"Prookkk …..!” Karena Kabilai sedang tersiksa rasa nyeri pada pundaknya yang terbabat pedang sampai terluka parah itu, dia tidak sempat menghindarkan diri, bahkan tidak sempat melindungi kepalanya maka pecahlah kepala itu dan diapun tewas seketika.
Ai Yin cepat mencabut pedangnya yang terselip di pinggang Kabilai lalu dengan pedang ditangan ia memutar tubuh menghadapi orang yang telah menolongnya.
Didepannya berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang hitam, seorang pemuda yang tampan gagah, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap. Pemuda itu tersenyum memandang kepadanya. Ai Yin menghampiri dan ia menyimpan pedangnya dalam sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya, lalu memandang pemuda didepannya yang juga sudah menyimpan pedang hitamnya.
"Kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau, Nona, dan mengapa pula engkau berkelahi dengan orang Mongol ini?” Pemuda ini bertanya dengan sikap lembut dan senyum memikat.
Ai Yin yang berterima kasih karena merasa diselamatkan dari bahaya maut dalam tangan orang Mongol yang lihai itu, berkata dengan wajah berseri. "namaku Wong Ai Yin, anak tunggal Bu-tek Sin-kiam Wong Tat. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, sobat. Siapakah engkau?”.
Pemuda itu kembali tersenyum. "Ah, apa yang kulakukan sudah semestinya antara kita saling bantu, apalagi menghadapi seorang Mongol yang jahat? Sudah lama aku mendengar dan menganggumi nama besar lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu dengan puterinya. Nona, namaku Cun Song dan seperti juga ayahmu, aku adalah seorang pejuang yang menentang penjajah Mancu yang menguasai tanah air kita”. Ai Yin memandang kagum kepada pemuda itu. Tentu saja ia tidak tahu nama pemuda itu sesungguhnya Song Cun. Seperti kita ketahui, Song Cun kini menggunakan nama Cun Song. Tadi ia melihat perkelahian antara Ai Yin dan seorang Mongol yang tidak dikenalnya. Ketika mendengar Ai Yin memperkenalkan diri sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam kepada orang Mongol itu, tentu saja dia segera turun tangan membantunya. Dia sedang mengantur rencana
bersama Can Ok untuk bersekutu dengan Pangeran Galdan dari Mongol dan Pangeran Dorbai untuk merampas tahta Kerajaan Ceng dan untuk itu dia perlu mendapat dukungan dari pendekar yang membenci Pemerintah Mancu. Bu-tek Sin-kiam terkenal sebagai seorang bekas pejuang yang gagah perkasa. Juga, pendekar ini adalah suheng dari Can Ok, maka perlu sekali ia dekati. Apalagi, gadis itu demikian cantik jelita dan lihai pula.
"Wahh, kalau begitu kita ini masih segolongan! Aku juga ingin sekali melihat penjajah Mancu pergi meninggalkan tanah air kita!”.
"Bagus, Ai Yin-moi ( adik Ai Yin), mari kita bekerja sama membasmi orang-orang Mancu!” kata Cun Song penuh semangat. "Tak jauh disebelah selatan ini terdapat sebuah dusun dan di situ tinggal sebuah keluarga Mancu. Mari kita serbu rumahnya di dusun itu dan membunuh seluruh keluarganya!”.
Ai Yin mengerutkan alisnya. "Ah, maksudku bukan seperti itu, toako (kakak). Aku tidak setuju kalau kita membunuhi setiap orang mancu. Yang kita musuhi adalah Kerajaannya, bukan orang-orangnya. Kita musuhi semua orang yang jahat, tidak peduli dia bangsa Mancu atau bangsa Han sendiri. Akan tetapi, biarpun dia Mancu, kalau baik budinya dan tidak jahat, tidak semestinya dibunuh, bahkan kalau dia di ganggu orang jahat, wajib pula kita bela”.
"Aih, sungguh aneh pendirianmu ini, Yin-moi (adik Yin)!” seru Cun Song yang membenci segala yang "berbau” Mancu. Kalau dia setuju ketika Can Ok menyatakan hendak bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang bangsawan Mancu, hal itu adalah merupakan siasat. Kalau gerakan itu berhasil, kelak dia sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai yang dia anggap sebagai musuh besarnya karena pangeran itu yang datang bersama pasukan dan menyerbu rumah paman dan ayahnya, beserta isteri mereka, tewas dibantai pasukan.
"Sama sekali tidak aneh, Song-ko (kakak Song). Bukankah seperti pula pendirian setiap orang pendekar? Menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan?”. "Akan tetapi seorang patriot harus membela tanah air dan menentang mereka yang menjajah tanah air kita ", kata Cun Song penasaran.
