Untuk menentu-kan sendiri langkah hidup kita dan bertanggungjawab atas langkah-langkah itu.
Pesta apakah yang pada pagi hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu" Pesta perayaan ulang tahun yang ke enam puluh dari Suma Ceng Liong.
Pes-ta sekali ini merupakan pesta yang khu-sus diadakan untuk "mengumpulkan tulang--tulang berserakan", istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengum-pulkan para anggauta keluarga yang ter-pisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan.
Dan mereka berdua memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluar-ga pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan.
Bukan hanya keluarga hubung-an darah, akan tetapi juga saudara se-perguruan.
Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng.
Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak.
Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan.
Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai.
Namun, betapapun mereka berikhtiar, dengan minum ber-macam obat, karena agaknya Tuhan tidak menghendaki, namun ikhtiar mereka ga-gal dan setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya tadir Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Kemudian berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan para ang-gauta tiga keluarga besar.
Pertama urut-an tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui.
Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan.
Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, juga merupakan anggauta keluarga Pulau Es.
Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun.
Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mere-ka selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw.
Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh tahun.
Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih adapun sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es.
Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggauta keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggauta keluarga Lembah Naga Silu-man yang hadir tentu saja diwakili nyo-nya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir.
Nenek itu tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan badan.
Ke-mudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian.
Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun.
Mereka datang bersama puteri mereka yang ber-nama Cu Kim Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun.
Tentu saja, sebagai puteri ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.
Ada pula belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu se-hingga dapat dianggap sebagai murid, datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus untuk keluarga itu.
Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu per-temuan yang menggembirakan dan juga luar biasa.
Demikian banyaknya pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat.
Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Satu demi satu, para anggauta keluar-ga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang tahunnya, dan banyak pula yang mem-beri hadiah tanda mata yang aneh dan berharga.
Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut mereka dengan gembira.
Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggauta keluarga.
Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping, sedang-kan para anggauta keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah.
Sua-sana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling ber-cakap-cakap satu kepada yang lain de-ngan suara gembira, apalagi para wanita-nya.
Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li Sian saling rangkul bahkan sam-pai menangis saking terharu dan gembira hati mereka.
Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara se-perguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak.
Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak pernah saling jumpa.
"Li Sian....!" "Su-ci (Kakak Seperguruan) Lian!" Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoi-nya yang bernama Cu Kim Giok, ia me-rangkul gadis itu dan mencium kedua pipinya.
"Aih, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!" katanya dengan wajah berseri gembira.
Kalau saja per-temuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian akan menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak.
Akan tetapi sekarang ia dan suaminya telah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan.
Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa sucinya tidak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.
Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar teriakan-teriakan gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan penga-laman masing-masing selama mereka saling berpisah.
Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat ber-hasil.
Sian Li juga bergembira dapat ber-temu dan berkenalan dengan para ang-gauta keluarga yang selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han ti-dak nampak di situ.
Akan tetapi ia ada-lah seorang gadis yang amat cerdik.
Diam-diam ia mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat.
Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng.
Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) Sim Houw.
Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersila-kan gadis yang lincah jenaka dan pe-ramah ini duduk bersama mereka.
"Paman Sim Houw, bagaimana kabar-nya dengan puterimu" Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak--kanak itu?" Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian.
Mendengar pertanyaan itu, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas panjang.
"Sian Li, terima kasih atas perhatian-mu.
Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat menemu-kan anak kami." "Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!" Sian Li men-cela.
Can Bi Lan berkata.
"Kami tidak putus harapan, Sian Li.
Akan tetapi ingat-lah anak kami itu sudah hilang selama dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun, kami tidak akan dapat mengenalinya lagi.
Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian.
Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati.
Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia su-dah mati, semoga mendapat tempat yang layak." Biarpun ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat men-dalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi.
Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han.
Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu! Suma Ceng Liong segera berkata.
"Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk yang lemah dan tidak berdaya.
Dalam keadaan seperti ini, satu--satunya hal yang dapat kita lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanya-lah berdoa dan menyerahkan kepada ke-kuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan.
Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki.
Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan.
Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian." "Sim-suheng, apa yang dikatakan sua-miku memang benar sekali.