Kuil itu cukup besar dan setiap hari ada saja orang datang sembahyang. Mereka datang dari berbagai dusun di sekitar bukit itu.
Lauw Han Hwesio, murid Siauw-lim-pai yang menjadi suheng dari Lu Kiat itu berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata bersinar lembut. Dia menyambut kedatangan Lu Kiat dan Lu Siong dengan gembira dan mereka bertiga lalu duduk di sebelah dalam kuil, bercakap-cakap. Akan tetapi ketika mendengar akan malapetaka yang menimpa Gui Liang dan anak isterinya, Lauw Han Hwesio terkejut bukan main.
"Omitohud ….., alangkah menyedihkan nasib sute Gui Liang sekeluarganya”.
"Suheng, aku sendiri telah bertanding melawan pembunuh itu dan ternyata dia adalah penjahat yang terkenal sekali belakangan ini, yaitu Si Tangan Halilintar dan sungguh mengejutkan sekali bahwa dia itu mahir ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai kita!”.
"Hemmmm, mungkinkah itu? Mungkinkah dia murid Siauw-lim-pai?”.
"Itulah yang harus kita selidiki, suheng. Kalau dia benar murid Siauw-lim-pai, hal itu sungguh amat mencemarkan nama baik perguruan kita. Aku dan Lu Siong akan pergi ke Sung-san untuk melapor kepada para suhu di Siauw-lim-si”.
"Kalau begitu, tunggu sebentar, Sute. Pinceng (aku) harus ikut pula. Hal ini sudah menjadi kewajiban pinceng pula sebagai murid Siauw-lim-pai untuk menangkap murid Siauw-lim- pai yang lalim dan murtad”.
Mereka bertiga lalu berangkat, melakukan perjalanan menuju Sung-san di mana terdapat kuil Siauw-lim yang menjadi pusat dari perguruan Siauw-lim-pai. Akan tetapi baru mereka melakukan perjalanan setengah hari, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berpapasan jalan dan tiba-tiba pemuda itu berhenti, menghadang di depan mereka, memandang kepada Lauw Han Hwesio dan bertanya dengan suara lembut dan sikap sopan.
"Mohon maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, apakah suhu ini seorang pendeta Siauw-lim-pai?”.
Lauw Han Hwesio, Lu Kiat dan Lu Siong mengamati pemuda yang menghadang itu dengan penuh perhatian. Pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah, wajahnya juga tampan, dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda bersusila dan tahu aturan.
"Omitohud! Kalau pinceng seorang murid Siauw-lim-pai, apa hubungannya denganmu? Siapakah Sicu (saudara yang gagah)?”.
"Suhu, nama saya Cun Song. Saya kemarin melewati Kota Ceng-jun dan mendengar akan pembunuhan yang terjadi pada sebuah keluarga piauw-su Gui. Saya sudah sering mendengar akan pemubunuhan-pembunuhan yang di lakukan Si Tangan Halilintar itu dan kebetulan sekarang saya bertemu seorang tokoh Siauw-lim …. Eh, apakah benar suhu seorang hwesio Siauw-lim-pai?”.
"Hemmm, memang benar, Cun Sicu. Apa yang hendak kau bicarakan tentang Si Tangan Halilintar?”.
"Kalau suhu seorang tokoh Siauw-lim-pai berarti yang saya duga, sungguh kebetulan sekali. Saya sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar Siauw-lim-pai yang selalu menentang kejahatan. Karena itu, saya merasa yakin bahwa suhu juga tentu menentang kejahatan yang di lakukan Si Tangan Halilintar”.
"Omitohud, tentu saja pinceng dan semua murid Siauw-lim-pai selalu siap untuk menentang kejahatan. Lalu apa maksud sicu menghadang perjalanan kami?”.
"Suhu, saya mengetahui siapa adanya Si Tangan Halilintar itu!”.
Tiga orang murid Siauw-lim-pai itu terkejut dan menatap wajah Cun Song penuh perhatian. "Omitohud, benarkah ucapan Cun Sicu ini? Siapakah dia?”.
"Namanya Lauw Beng”.
