Si Tangan Halilintar Chapter 68

NIC

Ketika pasukan keamanan dan para pendekar mencari dan berusaha menangkapnya, tiba-tiba saja dia menghilang dari Kota Ci-kian. beberapa hari kemudian, dia sudah mengamuk lagi di kota lain, membunuh dan memperkosa wanita dengan cara yang sama, yaitu hanya orang pribumi Han yang dia bunuh. Setelah kejahatan ini berlangsung beberapa pekan, dia menghilang lagi.

Dunia kangouw geger. Belum pernah ada penjahat seganas itu, apalagi yang dijadikan korban bukan hartawan atau bangsawan Mancu yang kaya, melainkan penduduk pribumi Han biasa yang hidupnya tidak mewah. Perbuatan penjahat itu membuat bukan saja para pendekar yang marah, akan tetapi juga pemerintah Kerajaan Ceng. Pemerintah marah karena perbuatan itu dapat mengakibatkan rakyat kembali membenci Pemerintah karena tentu mengira bahwa yang membunuh orang pribumi tentu orang Mancu ! Dan para pendekar tentu saja marah kerena ada penjahat yang kejam terhadap rakyat yang tak berdosa.

Si Tangan Halilintar itu menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Mancu dan juga kepada para pendekar sehingga kedua pihak itu kini mencarinya, berusaha menemukan dan menghukumnya seberat-beratnya!.

Pada suatu malam, di kota Ceng-jun, hujan turun membasahi seluruh kota. Di jalan-jalan sunyi karena hawa sangat dingin dan dalam cuaca hujan seperti itu, orang-orang lebih suka tinggal di rumah dan kalau tidak terpaksa sekali tidak ada yang mau keluar rumah. Akan tetapi dalam kegelapan malam yang dingin, ketika hujan kini tinggal rintik-rintik, nampak bayangan berkelebat di atas genteng sebuah rumah besar. Sinar lampu besar yang menerobos keluar dari ruangan dalam rumah itu menerangi bayangan yang kini mendekam di atas wuwungan rumah yang gentengnya tebal dan kokoh kuat. dalam keremangan sinar lampu, orang akan dapat melihat bahwa wajah itu wajah seorang laki- laki yang masih muda, akan tetapi bentuk wajah itu tidak jelas. Gerak-geriknya gesit dan tubuh laki-laki muda itu kokoh. Kepalanya di tutup sebuah caping lebar. Lengan baju yang kiri orang itu tergantung kosong.

Malam mulai larut dan dalam cuaca yang gelap dan hawa udara yang dingin itu, agaknya semua penghuni rumah telah tidur. Bagaikan seekor kucing, orang itu setelah mengintai dan mendapat kenyataan betapa ruangan di bawahnya itu sepi tidak tampak ada orang dan juga tidak terdengar suara apa pun, lalu dia melompat ke bawah. Ketika kedua kakinya menginjak lantai, sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hal ini menunjukkan bahwa orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat.

Ada tiga buah kamar berdampingan di ruangan lebar itu. Orang yang jelas buntung lengan kirinya itu mendekati setiap kamar dan menempelkan telinganya pada jendela kamar yang tertutup. Kemudian seolah dapat mengetahui akan isi kamar melalui pendengarannya, ia telah memilih kamar di sudut kiri. Dengan jari-jari tangan kanannya, mudah saja baginya untuk mematahkan pengganjal jendela dan membuka jendela tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lampu yang menyorot dari dalam kamar tidaklah seterang lampu yang berada di ruangan membuat kamar itu tampak remang-remang. Namun dalam keremangan itu, orang itu dengan sepasang matanya yang mencorong dapat melihat bahwa yang rebah di pembaringan itu adalah seorang gadis muda, seperti yang di duganya dengan menempelkan telinganya di luar jendela tadi. Dengan mendengarkan secara itu, dia dapat membedakan siapa yang berada di dalam kamar, dan pernapasan orang yang berada di dalam!. Kemampuan inipun menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) kuat sekali.

Dia tersenyum lalu bagaikan seekor kucing, dia melompat memasuki kamar melalui jendela yang terbuka. Lalu dia menutupkan kembali daun jendela itu dari sebelah dalam. Ketika ia menghampiri pembaringan, sebuah kejutan menyambutnya. Agaknya gadis itu terbangun dan tiba-tiba gadis itu melompat dan menyerangnya dengan pukulan yang cukup dahsyat. Hal ini membuktikan bahwa gadis itu seorang ahli silat yang sama sekali tidak lemah!.

Akan tetapi ternyata orang berlengan satu yang masuk seperti maling itu bergerak lebih cepat lagi. Dia bahkan menerima pukulan tangan gadis yang menyambar ke arah dadanya itu.

"Dukkk ….. !!!” Pukulan itu tepat mengenai dada, akan tetapi maling itu sama sekali tidak terpengaruh dan pada saat itu, tangan kanannya dua kali meluncur, kea rah pundak lalu kea rah leher.

