayan itu, walaupun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik Pao-beng--pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian.
Kini, ia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya, bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya.
Mereka pun melakukan serangan bertubi--tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan de-mikian, serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot.
Dan yang lebih menyakit-kan hatinya, suara tawa merdu itu sering terdengar olah gadis Pao-bengpai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya! Panaslah rasa hati Sian Li.
Kalau sejak tadi ia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah kare-na peringatan ayahnya agar ia tidak membunuh orang.
Maka, ia pun menahan diri, menahan sebagian tenaganya dan tidak pula mengeluarkan semua kepandai-annya.
Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Me-rah).
Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia me-nyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau dan karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali ia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu.
Ilmu yang amat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Paobeng-pai itu nampak terkejut.
Mereka ber-usaha menahan diri dengan menggabung-kan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh.
Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah.
Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, meng-ingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan me-nantangnya.
"Iblis betina, sekarang eng-kau majulah kalau memang engkau me-miliki keberanian!" Gadis itu mendengus.
"Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah.
Lain kali masih banyak waktu untuk memberi ha-jaran kepada bocah sombong macam kamu!" Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya.
Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
"Heiii, tunggu kau iblis betina!" Sian Li hendak mengejar.
"Sian Li, tahan....!" Sin Hong ber-seru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya.
Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya.
Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh.
Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan.
Sebagai se-orang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.
"Bibi Suma Lian, engkau keracun-an....!" katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian.
Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.
"Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!" kata Suma Ceng Liong.
"Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!" kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan is-terinya.
"Jangan!" cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
"Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi." kata Sian Li se-telah ia memegang nadi tangan Suma Lian.
"Mari kita ke kamar, Ibu, aku min-ta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku." katanya kepada ibu-nya, Kao Hong Li.
Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, ber-sama ibunya.
Atas petunjuk Sian Li, ibu-nya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sinkang dan me-nyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian.