Jerit tangis Siu Cen membangunkan semua penghuni rumah. Empat orang laki-laki yang kesemuanya ahli-ahli silat yang tangguh, segera berlompatan keluar dari kamarnya dan dengan cepat mereka berdatangan ke depan kamar Siu Cen karena dari kamar itulah keluarnya jerit tangis itu. "Siu Cen, apa yang terjadi?” teriak Bhe Kam sambil mengetuk-ngetuk daun pintu kamar puterinya.
Tidak ada jawaban, hanya tangis mengguguk yang terdengar.
"Cen-moi …. Bukalah pintunya …. !!!” Song Cin juga mengetuk dan dia merasa khawatir sekali.
"Siu Cen, kalau tidak segera kau buka, akan ku jebol daun pintu ini!” kata Lee Bun. Akan tetapi tetap saja pintu tidak buka bahkan tangis itu semakin mengguguk.
"Kita buka pintu ini dengan paksa!” kata Lee Bun dan mendengar ini, Bhe Kam dan Song Cin yang sudah tidak sabar lagi lalu mendorong daun pintu. "Brakkk …!” Daun pintu terbuka dan semua orang menyerbu masuk.
"Siu Cen, apakah yang terjadi?” Bhe Kam menghampiri pembaringan dimana gadis itu rebah menelungkup sambil membenamkan mukanya di bantal dan menangis.
Lee Bun lalu menyalakan sebatang lilin besar sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi terang. Kini semua orang melihat daun jendela yang terbuka dan hidung mereka mencium bau harus yang di tinggalkan asap pembius yang sudah meninggalkan kamar itu.
"Ceng-moi, mengapa engkau menangis ….?” Song Cin menghampiri pembaringan dan hendak menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi ia melihat bercak darah pada tilam pembaringan yang awut-awutan itu. Tiba-tiba Bhe Kam memegang lengan Song Cin dan menariknya menjauh dari pembaringan.
Pada saat itu, Nyonya Bhe berlari memasuki kamar. "Siu Cen, ada apakah, anakku …..?” Nyonya itu segera menubruk anaknya. Akan tetapi, Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tiba-tiba sudah melompat ke arah jendela dan keluar diikuti oleh Lee Bun. Dua orang pendekar tua ini sudah dapat menduga apa yang terjadi dan mereka berusaha untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di atas, mereka tidak melihat bayangan orang, maka mereka turun dan kembali ke kamar Siu Cen. Siu Cen sudah duduk di atas tempat tidur, di rangkul ibunya. Song Cin terduduk di atas kursi, kepalanya menunduk sampai dagunya menempel leher. Bhe Kam mengerutkan alis dan ketika Ciang Hu Seng dan Lee Bun memasuki kamar, dia sedang bertanya.
"Siu Cen, hayo katakan apa yang terjadi ! Kamar ini bau keharuman aneh, mungkin obat bius dan engkau ….. hayo katakan apa yang terjadi semalam?”.
Siu Cen menahan isaknya, mengangkat muka dan memandang kea rah Song Cin yang duduk di atas kursi di sudut kamar.
"…… Cin-ko ….. maafkan … aku ….. "dan iapun menangis lagi, terkulai lemas dalam rangkulan ibunya.
"Siu Cen, beginikah sikap seorang yang gagah? Hayo, katakan, siapa yang telah melakukan kekejian terkutuk ini!” bentak Bhe Kam lagi, mukanya merah sekali karena marah.
Gadis itu kembali memandang kepada Song Cin. Pemuda itu pun memandangnya. Dia tahu bahwa gadis itu merasa berat untuk bercerita karena kehadirannya, maka ia lalu bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar itu. "…… Cin-ko …. Jangan pergi …. ! Engkau berhak mengetahui …. Engkau harus mendengar …. "tiba-tiba Siu Cen berkata dan seolah timbul tenaga baru dalam dirinya. Isaknya terhenti dan biarpun air matanya masih berderai, ia dapat bicara dengan jelas.
"Ayah, Ibu, Paman Ciang dan Paman Lee, juga Cin-ko, ketahuilah bahwa ada seseorang semalam telah … menodaiku! Dia memperkosaku selagi aku dalam keadaan terbius dan tidak ingat apa-apa ….. “
Semua orang tidak merasa kaget karena semua sudah menduga akan kejadian itu.
"Kami tahu, akan tetapi siapa yang melakukan ini? Hayo ceritakan!” Bhe Kam yang marah sekali membentak lagi. "Baru saja, ketika aku terbangun, aku melihat bayangan melompat dan berdiri di kosen jendela itu. Dia tidak bicara, juga wajahnya tidak dapat kulihat jelas karena cuaca hanya remang-remang dan gelap, akan tetapi yang jelas sekali dia …. Lengannya …. Lengan kirinya buntung …..”.
