Si Tangan Halilintar Chapter 74

NIC

"Seperti apa?” Song Cin tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, terutama kea rah mulutnya yang manis.

"Seperti …. Seperti …. Mata kucingku memandang aku sewaktu aku makan!”.

"Wah, memangnya aku ini kucing dan engkau …. Engkau …. "keduanya tertawa geli dan gembira.

"Katakan terus terang, Cin-ko. Apa saja yang kau lihat kalau engkau memandang aku seperti itu? Di antara kita harus jujur terbuka dan tidak ada yang menyimpan rahasia, bukan?”.

"Cen-moi (Adik Cen), kalau aku berterus terang, engkau tentu tidak akan marah, bukan? Dan engkau mau memaafkan aku kalau keterus-teranganku menyinggungmu dan membuatmu tidak senang?”.

"Cin-ko, aku tidak percaya bahwa engkau akan begitu tega untuk menyinggung dan membuat aku tidak senang. Katakanlah!”.

"Aku memandangmu dan melihat betapa engkau cantik jelita seperti seorang dewi, Cen- moi dan semakin mendalam rasa cinta di dalam hatiku yang telah tumbuh sejak dulu, sejak engkau dan aku masih remaja. Diam-diam aku mencintaimu, Cen-moi, hanya tentu saja hal itu ku rasakan secara diam-diam. Engkau cantik jelita dan di dunia ini tidak mungkin ada keduanya!”.

Wajah Siu Cen menjadi kemerahan, bibirnya terbuka dalam senyum dan matanya bersinar-sinar, wanita mana yang tidak akan merasa bahagia sekali mendapatkan pujian seperti itu? Apalagi kalau yang memuji itu tunangannya sendiri, pemuda yang juga di cintainya.

"Aihh … koko, engkau terlalu memuji, jangan merayu …..!”.

"Sungguh mati, moi-moi, pujianku itu bukan sekedar merayu, bukan hanya di mulut, melainkan timbul dari lubuk hatiku. Aku sudah jatuh kepadamu semenjak engkau remaja dulu”.

"Hemm, kalau benar demikian, mengapa sejak dulu engkau diam-diam saja, Cin-ko?”.

"Tentu saja, Cen-moi. Aku takut menyatakan perasaan hatiku padamu. Bagiku, engkau seperti bidadari kahyangan, bagaimana aku berani menyatakan cinta ku? Apalagi orang tuaku memutuskan untuk menjodohkan kakak Song Cun denganmu yang di setujui orang tuamu dan engkau bertunangan dengan Cun-ko, aku hanya berani memandang dan mengagumimu dari jauh”. "Aduh, kasihan engkau, Cin-ko ", kata Siu Cen sambil memegang tangan pemuda itu. jari- jari tangan mereka saling menggenggam dan meremas selama ini mereka hanya berani menyatakan cinta dan kemesraan dengan saling mempertemukan jari-jari tangan mereka, tidak berani berbuat lebih dari itu karena mereka tetap menjaga harga diri masing-masing dan membatasi kesopanan. "Maka, biarpun aku merasa kasihan kepada Cun-ko dan timbul harapanku ketika engkau memutuskan hubunganmu dengan Cun-ko dan ternyata sekarang engkau menjadi calon isteriku. Ceng-moi, apakah sebelum ini engkau tidak sedikitpun pernah memandang dan memikirkan diriku?”

Siu Cen tersenyum. "Jangan kecewa kalau aku bicara terus terang, Cin-ko”.

"Tidak, aku bahkan akan merasa senang kalau engkau bicara terus terang, Cen-moi”.

"Begini, ketika remaja dulu, aku menganggap engkau dan Cun-ko hanya sebagai saudara- saudara seperguruan, sama-sama keturunan anggota Ciong-yang Ngo-taihiap. Terus terang saja aku merasa kagum kepadamu dan juga kepada Cun-ko. Sama sekali belum ada perasaan cinta dalam hatiku, bahkan aku tidak mengerti dan apa dan bagaimana perasaan cinta itu. Kemudian, engkau tahu bahwa orang tuamu dan orang tuaku menyetujui untuk menjodohkan aku dengan Cun-ko. Aku tidak berani menolak dan setuju saja, apalagi aku melihat bahwa Cun-ko adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Dan tentu saja sebagai tunangan, aku mencoba untuk menumbuhkan cinta kepada calon suamiku itu dan aku tidak berani memandang pria lain, termasuk engkau yang ku anggap sebagai calon adikku. Akan tetapi …. Lalu terjadi peristiwa yang menjijikkan itu. Ketika melihat Cun-ko bertindak begitu curang dan kejam terhadap Lauw Beng, aku menjadi muak dan timbul kebencian di hatiku. Aku tidak sudi menjadi isteri seorang laki-laki securang dan sekejam itu, maka kau langsung memutuskan hubungan. nah, setelah kita tinggal di sini dan aku mengenalmu lebih baik ….. "Siu Cen tidak melanjutkan ucapannya, menundukkan muka dengan malu-malu.

