Si Tangan Halilintar Chapter 79

NIC

******

Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng, dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar!.

"Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!” "Tangkap pemberontak!”

Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw Beng. Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang– orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut dikeroyok.

Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata tajam.

"Ai Yin, lari …..!” ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan dan lari. Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali. "Can-susiok (paman guru Can), berani engkau hendak menyerang aku?”. Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus. "Tangkap nona ini!”.

Kemudian Can Ok dan orang Mongol kedua yang bertubuh besar pendek menerjang Siauw Beng. Can Ok sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan orang Mongol pendek besar itu menyerang Siauw Beng dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya. Rantai itu tebal dan berat, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

"Tranggg ……!” Ketika pedang Lui-kong Sin-kiam yang tipis di tangan Siauw Beng bertemu dengan ujung rantai, bunga api berpijar dan Siauw Beng terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti Orang Mongol itu kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga sakti Can Ok. Siauw Beng menghadapi pengeroyokan dua orang ini dengan memutar pedangnya sehingga tampak sinar pedang bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Can Ok dan orang Mongol itu melangkah mundur dengan kaget. Akan tetapi, para orang kangouw yang tadi di tinggal lari, sudah mengejar dan merekapun ikut mengeroyok sehingga Siauw Beng dikeroyok banyak sekali orang.

Demikian pula dengan Ai Yin. Orang Mongol tinggi kurus itu juga menyerangnya dengan senjata rantai baja yang panjang. Namun, dengan Liong-cu-kiam, pedang pusaka yang ampuh itu, Ai Yin dapat melindungi dirinya dengan baik. Ia bukan hanya dapat menangkis, akan tetapi juga dapat membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi segera pengeroyok yang amat banyak jumlahnya membuat Ai Yin terkepung rapat dan kewalahan sekali. Untung bahwa para pengeroyok itu tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya ingin menangkapnya tidak seperti pengeroyokan mereka terhadap Siauw Beng yang merupakan serangan maut.

Betapa pun lihainya, menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, setelah merobohkan empat orang pengeroyok akhirnya rantai baja yang panjang di tangan orang Mongol itu digerakkan sedemikian rupa sehingga melibat tubuh termasuk kedua lengan Ai Yin dan sebuah tendangan seorang pengeroyok dari belakang mengenai belakang lututnya membuat ia roboh terpelanting. Sebelum ia dapat menguasai dirinya, orang Mongol itu telah menubruk dan menotoknya sehingga tubuhnya menjadi lemas tak mampu meronta. Di lain saat orang Mongol yang tinggi kurus itu sudah memanggul tubuhnya dan membawanya lari dari situ.

Para orang kangouw yang tadi ikut mengeroyok Ai Yin tidak menghalangi dan tidak perduli melihat gadis itu dilarikan orang Mongol dan mereka kini mencurahkan perhatian mereka kepada Siauw Beng, lalu beramai-ramai ikut mengeroyok. Memang penjahat pembunuh dan pemerkosa itulah yang menjadi sasaran mereka.

Repot juga Siauw Beng menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu. Apalagi di situ ada Can Ok dan terutama orang Mongol gemuk pendek yang amat lihai itu. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengajak Ai Yin melarikan diri. Maka diapun mengamuk dan merobohkan sebanyak mungkin pengeroyok, tentu saja membatasi tenaganya sehingga tidak ada yang tewas. Ketika ia melihat Ai Yin roboh dan dibawa pergi orang Mongol tinggi kurus, dia terkejut dan hendak mengejar dan menolong Ai Yin. Akan tetapi, orang Mongol gemuk pendek dan Can Ok menghalanginya. Can Ok menggerakkan sepasang pedangnya.

"Trangg-tranggg ….!” Can Ok terkejut sekali karena sepasang pedangnya itu sudah terpental lepas dari pegangan tangannya. Pada saat itu, secepat kilat rantai baja di tangan orang Mongol pendek gemuk menyambar dan melibat pinggang Siauw Beng. Orang Mongol itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot agar tubuh Siauw Beng terguling roboh. Akan tetapi Siauw Beng mempertahankan dan tiba-tiba, pedang Siauw Beng berkelebat.

"Cringgg ….!” Rantai itu telah terbabat putus dank arena orang Mongol itu membetot sekuat tenaga, begitu rantai itu putus, rantai itu terbetot dan menghantam muka pemiliknya.

"Syuuttt …. Praakkkk!” Orang Mongol pendek gemuk itu roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Melihat ini, Can Ok melompat ke belakang. Siauw Beng berloncatan dan merobohkan setiap orang yang berani menghalanginya.

