Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin.
Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.
Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang.
Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.
Sian Li mengepal tinju.
"Kalau buaya--buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!" "Bersabarlah, Sian Li.
Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspada-an." kata ayahnya.
Mereka menanti sam-bil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belas-an orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa.
Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan--kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahliahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hek--bin-gu dan kawan-kawannya.
"Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!" Hek--bin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang se-gera dituntun anak buah gerombolan.
Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.
"Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami" Silakan keluar, kami Tiat-liong Samheng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!" kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka.
"Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?" bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran.
Bocah ini yang telah menghajar Hek--bin-gu dan dua belas orang anak buah-nya" Sukar dipercaya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluhtahun.
Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya.
"Biarkan aku yang menghadapi mereka!" "Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu." Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah ber-ada di dekat isterinya.
"Kalian mundur-lah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!" Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali.
Si kumis kecil panjang de-ngan suara gemetar dan gagap bertanya, "Engkau....
engkau....
Pekho-eng (Pen-dekar Bangau Putih)....?" Sin Hong tersenyum.
"Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih...." "Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!" kata Sian Li dengan sikap me-nantang dan bertolak pinggang.
Sin Hong memandang puterinya.
"Me-reka ini adalah isteri dan puteriku.
Si-apakah Sam-wi (Anda Bertiga)" Dan apa-kah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?" Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya.
"Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini.
Kami hanya men-dengar laporan dari anak buah kami.
Mereka memang bersalah dan patut di-hajar!" Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali.
Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.
"Bagus, ya" Kalian sungguh membuat kami malu.
Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah.
Kalian tidak pantas hidup!" setelah berkata de-mikian, si kumis itu bersama dua orang -saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan.
Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam me-reka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin me-reka.
Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu.
Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan.
Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sen-diri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di de-kat mereka sambil membentak.
"Hentikan pukulan!" Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkukbungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong.
Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren.
"Kalian bertiga menghajar anak buah kaliankarena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami.
Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka.
Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka." "Ayah, pemimpin sama dengan guru.
Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!" kata Sian Li.
"Biar kuhajar mereka bertiga!" "Benar juga kata-katamu, Sian Li.
Akan tetapi bagianmu sudah cukup.
Biar aku yang akan menghajar mereka agar bertaubat.
Nah, Tiat-liong Sam-heng--te, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela anak buah kalian.
Itu lebih jantan dan lebih bertanggungjawab daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!" "Kami....
kami tidak berani!" kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat.
Tidaklah begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih.
Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang.
Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong--pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan pu-teranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini.
Pen-diri Tiat-liong-pang itu bersama putera-nya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pen-dekar ini.
Bagaimana mereka akan berani melawan Si Bangau Putih" "Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!" kata Kao Hong Li.
"Tidak, Ibu.
Biar aku saja yang meng-hadapi mereka.
Heiii, kalian yang julukan-nya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga.
Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju.
Nah, pilih-lah, siapa yang akan kalian lawan" Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian." "Kami....
kami tidak berani...." Me-reka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
"Berani atau tidak kalian harus maju, atau....
kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan anak buah kalian!" kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang.
Agak-nya mereka sudah tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi.
Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri.
Tinggal isteri dan puteri pendekar itu.
Bagai-manapun juga, tentu isterinya lebih pan-dai daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka.
Kira-nya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu mereka masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka dapat keluar dengan tidak ter-lalu kehilangan muka.
"Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona." kata si kumis.
Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong.
Pula, tidak per-cuma mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang mem-buat mereka berani menggunakan julukan Naga Besi.
Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah.
Mereka mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta se-perti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya.
Akan tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat men-duga bahwa tiga orang lakilaki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disama-kan dengan tiga belas orang anak buah-nya.
Melihat betapa tiga orang calon la-wan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum.
Kini ia mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sinkun.
Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini.