"Apalagi yang harus kita lakukan kecuali mencari dan membunuh keparat itu?” kata Bhe Kam yang marah dan merasa sakit hati sekali mengingat apa yang menimpa diri anak tunggalnya.
"Bhe-sute, kita harus ingat bahwa Lauw Beng memiliki ilmu kepandaian yang tinggi", bantah Ciang Hu Seng. "Kami tidak takut!” seru Lee Bun. "Kami akan maju berempat dan tentu akan dapat membunuhnya!”.
Ciang Hu Seng tertawa. Hanya sebentar dia tadi terpengaruh peristiwa yang menimpa diri murid keponakannya, akan tetapi sekarang dia sudah pulih dan tenang kembali sehingga muncul tawanya yang memang selalu berada di mulutnya. "Ha-ha, aku juga tidak takut Lee-sute. Aku hanya memperhitungkan dan bersikap hati-hati. Apa artinya kalau kita maju bersama kemudian gagal? Kita tidak boleh hanya mengandalkan keberanian, akan tetapi harus memakai perhitungan. Ingat, perjuangan kita menentang penjajah Mancu juga mengalami kegagalan karena kita hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan matang. Keberanian tanpa perhitungan hanya merupakan kenekatan yang ngawur. Selain itu, harus diingat bahwa disana ada Lam-liong (Naga Selatan) Ma Tai-hiap yang menjadi ayah angkat dan guru Lauw Beng. Juga ada Siuw lim pai karena Lauw Beng sudah di anggap sebagai murid Siauw lim pai. Kalian tentu tidak suka kalau sampai terjadi kesalah- pahaman dan bentrok dengan Ma Tai-hiap dan Siauw-lim-pai”.
"Hemmm, Ciang-suheng, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Bhe Kam penasaran karena tentu saja dia tidak mau menghentikan keinginannya untuk membalas dendam kepada pemerkosa puterinya.
"Itulah yang harus kita pikirkan sekarang, yakni mengambil cara yang terbaik. "Song Cin, mengapa engkau diam saja sejak tadi? Bagaimana menurut pendapatmu?” Ciang Hu Seng bertanya kepada pemuda yang sejak tadi hanya diam saja seperti orang bingung.
"Saya hanya menurut saja apa yang sam-wi Su-siok (Paman guru bertiga) putuskan", katanya.
"Sekarang begini saja. Agar tidak salah paham dengan Lam-liong Ma Giok dan Siauw-lim- pai, juga agar kedudukan kita lebih kuat sehingga tidak akan gagal menghukum si jahat Lauw Beng, sebaiknya kita bersama pergi melapor ke Siauw-lim-pai dan kepada Ma Taihiap untuk minta pertanggung jawabnya. Bagaimana pendapat kalian?”.
Semua menyatakan setuju dan demikianlah, pada keesokan harinya, empat orang itu berangkat meninggalkan puncak Liong-San. Song Cin merasa agak gelisah karena sejak malam tadi, Siu Cen tidak pernah menampakan diri. Bahkan Bhe Kam dan isterinya memasuki kamarnya dan minta agar ia keluar karena semua orang akan pergi, gadis itu menolak. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya. Ia tidak menangis lagi, akan tetapi wajahnya membayangkan kesedihan luar biasa. Melihat keadaan anaknya ini, Bhe Kam hanya menghela napas panjang dan memesan kepada isterinya agar dapat menghibur anak mereka dan menjaga agar anak mereka tidak melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya membunuh diri.
Setelah mereka semua pergi, Siu Cen didekati ibunya dan dihibur, dengan suara gemetar ibunya berkata, "Siu Cen, jangan engkau terlalu tenggelam kedalam kesedihan. Ayahmu tadi khawatir kalau-kalau engkau mengambil keputusan pendek untuk membunuh diri. jangan, anakku ……”.
"Tidak, Ibu. Aku tidak ingin mati sebelum melihat jahanam itu dihukum berat atas kekejiannya terhadap diriku. Kalau semua orang gagal menghukumnya, aku sendiri yang akan pergi mencari dan membalas dendam ini. Aku hanya bersedih membayangkan bagaimana sikap Cin-ko sekarang terhadap diriku ”.
"Tidak perlu disedihkan, Siu Cen. Kalau dia mengubah sikapnya, di dunia ini bukan selebar telapak tangan. Kita anggap saja dia bukan jodohmu ! Sebagai puteri pendekar yang gagah perkasa, engkau sama sekali tidak patut kalau berputus asa dan berkecil hati, kehilangan semangat. Nah, minumlah obat ini. Sengaja kubuatkan untukmu”. Melihat semangkok obat rebusan berwama kehitaman itu, Siu Cen memandang ibunya dengan heran. "Ibu, obat apakah itu? Kesehatanku baik-baik saja, tidak perlu minum obat”.
"Untuk pencegahan, Siu Cen. Jahanam keparat itu telah menodaimu, obat ini untuk mencegah akibatnya”.
"Maksud ibu …. Aku … aku akan hamil ….?”.
"Kalau tidak diberi obat pencegah ini, ada kemungkinannya, Siu Cen, walaupun kemungkinan itu kecil sekali. Akan tetapi obat ini akan membersihkan semua kekotoran ini”.
Mendengar ucapan ini, cepat-cepat Siu Cen mengambil cawan dan meminumnya sampai habis. Barulah tenang rasa hatinya ketika ia merasa betapa perutnya terasa panas disebelah dalam.
"baiklah ibu. Aku akan menenangkan hatiku. Ibu benar. Kalau Cin-ko mengubah sikapnya berarti diapun picik seperti semua laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan”.
Mulai saat itu, Siu Cen benar-benar telah pulih kembali hatinya, mulai dapat membebaskan diri dari tekanan. Iapun semakin tekun berlatih silat.
****
Lauw Beng bersembahyang di depan makam mendiang Lauw Heng San, ayah kandungnya. Makam itu berada di kota Keng-koan, di tanah kuburan umum yang keadaannya menyedihkan, tidak terawatt. Masih untung bagi Lauw Beng, makam itu mempunyai batu nisan yang ada ukiran nama ayahnya itu sehingga dia dapat menemukannya. Tadi bersama Ai Yin, dia membeli perabot sembahyang di kota Keng- koan dan kini dia bersembahyang memasang hio-swa (dupa lidi), ditemani Ai Yin yang juga bersembahyang.
Setelah bersembahyang dan membersihkan makam itu, mencabuti rumput liar, Lauw Beng duduk di depan makam, bersila dan termenung. Ai Yin duduk didekatnya dan menatap wajah pemuda itu yang menunduk. Semilir angin mendatangkan udara sejuk dipagi itu. "Hai, Siauw Beng, melamun, ya? Diam saja sejak tadi! Apakah kau bersedih mengingat ayahmu?”
Lauw Beng yang biasa disebut Siauw Beng (Beng kecil) itu, memandang kepada Ai Yin dan tersenyum. "Tidak, Ai Yin. Aku tidak sedih memikirkan ayahku. Aku belum pernah melihat ayahku, belum pernah melihat ibuku”.
"Engkau sudah berkunjung ke makam ibumu?”.
"Sudah pernah satu kali. Makam ibuku terletak disebuah dusun di kaki bukit”.
"Lalu mengapa kau termenung sejak tadi seakan-akan lupa bahwa aku berada di sini?”.
"Kalau aku duduk di depan makam ini aku teringat betapa ayah dan ibuku, juga semua manusia lain di dunia ini, yang selagi hidupnya melakukan bermacam-macam perbuatan, pada akhirnya hanya menjadi gundukan tanah yang sunyi dan ditinggalkan sendiri. Apa artinya menjadi kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, gagah perkasa atau lemah?
Akhirnya sama juga, menjadi tanah dan tidak diperhatikan lagi, mungkin hanya setahun sekali atau dua kali di kunjungi sanak keluarga, lalu di tinggalkan lagi sepi sendiri ….. ahh, apa gunanya semuanya dalam hidup ini kalau akhirnya hanya menjadi timbunan tanah terlantar seperti ini?”.
"Aih, Siauw Beng, jangan teruskan! Jangan bicara tentang kematian dan dikuburkan, ditinggalkan sendiri. Aku menjadi ngeri!”.
"Hemmm, ini masih belum, Ai Yin. badan ini di kubur, di injak-injak, menjadi busuk dan hancur. Dan jiwa ini diseret ke dalam neraka yang katanya penuh dengan siksaan, penuh derita ….”.
"Aih, sudahlah, Siauw Beng ! Aku menjadi takut ! Takut mati ….!” Gadis itu berteriak.
"Yang penting bukan memikirkan sesudah mati, akan tetapi memikirkan selagi masih hidup ini kita harus bagaimana? Apa sih sebenarnya tujuan hidup ini?”.
Lauw Beng tersenyum memandang wajah yang cantik dan manja kekanak-kanankan itu ketika memandang dan tampak begitu ingin memperoleh jawaban.
