Setelah ia turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ram-ping, dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol.
Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulubalangnya.
"Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil." katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama.
Seperti igauan orang dalam mimpi! Namun, kalimat pendek ini mengejut-kan semua orang, terutama sekali kakek itu.
Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia per-nah menjadi panglima" "Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona.
Siapakah Nona?" Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, kare-na gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum me-ngenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
"Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama.
Biarpun se-karang engkau bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?" Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika meng-ucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali.
Mereka pun tidak me-rasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-beng--pai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang peme-rintah Mancu.
"Sudahlah, tidak perlu kita memper-soalkan apakah aku pernah menjadi pang-lima, juga apakah Nona mempunyai nama atau tidak.
Yang penting sekarang, apa maksud kedatangan Nona sebagai utusan Pao-beng-pai" Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?" kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap te-nang penuh kesabaran.
Sebagian anggauta keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu menggerakkan tangan kiri-nya dan ujung kebutannya bergerak se-olah ia mengusir lalat yang datang men-dekatinya, lalu kembali senyumnya mekar penuh ejekan.
"Apa maksud kunjunganku" Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak me-mandang sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan.
Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak ting-gi hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan kepandai-an mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti membantu kekuasaan para pen-jajah.
Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan sendiri apakah berita tentang kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja." Mendengar ucapan itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju, akan tetapi Tan Sin Hong yang sejak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat dengan ge-leng kepala.
"Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu," bisiknya.
Kao Hong Li ter-ingat, demikian pula Sian Li maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati.
Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas ka-lau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong yang mewakili mereka semua.
Kakek Kao Cin Liong tersenyum me-mandang ucapan gadis yang berani itu.
Diam-diam dia terheran dan terkejut.
Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggauta keluarga lengkap berada di situ" Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekali-pun tidak mungkin akan berani senekat itu! Andaikata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekalipun, menghadapi seluruh keluarga ini mereka akan sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendiri-nya.
Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah" Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.
"Bu-beng Sio-cia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai ingin membuktikan sendiri berita tentangan kegagahan ke-luarga kami, lalu apa yang kaukehendaki dengan kunjungan ini?" "Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuh-nya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling tinggi ilmu kepandainnya dari ketiga keluarga untuk mengadu kepandaian.
Aku tahu, bahwa aku mendatangi gua penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa maju dan membunuhku.
Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah...." "Tutup mulutmu yang busuk, iblis betina tanpa nama!" Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak itu sudah melon-cat maju ke depan wanita itu.
"Berani engkau mengeluarkan kata-kata menghina ayahku dan seluruh keluarga kami" Bocah sombong macam engkau hendak menantang kami" Majulah, aku yang akan me-wakili semua keluarga untuk menghajar-mu!" Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan dengus dari hidung, memandang rendah.
"Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong" Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li.
Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah.
Kenapa tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin Hong ini, untuk mewakilimu" Aku ingin bertanding de-ngan tokoh paling tangguh dari tiga ke-luarga besar, bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung--tanggung." Kembali semua orang terheran.
Wa-nita muda ini agaknya mengenal para anggauta tiga keluarga besar itu.
Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempela-jari keadaan mereka, wajah dan nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang me-reka miliki masing-masing.
Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.
"Biarkan aku saja yang menghadapi-nya!" terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu memandang penuh perhatian.
"Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil).
Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau.
Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini.
Kalau dia barulah ada harganya untuk melawan aku!" "Wah, bocah sombong, agaknya otak-mu tidak waras!" terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng berkelebat cepat men-dekati gadis itu.
"Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!" Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, lalu menoleh dan memandang kepada Suma Ceng Liong.
"Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan ke-luarga Suling Emas dan Naga Siluman! Lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong, keturunan lang-sung dari Pendekar Sakti Pulau Es!" "Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!" Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.
"Tidak, sebaiknya aku saja yang meng-hadapinya!" terdengar teriakan yang di-barengi berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiap-kan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.
Gadis itu kini tertawa.
Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan bersih.
"Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih me-miliki semangat dan galak-galak.
Akan tetapi aku tetap menghendaki orang ter-kuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku." "Jahanam sombong, sambutlah serang-anku!" Suma Lian sudah menerjang de-ngan dahsyat ke arah gadis itu.
Ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penye-rangan, ia sudah menyerang dengan to-tokan jari tangannya.
Terdengar suara bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuatnya tangan yang melakukan serangan totokan itu.
Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat lihai.
"Hemmm, bagus!" Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya me-lesat cepat bagaikan kilat dan ia sudah melayang ke belakang, ke tempat ter-buka yang lebih luas sambil tadi meng-hindarkan diri dari totokan maut.
"Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar.
Engkau tentu yang bernama Suma Lian, bukan" Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku.
Mari!" Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng.
Agaknya di antara semua anggauta ke-luarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang paling tangguh.
Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian meloncat ke depan gadis itu dan semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian karena biar gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama, na-mun dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya.
Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang menentang pe-merintah seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.
Dua orang wanita itu kini saling berhadapan dalam keadaan siap siaga.
Suma Lian, dalam usia empat puluh ta-hun, masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan untuk berlatih silat bersama suaminya.