"Lalu bagaimana, moi-moi? lanjutkanlah dan katakan saja terus terang”. "Lalu orang tuaku menjodohkan denganmu dan aku …… aku setuju ………”

"Hemmm, kalau begitu engkau menjadi calon isteriku karena hendak mentaati orang tua saja? Sebetulnya tidak ada perasaan apapun dalam hatimu terhadap diriku? Tidak ada cinta seperti aku mencintaimu?”.

"Hushhh …. "Siu Cen menggerakkan tangan dan jari-jari tangannya menutup mulut Song Cin. "Jangan berkata begitu, Cin-ko”.

"Katakanlah bahwa engkau juga mencintaku, Cen-moi”.

"Aih, mengapa engkau belum juga percaya kepadaku? Apakah sikapku selama ini masih kurang menyakinkan? Baiklah kalau engkau menghendaki, Cin-ko. Aku …. Cinta kepadamu. nah, puaskah engkau? Kalau aku tidak mencintaimu apa kau kira aku mau di jodohkan dengamu?”.

"Cen-moi …. ! "saking girang hatinya, Song Cin merangkul. Akan tetapi Siu Cen menghindar dan menggeser duduknya, menangkap kedua tangan pemuda itu sehingga tentu saja Song Cin tidak dapat merangkulnya.

"Eh, Cen-moi? Mengapa engkau menolak? Kita saling mencinta, bahkan kita sudah bertunangan, mengapa engkau selalu menghindar apabila aku hendak memelukmu? Bukankah hal itu hanya merupakan pelepasan rasa rindu dan cinta kita?”.

"Engkau benar, Cin-ko. Akan tetapi bagaimanapun juga, kita ini terkurung oleh tata susila yang sudah diterima masyarakat sehingga tidak dapat bebas begitu saja melakukan apa yang kita rasakan. Biarpun kita menganggap hal itu tidak apa-apa dan pantas, namun karena telah menjadi hokum yang diterima masyarakat bahwa itu tidak benar, terpaksa kita juga harus menyesuaikan diri. Maka, kita harus mampu menahan dorongan hati kita sendiri, Cin-ko”.

Song Cin menghela napas panjang dan dia menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai tangan tunangannya. "Aku tahu mengapa cumbu dan belaian antara dua orang yang belum menikah di anggap tidak pantas, Cen-moi. Memang harus diakui bahwa perbuatan itu mendatangkan rangsangan birahi dan kalau batin tidak kuat dapat menjurus kea rah hal-hal yang melanggar kesusilaan. Baiklah, aku tidak kecewa, bahkan bangga sekali bahwa engkau dapat mengendalikan diri, dan maafkan aku tadi yang menuntut lebih daripada apa yang sepantasnya kau lakukan”. "Aku girang engkau dapat mengerti, Cin-ko. Mari, kita pergi mandi, sebentar lagi aku harus membantu di dapur menyiapkan makan malam”.

Dua orang ini bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang memandang mereka dengan sinar mata berkilat penuh cemburu dan kemarahan.

Malam itu gelap sekali. Hujan yang turun membuat udara menjadi sangat dingin sehingga semua orang yang tinggal di dusun-dusun di sekitar Pegunungan Liong-san lebih suka mengeram dalam kamar yang lebih hangat.

Juga semua penghuni rumah Lee Bun lebih suka berada dalam kamar masing-masing setelah mereka makan malam. Mereka semua merasa tenang dan tentram karena mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani mengganggu rumah tempat tinggal mereka, rumah yang cukup besar dengan pekarangan dan taman yang luas. Pemilik rumah itu adalah lee Bun, orang kelima dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terkenal sebagai pendekar-pendekar lihai dan juga sebagai patriot-patriot yang penuh semangat. Lee Bun terkenal dengan pedang hitamnya dan ia tidak pernah berkeluarga, hidup sebatang kara sebagai seorang pertapa perantauan. Pada waktu itu, setelah perjuangan mereka menentang pemerintah Mancu gagal dan dan dua orang yang pertama dan kedua, kakak beradik Song, tewas oleh pasukan pemerintah penjajah Mancu, tiga orang sisa dari Ciong- yang Ngo-taihiap berkumpul dan tinggal di dusun dekat puncak Liong-san untuk menghindarkan pengejaran pasukan Kerajaan Mancu. Mereka semua tinggal mondok di rumah Lee Bun yang besar.

