"Dan mereka adalah keluarga atau orang-orang yang dekat dengan si jahanam Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sungguh berbahaya sekali keluarga itu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mau membunuh kita, bahkan melukai, melihat kesaktian mereka, tentu dengan mudah mereka akan dapat membunuh atau melukai kita, paman?”. Lu Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang aneh sekali mereka itu. Melihat sikap mereka, apalagi ucapan nenek itu, mereka adalah orang-orang yang liar, akan tetapi nyatanya mereka tidak mau membuktikan bahwa mereka berdua bukanlah orang jahat, Lu Siong”.
"Akan tetapi, si tangan lilintar yang kejam itu, adalah cucu si nenek dan sahabat baik Puteri Mancu tadi!”.
"Inilah yang membuat aku berpikir, Lu Siong. Seorang yang begitu kejam dan jahat tidak mungkin mempunyai keluarga yang demikian baik hati dan pemaaf, bukan? Dan dua orang wanita sakti yang memaafkan merupakan angggota keluarga begitu jahat seperti si tangan halilintar, bukan?”.
"Mengaku? Maksud paman?”. "Ya, ku rasa ada benarnya kata-kata Puteri Mancu yang jelita tadi. Siapa saja dapat mengaku bahwa dia Si Tangan Halilintar. pembunuh dan pemerkosa itu. bahkan aku yang sudah bertanding melawannya.
"Ah, apakah paman bermaksud menghentikan usaha kita untuk melaporkan kepada Lam- liong Ma Giok tentang anak angkatnya yang jahat itu? Apakah kema erinya tidak perlu di balas?”. "Bukan begitu, Lu Siong. Ku rasa tantangan puteri Mancu tadi ada benarnya. Mari kita sambut tantangannya tadi. Kita cari bukti bahwa penjahat pembunuh yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu betul Lauw Beng adanya. Sementara ini dalam laporan kita nanti kepada Lam-liong Ma Giok, kita hanya melapor bahwa ada penjahat berlengan kiri buntung yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar dan pandai bersilat aliran Siauw-lim-pai.
Kita tidak perlu mengatakan dengan pasti ng, anak angkat Lam-liong”. "Akan …..” "Diapun hanya mengira-ngira saja, Lu Siong. Semua itu belum merupakan bukti nyata, tepat seperti yang dikatakan puteri Mancu tadi. Bukan tidak mungkin ada seorang yang juga buntung lengan kirinya dan lihai sekali, melakukan semua kejahatan itu dengan menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Lauw Beng itu. Tentu saja bukan mustahil bahwa penjahat itu benar-benar Lauw Beng. Bagaimana pun juga, kita perlu melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok karena ini merupakan kewajibannya untuk menghukum kalau benar anak angkatnya itu yang menjadi penjahat dan untuk membersihkan nama anak angkatnya kalau memang Lauw Beng tidak melakukan kejahatan itu. Bagaimanapun juga, Lu Siong, kita adalah orang- orang yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu menentang kejahatan.
Engkau tidak ingin kalau kita melakukan balas dendam kematian su
"Tentu saja tidak, Paman! Setelah ku pertimbangkan, pendapat Paman itu benar sekali. Baiklah, Paman, mari kita melanjutkan perjalanan dan selain melapor kepada Lam-liong Ma Giok, kita menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan itu, siapa yang menggunakan julukan Si Tangan Halilintar itu, Lauw Beng ataukah orang lain”.
Paman dan keponakan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san.
*****
Di lereng dekat puncak pegunungan Liong-san terdapat sebuah perkampungan para petani. Jumlah penduduk dusun itu tidak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala keluarga. Diantara rumah-rumah di dusun dekat puncak ini terdapat sebuah rumah besar, paling besar di antara rumah-rumah di situ. Inilah rumah Lee Bun Si Muka Tengkorak, orang yang termuda dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang berusia sekitar lima puluh dua tahun akan tetapi dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa di dusun dekat puncak itu. Seperti kita ketahui, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo- taihiap (Lima Pendekar Besar Ciong-yang) telah tewas bersama isteri mereka di Souw-ciu diserbu pasukan. Tiga orang anggota Ciong-yang Ngo-taihiap yang lain, yaitu orang ketiga Ciang Hok Sen berusia lima puluh tujuh tahun juga tidak berkeluarga, dan orang ke empat Bhe Kam berusia lima puluh lima tahun bersama isterinya dan puterinya Bhe Siu Cen berusia dua puluh tahun, dan orang kelima Lee Bun, dapat lolos dari sergapan pasukan pemerintah. Mereka semua lalu melarikan diri ke Liong-san dan kini tinggal bersama di rumah Si Muka Tengkorak Lee Bun. Mereka pergi dan bersembunyi di tempat ini karena mereka menjadi orang buruan pemerintah. Bersama mereka ikut pula Song Cin, pemuda berusia dua puluh dua tahun putera mendiang Kiam-sian Song-kui.
Seperti kita ketahui, Bhe Siu Cen yang berusia dua puluh tahun, tadinya sudah di tunangkan dengan Song Cun, kakak Song Cin. Akan tetapi kita ketika melihat Song Cin membuntungi lengan Siauw Beng, hati Bhe Siu Cen memberontak dan ia menjadi benci kepada Song Cun yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam dan ia menyatakan putus hubungan dengan Song Cun yang kemudian lari meninggalkan rombongan yang mengungsi ke Liong-san itu.
Tiga orang kakak beradik seperguruan ini hidup tenang di dekat puncak Liong-san itu. Mereka hidup sebagai petani, setiap hari bekerja di ladang, mandi sinar matahari dan menghirup udara sejuk dan jernih, menikmati kehidupan yang serba tenang, tentram, dimana tidak terdapat masalah, tidak terdapat kekerasan dan permusuhan seperti yang pernah mereka alami ketika mereka hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena mereka pendekar-pendekar yang tangguh, mereka tidak pernah dapat meninggalkan latihan ilmu silat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Juga di tempat yang indah ini, Song Cin dan Bhe Siu Cen setiap hari berlatih silat di bawah bimbingan tiga orang pendekar itu.
Tidak keliru pendapat orang-orang tua bahwa cinta kasih tumbuh dari pergaulan yang erat. Demikian pula dengan Bhe Siu Cen dan Song Cin. Bagi Song Cin memang sejak dulu ia menaruh hati kepada Siu Cen. Akan tetapi tadinya Siu Cen telah di tunangkan kepada Song Cun sehingga baik Song Cin maupun Siu Cen, tidak memiliki keinginan yang bukan- bukan. Song Cin berusaha menghilangkan rasa cintanya kepada gadis yang sudah menjadi tunangan kakaknya itu. Sebaliknya Siu Cen juga tidak pernah memperhatikan Song Cin karena dia merasa bahwa ia akan menjadi jodoh Song Cun, hal yang telah disepakati keluarga kedua pihak.
Akan tetapi, Siu Cen memutuskan hubungannya dengan Song Cun karena ia benci melihat watak tunangannya yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam itu. Kini ia tinggal di tempat sunyi dekat puncak Liong-san dan setiap hari ia bergaul dengan Song Cin. Mulai tampaklah olehnya betapa watak Song Cin jauh lebih berbeda dibandingkan watak Song Cun. Song Cin adalah seorang yang lembut, bijaksana, baik budi dan biarpun dia tidak segagah Song Cun, namun pemuda ini juga tampan dan ilmu silatnya juga cukup tangguh. Mulai tumbuh rasa cinta di hati gadis berusia dua puluh tahun itu.
Bhe Kim yang berjuluk Sin-touw (Copek Sakti), orang ke empat dari Ciong-yang Ngo- taihiap bersama isterinya melihat gejala ini. Mereka bersepakat untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Song Cin karena Siu Cen sudah menyatakan putus dengan Song Cun dan berkeras tidak mau dijodohkan dengan bekas tunangannya itu. Bhe Kam mengajak suhengnya, Ciang Hu Seng dan sutenya, Lee Bun untuk berunding mengenai keinginannya menjodohkan puterinya dengan Song Cin. Dua orang pendekar itu pun menyatakan persetujuan mereka mengingat bahwa pertalian jodoh antara Siu Cen dan Song Cun telah putus.
