Karena ia pun seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong be-rani menentang para anggauta tiga ke-luarga besar, tentu mempunyai kepandai-an yang dapat diandalkan.
Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam--diam ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.
Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi, matanya mencorong memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun tidak berani main-main.
Agaknya ia memang telah memperoleh keterangan yang cukup me-ngenai para anggauta keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar wanita anggauta keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Gadis itu bersikap tenang sekali.
Me-lihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya kepada gadis baju kuning yang tadi mengawalnya.
Ke-butan itu meluncur bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, mengejutkan semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang pembantunya sendiri! Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi se-makin heran.
Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai.
Gadis itu kini membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, meng-gulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.
"Suma Lian, aku sudah siap.
Keluar-kan semua kepandaianmu!" Gadis itu menantang.
"Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak lebih dulu!" Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang mata-nya mencorong di antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.
"Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi....!" Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi.
Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya mengambil se-suatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.
Suma Lian terkejut ketika merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya.
Tahulah keturunan ke-luarga Pulau Es ini bahwa gadis itu bu-kan sekedar tertawa, melainkan telah melakukan penyerangan seperti yang di-katakan tadi, penyerangan melalui getar-an suara tawa! Ilmu macam ini, meng-gunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat.
Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya.
Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempela-jari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir.
Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga melindungi diri dan "menutup" pendengarannya dari dalam, memandang gadis yang tertawa itu de-ngan senyum mengejek.
Para anggauta keluarga para pendekar yang hadir di situ, juga mengerahkan sin-kang dan mereka semua mampu menangkis getaran suara tawa itu.
Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali.
Mereka mencoba untuk menutupi telinga dengan kedua ta-ngan, namun agaknya getaran itu me-nembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal pingsan.
Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!" Dan suara tawa itu pun terhenti.
Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi lawan mau-pun para anggauta keluarga lainnya, ha-nya merobohkan orangorang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
"Kamu anak kecil sombong! Kaukira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti kami?" ben-tak Suma Lian dan nyonya ini pun mem-balas dengan serangan tamparan tangan kiri.
Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat dan gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian.
Pukulan ini dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian seru antara kedua orang wanita cantik itu.
Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan.
Mereka semua tahu betapa lihainya Suma Lian.
Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan dahsyat.
Ilmuilmu dari keluarga Pulau Es ditambah ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman.
Dan tidak tanggung-tanggung Suma Lian mengeluar-kan ilmu-ilmu itu.
Ia sudah mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa) namun aneh-nya, gadis itu seolah-olah mengenal se-mua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis.
Ketika para pendekar mem-perhatikan dasar gerakan yang dipergunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu, mereka merasa heran.
Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak macam aliran silat.
Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai terdapat di situ, juga ke-lincahan gerakan silat Bu-tong-pai.
Akan tetapi, gerakan kedua tangan ketika mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik ber-bahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat! Namun, ter-nyata gadis itu lihai bukan main.
Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya sedikit banyak ia telah me-ngenal jurus-jurus silat yang diperguna-kan Suma Lian untuk menyerangnya se-hingga ia mampu mengelak atau menang-kis dengan tepat.
Sementara itu, dalam hal tenaga sin-kang dan keringanan tubuh, ia tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah amat mengagum-kan dan mengherankan hati para pen-dekar yang berada di situ.
Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara me-reka semua, diam-diam merasa heran dan terkejut.
Pada jaman itu, kiranya sukar mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian Suma Lian.
Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggauta keluarga, yang dikagumi sebagai anggauta keluarga termuda yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian.
Akan tetapi, gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silat yang aneh.
Ia melakukan dorongan-dorong-an atau pukulan jarak jauh yang amat dahsyat, yang mendatangkan angin seperti gelombang samudra sedang membadai.
Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongandorong-an itu, namun agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pa-sangan kuda-kuda kaki Suma Lian ter-geser ke belakang sedikit, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.
"Haiiiiittttt....!" Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia meng-ubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah seperti berjongkok, pinggulnya yang besar menonjol dan hampir menyentuh tanah.
Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin dah-syat ke arah perut Suma Lian.
Suma Lian yang sudah cukup penga-laman itu dapat mengenal serangan dah-syat yang berbahaya.
Akan tetapi kalau ia mengelak terus, hal itu akan mem-buktikan bahwa ia tidak berani mengadu tenaga dan membuat ia nampak terdesak.
Maka, wanita yang keras hati dan pem-berani itu tidak mau mengalah.
Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Te-naga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es.
Biarpun kepandaian-nya dalam pengerahan sin-kang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat.
Ia mengerahkan tenaga ga-bungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangan-nya pula.
Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tak dapat dihindarkan pula.
Tidak nampak oleh mata memang, dan dua pa-sang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, namun keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat.
Tu-buh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan bibirnya mengembangkan senyum mengejek.
Keduanya tak pernah mengen-durkan tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma Lian berkeringat dan dari kepalanya mengepul uap.
Melihat ini, semua orang merasa te-gang dan khawatir.
Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka maklum bahwa adu tenaga sin-kang itu sudah mencapai titik yang gawat.
Seorang di antara mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di fihak terancam.
Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan amat berbahaya bagi kedua orang wanita per-kasa yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk melerai.
Kakek perkasa berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit Kanan Kiri, kedua tangannya dikembangkan dan di-dorongkan dari samping ke arah tengah--tengah di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sin-kang itu.
Bagaikan angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terdorong dan kehilangan keseimbangan.
Tenaga mereka yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting dan gadis itu terdorong ke belakang.