"Lauw Beng …..!” teriak Song Cin. "Keparat, jahanam ! Dia itu Lauw Beng, bukan?” Tanya Bhe Kam kepada puterinya. "Aku pun mengira demikian dan kuteriaki nama Siauw Beng. Akan tetapi dia tidak menjawab dan melompat pergi. Aku tidak dapat mengejar karena aku ….. aku … harus berpakaian dulu …. “
"Jahanam ! Kurang ajar anak itu. Agaknya dia membalas dendam karena kita menghajarnya dulu", kata Lee Bun.
"Ya, sudah jelas dia orangnya. Selain bukti bahwa pelakunya berlengan kiri buntung, juga besar alasannya yang mendorong dia melakukan perbuatan terkutuk itu.
Tentu dia membalas dendam karena lengannya juga dibuntungi ", kata Ciang Hu Seng. Song Cin juga marah, akan tetapi pemuda itu diam-diam merasa sangsi.
"Akan tetapi para susiok (paman guru), kalau benar Siauw Beng yang melakukan, mengapa ia membalas dendam kepada Cen-moi? Cen-moi tidak bersalah apapun terhadap dia”.
"Hemm, orang yang sudah bergaul akrab dengan seorang Puteri Penjajah Mancu, mana mungkin pantang melakukan segala kejahatan? Tentu dia telah menjadi penjahat cabul pula dan dia hendak menghancurkan perasaan kita dengan perbuatannya terhadap Siu Cen!”.
Sementara itu, Siu Cen sudah menangis lagi dalam rangkulan ibunya yang juga menangis.
"Kita harus bertindak ! Kita harus cari jahanam itu dan membunuhnya!” kata Bhe Kam sambil mengepal kedua tangannya.
"Tenanglah, Sute (adik seperguruan), kita harus membicarakan hal ini dengan kepala dingin agar dapat diambil tindakan yang tepat. Mari kita biarkan Siu Cen bersama ibunya dan kita bicarakan soal ini ", kata Song Cin keluar dari kamar Siu Cen yang masih menangis dalam rangkulan ibunya.
"Sudah, hentikan tangismu, anakku. ayahmu pasti akan membalaskan sakit hati ini!”.
"Ibu, bagaimana aku dapat berhadapan dengan Sin-ko? Setelah terjadi peristiwa dengan diriku ini, apakah Sin-ko masih mau melanjutkan perjodohan ini? Ah, ibu dia tentu akan memandangku dengan hina, menganggap aku kotor …. Ah lebih baik mati saja daripada begini, ibu …..”.
Nyonya Bhe menguatkan hatinya. Sebagai seorang wanita, iapun tahu benar bahwa pada umumnya, seorang wanita yang sudah bukan perawan lagi akan dicemooh dan di anggap rendah oleh laki-laki! Akan tetapi demi membesarkan hati puterinya ia berkata, "aku kira Song Cin bukan laki-laki seperti itu, anakku. Biarpun masih muda, dia bersikap bijaksana. Aku yang akan bicara dengannya, Siu Cen dan aku yang akan menjelaskan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan apapun. Peristiwa ini merupakan kecelakaan, suatu perkosaan, sama sekali tidak mencemarkan kehormatanmu sebagai wanita!”.
Nyonya Bhe maklum bahwa apa yang dikatakannya itu sebetulnya berlawanan dengan isi hatinya. ia tahu benar bahwa pada umumnya, kaum pria memandang keperawanan seorang wanita sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang menjadi syarat mutlak bagi seorang calon isteri.
Ucapan ibunya itu setidaknya menghibur hati Siu Cen. "Ibu …. Benar … benarkah itu
……..?”.
"Tentu saja ibu benar, Nak. Sekarang mandilah, bertukarlah pakaian dan keluarlah dari kamar seperti biasa. Urusan ini hanya di ketahui oleh anggota keluarga saja, jangan sampai diketahui orang lain”.
Siu Cen merasa terhibur dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ia lalu pergi mandi dan Nyonya Bhe menyusul suaminya yang sedang berunding dengan Ciang Hu Seng, Lee Bun dan Song Cin. Tiga orang sisa anggota Lima Pendekar Besar itu merasa yakin bahwa pelaku jahanam itu pastilah Lauw Beng, putera mendiang Lauw Heng San yang pernah menjadi antek penjajah Mancu. Apalagi Lauw Beng mendatangkan perasaan benci dalam hati mereka karena pemuda itu bergaul akrab dengan Puteri Mayani, puteri seorang Pangeran Mancu dari kota raja! Dan lebih dari itu, Lauw Beng ini yang menjadi biang keladi sehingga dua orang rekan mereka yang tertua, yaitu Song Kwan dan Song Kui tewas dikeroyok perajurit Mancu. Kini, Siu Cen diperkosa orang dan sungguhpun Siu Cen tidak dapat melihat wajah pemerkosanya karena gelap, namun bukti lengan kiri yang buntung, membuat mereka yakin bahwa pemerkosanya tentu Lauw Beng yang buntung lengan kirinya!. Setelah merundingkan dan mempertimbangkan dari segala sudut pandangan, Ciang Hu Seng berkata, "Tak dapat diragukan lagi, Lauw Beng yang melakukan perbuatan biadab ini! Persoalannya sekarang apa yang harus kita lakukan?”.