Demikianlah, pada suatu hari di adakan upacara pertunangan antara Siu Cen dan Song Cin. Perjodohan antara mereka di tunda, menanti dua hal. Pertama, perkabungan Song Cin sudah lewat, dan kedua Song Cun belum di beritahu lebih dulu tentang perjodohan bekas tunangannya dengan adiknya itu.
Setelah mereka bertunangan, hubungan antara Song Cin dan Siu Cen menjadi semakin akrab. Namun, keduanya saling menjaga sehingga betapa rindunya hati mereka namun tetap menjaga jarak sehingga tidak akan melanggar tata susila. Dengan kasih sayang yang suci murni terhadap satu sama lain, mereka berdua dapat saling menjaga keutuhan kehormatan masing-masing dan kasih murni itu dapat mencegah mereka terseret oleh nafsu birahi. Sebelum menikah, hubungan mereka harus merupakan hubungan antara sahabat, atau antara saudara, tidak di kotori cinta nafsu berahi.
Pada suatu sore, Song Cin dan Siu Cen seperti biasa berlatih silat didalam taman bunga yang mereka pelihara bersama sehingga merupakan taman bunga yang indah. Tiga orang pendekar itu bercakap-cakap di ruangan depan. Ciang Hu Sen yang berusia lima puluh tujuh tahun, kehilangan wataknya yang selalu gembira. Bhe Kam yang berusia lima puluh, jubahnya masih kedodoran seperti dulu, dan Lee Bun yang berusia lima puluh tiga tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak, maka ia di juluki Si Muka Tengkorak.
"Melihat keakraban antara anakku dan Song Cin, aku berpendapat sebaiknya mereka segera dinikahkan "kata Bhe Kam Si Copet Sakti kepada dua orang saudara seperguruan itu. "Ciang-suheng, kuanggap dapat menjadi wali mewakili suheng Song Kui yang sudah meninggal. Bagaimana pendapatmu, Suheng?”.
Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tertawa senang. "He-he-he-he, pendapatmu itu baik sekali. Aku akan dapat menikmati arak pengantin sebagai wali pengantin pria tentu aku mendapatkan kehormatan pertama, ha-ha-ha!”.
"Aku setuju sekali, Bhe-suheng. Puterimu itu sudah berusia dua puluh tahun dan Song Cin sudah berusia dua puluh dua tahun. Sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berumah tangga dan yang penting lagi, kasihan kalau orang-orang muda seperti mereka harus melewatkan masa mudanya di tempat sunyi ini. Setelah menikah mereka dapat turun gunung, kembali ke Souw-Cin dan membentuk keluarga bahagia. Tentu masih ada peninggalan keluarga Song di Souw-ciu, setidaknya para sahabat kedua suheng Song tentu siap membantu Song Cin", kata Lee Bun.
"Akan tetapi bagaimanapun juga, perkabungan yang dilakukan Song Cin atas kematian ayahnya haruslah penuh lebih dulu yang ku kira hanya tinggal dua bulan lagi”.
"Tentu saja hal itu sama sekali tidak boleh di langgar ", kata Bhe Kam dan tiga orang itu selanjutnya bercakap-cakap sambil minum arak untuk mengusir hawa dingin yang mulai menyelimuti dusun di dekat puncak itu.
Sementara itu, Song Cin dan Siu Cen selesai berlatih silat. Mereka lalu duduk mengaso di atas bangku panjang dalam rumah itu, menghapus keringat yang membasahi leher dan muka. Wajah Siu Cen tampak segar kemerahan dan rambutnya agak kusut, namun semua itu menambah kecantikannya sehingga Song Cin yang duduk di sebelahnya memandang dengan terpesona.
"Ih, Cin-ko (Kakak Cin), mengapa engkau memandangku seperti itu?”