"Cun Sicu, engkau berhadapan dengan kami para murid Siauw-lim-pai. Pinceng adalah Lauw Han Hwesio ketua Kuil Thian-li-tang dan ini suteku Lu Kiat dan murid keponakanku Lu Siong. Kami memang sedang menyelidiki tentang Si Tangan Halilintar. Sekarang sicu menghadang kami dan mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar bernama Lauw Beng. bagaimana kami dapat yakin bahwa keterangan sicu ini benar? Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa namanya Lauw Beng?”.
"Begini, suhu. Terus terang saja saya belum pernah bertemu dengan Si Tangan Halilintar yang akhir-akhir ini merajalela melakukan banyak pembunuhan. Akan tetapi saya yakin bahwa dia adalah Lauw Beng. Dugaan saya ini tidak ngawur. Saya pernah tahu akan seorang pemuda yang menjadi murid dari pejuang yang kenamaan bernama Ma Giok”.
"Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?” Lu Kiat bertanya. Tentu saja mereka bertiga tahu siapa Lam-liong Ma Giok karena tokoh itupun merupakan murid Siauw-lim-pai yang disegani, bukan saja karena kelihaiannya akan tetapi terutama akan kegigihannya menentang pemerintah penjajah Mancu.
"Benar, guru pemuda itu adalah Lam-liong. Akan tetapi pemuda itu adalah putera seorang pengkhianat bernama Lauw Heng San yang menjadi antek Mancu. Kemudian pemuda itu juga mengkhianati bangsa kita. Dia menjadi antek Mancu dan bergaul dengan puteri seorang pangeran Mancu, bahkan membantu puteri pangeran itu memusuhi para patriot Ciong-yang Ngo-taihiap sehingga membunuh orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu Song Kwan dan Song Kui berikut isteri mereka. Karena Lauw Beng itu berkhianat, maka para pendekar patriot menghukumnya dan membuntungi lengan kirinya. Akan tetapi dia memang lihai dan kejam. Nah, sekarang muncul Si Tangan Halilintar, julukan yang dulu menjadi julukan ayahnya, maka mudah saja di duga bahwa penjahat itu pastilah Lauw Beng yang sebutannya adalah Siauw Beng”.
"Omitohud, pinceng mengenal baik Lam-liong Ma Giok. Dia seorang pendekar dan patriot sejati. Bagaimana mempunyai seorang murid seperti itu?”.
"Bukan hanya muridnya, Suhu akan tetapi Lauw Beng atau Siauw Beng itu malah anak angkatnya!” kata Cun Song.
"Ahhh!” Lu Kiat dan Lu Siong berseru kaget.
"Omitohud …… ! kalau begitu, Lam-liong Ma Giok harus bertanggung jawab ! Sute, kalau begitu lebih baik langsung saja kita mencari Lam-liong. Dia harus bertanggung jawab terhadap perbuatan murid juga anak angkatnya itu!”. "Akan tetapi kemana kita harus mencarinya, suheng? Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah mendengar nama Lam-liong di dunia kang-ouw. Kita tidak tahu dimana dia berada ", kata Lu Kiat.
"Saya tahu, lo-cian-pwe (orang tua gagah)!” kata Cun Song kepada Lu Kiat. "Dahulu Lam-liong Ma Giok tinggal di puncak Thai-san”.
"Hemmm, kalau begitu, sute. Biarlah pinceng yang pergi ke kuil Siauw-lim-si di Sung san untuk melaporkan hal ini kepada pimpinan Siauw-lim-pai, sedangkan Lu Sute dan Lu siong mencari Lam-liong Ma Giok di Thai-san”.
"Baiklah, suheng. Kami pergi sekarang ", kata Lu Kiat yang segera pergi bersama Lu Siong.