"Benar sekali, Song-ko. Ayahku dulu juga berjuang mati-matian menentang bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air kita. Akan tetapi perang telah usai maka ayahku lebih suka mengasingkan diri, walaupun hatinya kecewa dan bersedih sekali. Kalau sekarang terjadi perang antara bangsa kita dan penjajah Mancu, percayalah, aku akan membantu bangsa kita dengan taruhan nyawa ! Itu sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara yang baik. Perjuangan dalam perang bukan merupakan urusan pribadi lagi, jadi tidak ada permusuhan perorangan, yang ada hanya bangsa melawan bangsa. Akan tetapi sekarang tidak ada perang lagi, maka aku tidak lagi berjuang seperti juga ayah, melainkan bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Biarpun bangsa sendiri, kalau dia jahat, akan ku tentang dan biarpun orang Mancu atau Mongol atau suku manapun juga, kalau dia baik dan benar pasti akan kubela”.
Cun Song membelalakan matanya dan mukanya berubah kemerahan. "Aih, darimanakah engkau mendapatkan pendapat seperti itu, Yin-moi?”.
"Dari ayah, dari aku sendiri dan diperkuat ketika aku bertemu dan bersahabat dengan Siauw Beng”.
Sepasang mata pemuda itu semakin terbelalak. "Siauw Beng? Siapa dia …..?”
"Namanya Lauw Beng akan tetapi biasa disebut Siauw Beng. Dia seorang pendekar besar dengan julukan Si Tangan Halilintar”.
Cun Song tampak terkejut sekali. Tentu saja ini hanya pura-pura karena dia tentu sudah tahu ketika gadis itu menyebut nama Siauw Beng tadi.
"Si Tangan Halilintar? Akan tetapi ….. aku mendengar ….. penjahat keji dan dia di
cari dan dimusuhi semua orang kang-ouw ! Diakah yang kau maksudkan?”. Ai Yin tersenyum tersenyum dan memandang wajah pemuda itu. "Tidak salah, twako. Memang dia orangnya yang menjadi sahabatku”.
"Akan tetapi, mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang …. Pemerkosa dan pembunuh yang amat jahat dan keji ?”
"Itu hanya fitnah belaka, Song-ko. Siauw Beng sama sekali bukan seorang penjahat”.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa selain jahat, diapun seorang pengkhianat, Yin-moi. Dia itu putera seorang pengkhianat pula ! Ayahnya pernah menjadi antek pembesar Mancu, bahkan menikah dengan puteri pembesar itu. Dan ayahnya itu dahulu membantu pemerintah Mancu, memimpin pasukan dan membantai para pejuang.
Kemudian, penjahat bernama Lauw Beng itu malah bergaul rapat dengan seorang puteri Mancu!”.
Ai Yin mengangguk-angguk. "Semua itu aku sudah tahu, Song-ko”. Ia memandang kearah mayat orang Mongol itu.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, tidak enak bicara di dekat mayat itu”.
Mereka lalu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. "Song-ko, Siauw Beng sudah menceritakan semua keadaannya kepadaku. Memang ayahnya pernah tertipu orang Mancu, akan tetapi akhirnya ayahnya tewas sebagai seorang patriot. Ibunya bukan keturunan Mancu, hanya menjadi anak tiri pembesar Mancu. Dan tentang pergaulannya dengan puteri Mancu itu, hemmm … menurut keterangannya, puteri itu adalah seorang gadis gagah perkasa dan berjiwa pendekar”.
"Hemmm, gadis Mancu gagah perkasa yang telah menyebabkan kematian banyak pejuang bangsa kita yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Yin-moi, agaknya engkau percaya benar kepada Lauw Beng itu. Lalu, apakah dia juga menceritakan bagaimana lengan kirinya sampai buntung?”. Ai Yin menghela napas panjang. "Aih, memang itu gara-gara dia membela Puteri Mancu itu. Dia membela Puteri itu hendak dibunuh para pendekar pejuang karena dia merasa bahwa puteri itu tidak bersalah, dan ketika dia membelanya itulah lengan kirinya buntung, terbabat pedang”.
"Hemmm, siapa yang membuntungi lengannya?”.
"Dia tidak mengatakan siapa, mungkin seorang diantara mereka yang hendak membunuh Puteri Mancu itu. Akan tetapi aku berani menanggung dan menjadi saksi bahwa bukan Siauw Beng yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, Song-ko. Hal ini aku yakin benar karena selama terjadi kejahatan itu, aku selalu bersama dia!”.
"Yakin benarkah engkau, Yin-moi? Bagaimana kalau dia melakukan hal itu di waktu malam? Aku yakin engkau tentu berada dikamar terpisah …..”.