Akhirnya dia berhasil keluar dari kepungan dan melakukan pengejaran ke dalam hutan karena tadi dia melihat orang Mongol tinggi kurus itu membawa lari Ai Yin ke dalam hutan. Akan tetapi hutan itu lebat sekali dan Siauw Beng kehilangan jejak. Dia mencari-cari dengan hati gelisah. Satu hal menghiburnya. Gadis itu di culik dan tidak dibunuh, maka besar harapan Ai Yin tidak akan mati. Pula, ayah gadis itu adalah Bu-tek Sin-kiam, tokoh yang amat terkenal di dunia kangouw, maka kalau orang hendak mengganggu atau membunuhnya, harus berpikir dulu seratus kali ! Betapa pun juga, hatinya gelisah dan Siauw Beng melanjutkan pencariannya.

Bagaimana Can Ok dapat muncul di situ bersama dua orang jagoan Mongol yang lihai? Seperti kita ketahui, Can Ok mengadakan persekutuan dengan Cun Song, yaitu nama baru yang digunakan Song Cun. Setelah bersepakat, Can Ok lalu pergi mencari Galdan, Pangeran Mongol yang memimpin bangsa Mongol yang sudah lama runtuh. Tentu saja Galdan menyambut baik uluran tangan Can Ok yang menjanjikan bahwa dia dapat mengumpulkan banyak pejuang bangsa pribumi Han untuk bersama pasukan Mongol meruntuhkan Kerajaan Ceng, bersekutu pula dengan Pangeran Dorbai yang juga ingin merebut tahta Kerajaan.

Can Ok diterima baik dan Pangeran Galdan lalu membuat surat untuk Pangeran Dorbai, mengutus dua orang jagoannya yang paling lihai untuk pergi ke kota raja Ceng bersama Can Ok dan mewakili dia mengadakan perundingan dengan Pangeran Dorbai sambil menyerahkan suratnya.

Demikianlah, ketika tiba di tempat itu, Can Ok melihat Siauw Beng dan Ai Yin dikeroyok pasukan dan belasan orang kangouw. Karena dia amat membenci Siauw Beng maka dia lalu minta kepada dua orang jagoan Mongol itu untuk membantu mereka yang mengeroyok Siauw Beng dan Ai Yin.

Ketika Siauw Beng dapat meloloskan diri dari kepungan dan lari menghilang, Can Ok juga cepat mengejar ke arah larinya jagoan Mongol yang tinggi kurus dan yang menculik Ai Yin tadi. Dia mengenal Kabilai, jagoan tinggi kurus itu, sebagai seorang yang mata keranjang. Bagaimanapun juga, dia tidak rela kalau sampai Ai Yin, puteri suhengnya (kakak seperguruan) itu dinodai Kabilai, maka dia mengejar. Akan tetapi, seperti halnya Siauw Beng, dia kehilangan jejak orang Mongol itu dan akhirnya dia terpaksa melanjtukan perjalanannya seorang diri ke kota raja untuk menemui Pangeran Dorbai dan menyampaikan pesan Pangeran Galdan, apalagi surat dari Galdan memang ada padanya.

****

Setelah beberapa lamanya Ai Yin di panggul dan dilarikan Kabilai, jagoan Mongol itu, pengaruh totokan mulai melemah. Akhirnya gadis itu dapat menggerakkan tubuhnya. Sedikit gerakan ini terasa oleh Kabilai. Dengan kaget dia lalu melepaskan tubuh Ai Yin ke atas tanah karena gadis itu menyerangnya selagi berada di atas pundaknya, hal itu dapat membahayakan nyawanya. Ai Yin terbanting jatuh, akan tetapi hal ini menguntungkannya karena mempercepat pulihnya jalan darahnya. Cepat ia bergulingan untuk menjauhkan diri agar tidak mudah disergap orang Mongol itu sedangkan tenaganya belum pulih benar. Kemudian ia melompat bangkit dan ia melihat pula pedangnya, Liong-cu-kiam, terselip di pinggang orang itu. Bukan main marahnya Wong Ai Yin. Sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, walaupun pedangnya sudah dirampas lawan, ia tidak merasa gentar.

"He-he, manis! Engkau sudah dapat bergerak? Bagus sekali! Aku tidak suka mendapatkan seorang kekasih yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Mari, marilah, manis, kita bersenang-senang!” kata Kabilai dengan bahasa campuran Han dan Mongol namun cukup dapat dimengerti oleh Ai Yin.

"Jahanam busuk ! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Aku adalah puteri Bu-tek Sin-kiam dan aku pantang menyerah! Bersiaplah untuk mampus ditanganku, orang Mongol busuk!”.

Akan tetapi Kabilai belum pernah mendengar nama Bu-tek Sin-kiam, maka tentu saja nama itu tidak ada artinya baginya. Dia tertawa semakin keras. Dia tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Akan tetapi kini dia yakin akan dapat mengalahkannya dengan tidak terlalu sukar.

Sambil menyerengai Kabilai menghampiri Ai Yin dan kedua lengannya yang kurus panjang dengan otot melingkar-lingkar itu dikembangkan seperti orang hendak menangkap seekor ayam!.

Ai Yin tadi sudah merasakan kelihaian orang ini, maka ia berhati-hati. ia berdiri dengan sikap siap menghadapi serangan, tak bergerak namun seluruh urat syarafnya menegang, menanti datangnya serangan karena pada saat lawan menyerang itulah ia berkesempatan untuk membalas serangan secara langsung.