Lauw Han Hwesio ini memandang Cun Song. "Cun-sicu, kami bertiga amat berterima kasih atas semua keteranganmu yang sungguh amat menolong dan memudahkan penyelidikan kami. Akan tetapi agaknya engkau juga membenci Si Tangan Halilintar. Kalau boleh pinceng mengetahui, apakah yang menyebabkan sicu memusuhinya?”. "Suhu, sungguh tidak ada permusuhan pribadi antara saya dan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi sejak kecil saya mendapat didikan menentang Kerajaan penjajah Mancu. Maka, melihat Si Tangan Halilintar adalah seorang yang menjadi antek Mancu, dan kini melakukan kejahatan membunuhi orang-orang tidak berdosa, tentu saja saya membencinya. Cuma saja, dengan kebodohan dan kelemahanku, bagaimanapun juga saya tidak berdaya untuk menentang apalagi menangkap atau membunuhnya”. "Hemm, bagaimanapun juga keteranganmu kepada kami tadi sudah merupakan bantuan yang besar sekali artinya”. "Sekarang saya mohon diri, Suhu. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Kalau kelak saya dapat bertemu lagi dengan para pendekar yang mencari Si Tangan Halilintar dan kebetulan saya mengetahui dimana dia berada, saya pasti akan membantu mereka dan memberitahu”.
Mereka saling memberi hormat dan berpisah. Lauw Han Hwesio melanjutkan perjalanannya menuju pegunungan Sungsan untuk menghadap para pimpinan Siauw-lim- pai.
*****
Mayani melompat ke atas pohon raksasa itu. Gerakannya seperti seekor burung melayang naik. Ia hinggap di dahan depan pondok kecil yang di bangun di puncak pohon, merupakan sarang. Selama setahun ia dulu tiap malam tidur di dalam sarang ini, bersama Nenek Bu. Ia memasuki sarang itu akan tetapi nenek itu tidak berada di dalam pondok. Akan tetapi masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu masih didiami orang. Ia keluar dari pondok, berdiri di atas dahan yang paling tinggi dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi hutan itu lebar sekali sehingga sukar untuk mencari orang dalam hutan itu. Pandangannya terhalang daun-daun pohon yang amat lebat.
"Ibuuuuu ….. "Ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya melengking dan mengandung getaran sehingga dapat terdengar sampai jauh. Karena tidak ada jawaban, ia memutar tubuh. Sekarang ia menghadap ke selatan dan berteriak memanggil lagi. "Ibuuuu ……… !!”
Setelah gema teriakan itu mereda, terdengar teriakan lain. "Kui Sianggg ….!” Mayani menjadi girang sekali dan cepat tubuhnya melayang ke bawah pohon, lalu ia berlari menuju ke arah suara teriakan tadi. "Ibuuuu!”
Mereka saling lari menghampiri dan ketika bertemu mereka saling berangkulan. "Ibuuu …..!”.
"Kui Siang, anak nakal, engkau baru pulang? Mana dia cucuku?”.
"Ibu, cucumu Lauw Beng, sedang merantau. Marilah ibu ikut bersamaku dan kita bersama nanti mencari dan mengajak Lauw Beng pulang. Nasib Siauw Beng …..”.
"Siauw Beng?” nenek itu bertanya heran.
"Ah, namanya Lauw Beng, Ibu, akan tetapi sudah biasa di sebut Siauw Beng (Beng kecil). Nasibnya buruk sekali, Ibu.
Lengannya …. Lengan kirinya ….. sebatas siku siku telah buntung ….!”. Bicara sampai di sini Mayani terisak menangis. Ia teringat betapa dibuntunginya lengan Siauw Beng adalah karena pemuda itu membelanya!.
"Apa? Lengan kirinya buntung? Mengapa bisa buntung?”
Mendengar pertanyaan nenek itu yang di ajukan dengan kata-kata yang teratur, Mayani mengerti bahwa nenek itu kini telah tenang pikirannya, tidak kacau seperti dahulu. Diam- diam ia merasa girang dan menyusut air matanya.
Nenek itu membelalakkan matanya dan ia mengangkat kedua tanganya keatas, membentuk cakar lalu ia mencengkram ke atas barang pohon besar.
"Krekkk!” Jari-jari kedua tangannya masuk ke dalam kayu pohon dan begitu ia menarik, batang pohon itu terobek sebagian. "Siapa yang membuntungi lengan cucuku? Siapa? Hayo katakan, siapa?”.