Selain tuan rumah Lee Bun yang lihai, di situ tinggal pula Bhe Kam, orang ke empat dari Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar) yang dikenal sebagai Sin-touw ( Malaikat Copet), juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tinggal mondok bersama isteri dan seorang puterinya, yaitu Bhe Siu Cen yang juga merupakan seorang gadis pendekar yang lihai. Terdapat pula di rumah itu Ciang Hu Seng, orang ke tiga dari Ngo-taihiap yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi daripada Bhe Kam atau Lee Bun.

Selain empat orang lihai ini, disitu terdapat pula Song Cin, putera mendiang Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang kedua dari Lima Pendekar itu. Pemuda ini juga cukup lihai.

Lima orang yang lihai ilmu silatnya tinggal di rumah besar itu. Siapa yang akan berani mengganggu? Mengganggu rumah itu sama dengan mengusik sarang harimau!.

Akan tetapi, ketika semua orang penghuni rumah itu tertidur pulas karena malam telah larut, sudah lewat tengah malam, ada bayangan berkelebat di atas genteng tidak menimbulkan suara. Ini menunjukkan bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang sudah tinggi tingkatnya.

Tak lama kemudian, bayangan hitam itu telah bergerak menyelinap di dalam rumah itu dan berhenti di luar jendela kamar tidur Bhe Siu Cen. Dia mengeluarkan sebatang hio-swa (dupa lidi) dan membakar ujungnya. Tercium bau harum setelah ujung hio-swa terbakar. Cepat dia memasukkan benda itu melalui celah-celah jendela sehingga asap hio-swa itu mengepul dalam kamar.

Bayangan itu mendekam di bawah jendela. Setelah menanti beberapa lama sampai hio- swa yang ujungnya membara mengeluarkan asap itu terbakar habis, dia lalu mengeluarkan dua buah butir pil dan memasukkannya ke mulut. Lalu dengan sedikit pengerahan tenaga, dia sudah dapat membuka paksa daun jendela, melompat masuk dan menutupkan lagi daun jendela. Bau harum memenuhi kamar itu. Dengan tenangnya, bayangan hitam itu menyalakan sebatang lilin kecil di atas meja sehingga kamar itu tidak gelap sekali, di terangi nyala lilin yang remang-remang. Lalu dihampirinya pembaringan yang tertutup kelambu. Ketika ia menyingkap kelambu, tampak Siu Cen tidur telentang dalam keadaan pulas. Bayangan itu tersenyum. Dupa lidi yang asapnya mengandung racun pembius yang amat kuat itu ternyata telah bekerja dengan baik.

Untuk mendapat keyakinan, dia menguncang-guncang pundak gadis itu, namun Siu Cen tidak terbangun seperti dalam keadaan pingsan. Bayangan hitam itu tersenyum senang dan melanjutkan perbuatannya yang telah di rencanakannya sejak sore tadi, tanpa gangguan karena selain seisi rumah telah tidur nyenyak, juga Siu Cen sendiri dalam keadaan tidur pulas oleh pembius itu.

Menjelang pagi, setelah Siu Cen mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, barulah si bayangan hitam itu turun dari pembaringan. Siu Cen terkejut sekali. Nalurinya yang tajam tidak terpengaruh pembius lagi yang sudah mulai meninggalkannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi. ia cepat menyingkap kelambu dan melompat turun dari atas pembaringan. Akan tetapi ia menjerit ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak berpakaian! Cepat ia menyambar selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan pada saat itu, ia melihat bayangan hitam melompat ke atas kosen jendela. Lilin kecil di atas meja masih menyala dan dalam cuaca yang remang-remang itu Siu Cen melihat seorang laki-laki yang masih muda dan yang mendatangkan kesan adalah bahwa laki-laki itu buntung lengan kirinya! Lengan baju kiri itu menggelantung kosong, jelas nampak bahwa lengan kirinya telah buntung.

"kau … kau …. Siauw Beng ….!” seru Siu Cen. Laki-laki itu tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ.

"Siu Cen hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia telanjang. Maka cepat ditanggalkannya selimutnya dan ia memakai pakaiannya yang berserakan di atas tempat tidur. Pada saat itu baru ia mendapat kenyataan yang membuat ia terkejut dan iapun menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas pembaringannya. Ia telah diperkosa orang ! Ia menjerit dan menangis oleh kenyataan yang amat mengguncang batinnya itu.

Posting Komentar