"Kalau ditanyakan kepada kita, tentu saja kita dilahirkan ini tanpa tujuan pribadi masing- masing. Berpikirpun kita ini belum mampu ketika di lahirkan, bagaimana kita dapat mempunyai tujuan? Yang mempunyai tujuan akan kehidupan kita tentu saja yang menciptakan kita, yang membuat kita hidup dan terlahir di dunia ini sebagai manusia. kalau kehendak Thian (Tuhan) itu dapat kita namakan tujuan, sungguhpun semua rencana Thian merupakan rahasia bagi kita, namun Thian itu Maha Baik, karena itu tujuannya terhadap kita tentu saja juga baik!
Thian membuat kita terlahir di dunia dengan segala perlengkapan yang ada pada kita. Kiranya tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa tujuan Thian tentu saja agar kita melaksanakan tugas kita membantu pekerjaan-Nya, agar kita menjadi Alat-Nya. Thian mengatur dan memelihara segala sesuatu di alam maya pada ini agar baik dan benar, memberkati seluruh dunia seisinya melalui angin, air, sinar matahari, tanah dan tumbuh- tumbuhan. Juga melalui kita manusia. Tugas kitalah untuk melaksanakan atau menyalurkan berkat Thian itu kepada seluruh isi alam, terutama kepada manusia, kepada semua mahluk hidup, kepada alam. Kalau kita merusak segalanya itu dengan perbuatan yang jahat demi memenuhi keinginan kita sendiri, demi kesenangan kita sendiri yang dikendalikan nafsu, berarti kita menentang rencana, tujuan, atau kehendak-Nya”. "Hemm, jadi kesimpulannya, tujuan kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini, agar kita hidup melaksanakan kebaikan, kebenaran dan keadilan, begitu? Dan kalau kita melakukan yang sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan berarti kita merusak rencana Thian?”. "Kurang lebih begitulah. Thian itu Maha Kuasa, akan tetapi juga Maha Kasih sehingga Dia memberi kebebasan kepada kita untuk memilih. Menjadi manusia bajik yang menjadi alat Thian ataukah menjadi manusia jahat yang menjadi alat Setan”.
Ai Yin menghela napas panjang. "Ayahku seringkali bicara seperti engkau ini. Agaknya semua orang juga tahu akan kebajikan dan kejahatan. Akan tetapi mengapa di dunia ini lebih banyak orang yang jahat daripada yang baik. Jarang aku bertemu orang yang baik budi, akan tetapi terlalu sering aku bertemu orang-orang yang jahat”.
"Memang patut disayangkan, akan tetapi sesungguhnya memang demikian, Ai Yin. Akan tetapi hal itu tidak aneh. Setan memang menggunakan umpan yang serba enak dan nikmat sehingga lebih banyak manusia yang terpancing melakukan kejahatan demi memperoleh kenikmatan, kesenangan yang serba enak”.
Karena asyik bicara, dua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa ada tujuh orang laki-laki yang mengintai mereka dari luar tanah kuburan. Kemudian, tujuh orang itu saling berbisik- bisik dan ketika mereka memasuki tanah kuburan menghampiri dua orang muda yang duduk di bagian tengah tanah kuburan, barulah Siauw Beng dan Ai Yin mengetahui bahwa ada orang-orang datang menuju ke tempat mereka.
Akan tetapi tempat itu merupakan kuburan umum. Mereka mengira bahwa tujuh orang itu tentu akan mengunjungi makam sanak keluarga mereka masing-masing. Siauw Beng dan Ai Yin hanya tertarik karena melihat betapa tujuh orang itu membawa pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang rakyat membawa senjata dan akan merampas senjata yang dibawa orang, maka pada umumnya orang tidak berani membawa pedang. Yang berani membawa senjata adalah mereka yang menentang penjajah itu, dan inipun sebagian besar menyembunyikan senjata mereka, tidak dibawa terang-terangan. Maka, mereka berdua dapat menduga bahwa tujuh orang yang memasuki tanah kuburan itu pastilah para pendekar yang menentang Kerajaan Ceng, yaitu nama Kerajaan yang didirikan Bangsa Mancu sejak mereka menguasai Cina dalam tahun 1645. Maka, ketika tujuh orang itu ternyata menghampiri mereka, Siauw Beng dan Ai Yin merasa heran dan mereka segera bangkit berdiri.
Tujuh orang itu kini berdiri berhadapan dengan Siuw Beng dan Ai Yin, mata mereka ditujukan kepada Siauw Beng, terutama pada lengan kirinya yang buntung. Siauw Beng dan Ai Yin mengamati tujuh orang itu. Mereka berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas itu mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu silat atau orang-orang kang-ouw ( sungai telaga, dunia persilatan). Seorang diantara mereka, yang matanya sipit wajahnya pucat dan jenggotnya panjang beruban, agaknya yang paling tua dan berusia sekitar lima puluh dua tahun, berkata dengan suara penuh wibawa.