"Mari, mari manis, mari datang kepadaku ….!” Kabilai meloncat ke depan, menubruk seperti seekor harimau, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan kiri.

"Wuuuttt …. Wirrr …. Desss!” dengan lincah sekali Ai Yin mengelak, menyusup dibawah lengan kanan lawan, kemudian setelah tiba dibelakang tubuh Kabilai, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang mengenai pinggul orang Mongol itu. Kabilai menggereng dan membalik, tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu. Namun Ai Yin sudah melompat ke belakang dan ia merasa penasaran sekali karena tendangannya tadi seolah tidak terasa oleh Kabilai yang ternyata melindungi tubuhnya dengan kekebalan. Biarpun tidak terluka oleh tendangan itu, namun Kabilai mulai merasa penasaran. Kini mulailah dia menyerang dengan pukulan, tendangan dan cengkraman, terutama sekali sambaran tangan itu untuk mencengkram karena dia menggunakan ilmu gulat yang merupakan ilmu berkelahi yang popular dan menjadi andalan rakyat Mongol. Ai Yin mengimbangi cengkraman-cengkraman itu dengan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan tamparan dan tendangan kilat. Beberapa kali tendangan atau tamparannya mengenai sasaran, akan tetapi semua itu seolah tidak dirasakan oleh orang Mongol itu.

Karena semua cengkramannya tidak pernah berhasil, Kabilai mulai marah. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, lalu melolos senjatanya, yaitu rantai baja yang panjang itu. Mulailah dia memutar-mutar senjata itu diatas kepalanya sambil berkata.

"Nah, sekarang jawab! Engkau mau menyerah baik-baik atau ingin mampus dan pecah kepalamu oleh rantai ini?”.

Dengan gagah Ai Yin berseru, "Lebih baik mati daripada menyerah kepada seekor anjing srigala macam kamu!”. Muka anjing Mongol itu menjadi merah sekali karena marah mendengar ucapan yang menghina ini. Putaran rantai baja itu semakin cepat sehingga terdengar suara bersiutan dan rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar.

"Kalau begitu, mampuslah!” Dia mulai menyerang dan sinar senjata rantai itu menyambar- nyambar kea rah kepala Ai Yin. Gadis ini menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak. Akan tetapi karena rantai itu panjang dan sambarannya cepat sekali sehingga bertubi-tubi datangnya, Ai Yin sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendekati lawannya dan balas menyerang. Maka iapun hanya dapat berloncatan cepat kesana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung rantai yang merupakan tangan maut itu.

Mulai terpikirlah oleh Ai Yin untuk melarikan diri karena kalau pertandingan ini dilanjutkan, ia pasti akan celaka. Kalau ia memegang pedang tentu ia akan mampu mengadakan perlawanan lebih seimbanh dan bukan mustahil ia akan mampu merobohkan lawan ini. Akan tetapi agaknya Kabilai dapat menduga akan kemungkinan ini maka dia memutar rantainya lebih cepat lagi sehingga semua jalan keluar gadis itu tertutup. Untuk menyelamatkan diri, Wong Ai Yin sudah bergerak dengan ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat ke segala penjuru.

Tiba-tiba, ketika rantai menyambar dahsyat dan ia bergerak ke kanan, lengan kiri Kabilai memukul dan menyambut elakan tubuh Ai Yin itu. Gadis itu terkejut dan tidak mungkin mengelak lagi. Maka ia pun cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

"Plaakkk!” Kedua lengan beradu dan tiba-tiba saja jari-jari tangan kiri Kabilai yang panjang itu telah mencengkram pergelangan tangan Ai Yin. Memang telah menjadi kebiasaan keistimewaan ilmu gulat Mongol untuk mengubah pukulan menjadi cengkraman yang cepat tak terduga lawan.

Kemudian dengan gerakan ilmu gulat, sekali tekuk, lengan Ai Yin sudah dipelintir ke belakang tubuhnya dan di lain saat kedua lengan gadis itu sudah ditangkap oleh kedua tangan Kabilai sehingga ia tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, engkau mau lari kemana sekarang, manis? Engkau harus menjadi milikku sekarang!” Orang yang jangkung kurus itu menunduk dan berusaha untuk mencium Ai Yin yang meronta-ronta.

Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan sinar hitam menyambar.

"Craakkk !! Aduuuhhh …..!” Kabilai melepaskan Ai Yin dan ia terpelanting roboh, merintih- rintih dan tangan kirinya memegang pundak kanan yang terluka parah oleh bacokan pedang sehingga darahnya bercucuran. Ai Yin yang sudah terlepas dari cengkraman Kabilai, cepat mengambil sebongkah batu sebesar kepala kerbau, lalu sekali lompat ia mendekati tubuh Kabilai dan ia menghantamkan batu itu ke kepala Kabilai sekuat tenaganya.

Posting Komentar