"Tukk-tukk …… ! "Gadis itu tidak sempat mengelak dan seketika ia tidak mampu bergerak, tubuhnya lemas, kaki tangannya lumpuh dan ia pun tidak mampu mengeluarkan suara. Maling itu menerima tubuh yang terkulai hendak roboh, memondongnya dan membaringkannya kembali ke tempat tidur.

Rumah itu adalah milik seorang tokoh dunia kangouw, seorang murid Siauw-lim-pay bernama Gui Liang. Tokoh Siauw-lim-pai berusia empat puluh lima tahun ini mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia sembilan belas tahun bernama Gui Cin. Tentu saja Gui Cin juga mendapat latihan ilmu silat Siauw-lim-pay dari ayahnya. Gui Liang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal pengiriman barang) dan terkenal di kota Ceng-jun karena selama kiriman yang di kawalnya tentu selamat sampai di tempat tujuan dan dia dapat menghalau gangguan perampok. Gui Liang tinggal dan hidup tenang, bersama isterinya dan puteri mereka, Gui Cin yang cukup cantik.

Pada hari itu Keluarga Gui menerima seorang tamu bernama Lu Kiat yang masih sute (adik seperguruan) sendiri dari Gui Liang. Kedatangan Lu Kiat selain mengunjungi keluarga suhengnya (kakak seperguruannya) juga membawa usul perjodohan dengan seorang pemuda masih keponakan sendiri dari Lu Kiat yang bernama Lu Siong. Keponakan ini juga seorang murid Siauw-lim-pay yang pandai dan semuda itu, berusia dua puluh tiga tahun, dia sudah berdagang, memiliki toko hasil bumi yang cukup besar. Pemuda itu pun juga bukan orang asing bagi keluarga Gui, maka usul ini di terima dengan baik. Bahkan Gui Cin sendiri juga tidak menolak karena iapun mengenal Lu Siong yang ganteng dan gagah perkasa.

Malam itu, karena hawa udara dingin, maka setelah bercakap-cakap, Gui Liang mempersilahkan sutenya mengaso dan tidur di kamar sebelah kiri. Dia sendiri bersama isterinya tidur di kamar besar yang berada di tengah, sedangkan puterinya tidur di ujung sebelah kanan kamar mereka.

Demikian ringan gerakan maling tadi sehingga Gui Liang yang lihaipun tidak mendengar apa-apa, padahal dia belum pulas. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata kepada isterinya yang juga belum tidur.

"Aku mendengar suara rintihan. Hemm, agaknya dari kamar anak kita. Ada apakah dengan anak itu? Apakah ia sakit?”.

Isterinya sudah bangkit duduk dan turun dari pembaringan, lalu bersama suaminya ia keluar dari kamar mereka langsung menghampiri pintu kamar puteri mereka. Kini dari depan pintu mereka mendengar suara itu. Suara seperti rintihan.

"Tok-tok-tok!” Gui Liang menggedor pintu. "Gui Cin, engkau mengapakah? Hayo buka pintunya!” Akan tetapi tidak ada jawaban dan daun pintu juga tidak dibuka dari dalam. Bahkan suara seperti rintihan di kerongkongan itu menjadi semakin kuat. Gui Liang menjadi tidak sabar dan karena khawatir terjadi sesuatu dengan puterinya, dia lalu mengerahkan tenaganya dan mendorong dengan kedua tangannya ke arah daun pintu. "Braakkk ….!” Daun pintu itu jebol dan suami isteri itu melihat seorang laki-laki berdiri dekat pembaringan. Puteri mereka rebah telentang tak bergerak dan tidak bersuara, dan yang membuat mereka terkejut sekali adalah melihat keadaan puteri mereka itu yang telah bertelanjang bulat!

Sepintas saja Gui Liang yang sudah berpengalaman dapat menduga apa yang terjadi. Dia melompat ke dalam kamar itu dan membentak.

"Siapa engkau?”

Akan tetapi laki-laki yang hanya tampak bayangannya itu tiba-tiba menerjang dan menyerangnya. Gui Liang bukan orang yang lemah. Dia seorang murid Siauw-lim-pay yang tangguh dan sebagai seorang piauwsu dia tentu saja memiliki benyak pengalaman bertanding. Maka dia yang melihat serangan hebat itu cepat melompat keluar kamar mencari tempat yang lebih luas dan agak terang. Maling itu mengejarnya dan ketika tiba di luar kamar, Gui Liang dan isterinya melihat betapa orang itu adalah seorang pemuda tampan yang memakai sebuah caping, dan lengan kirinya buntung! Gui Liang terkejut dan dia teringat akan berita menggegerkan dunia kangouw tentang penjahat besar berjuluk Si Tangan Halilintar.

"Tangan Halilintar!” Dia berteriak lalu menyerang dengan pedang yang sudah dicabutnya.

Maling itu tertawa bergelak, suara tawanya bergema dan dia melayani serbuan pedang Gui Liang dengan gerakan tubuhnya yang lincah bukan main. Berkali-kali Gui Liang mengirim serangan bertubi-tubi, namun semua serangannya dapat di hindarkan maling itu dengan elakan dan tangkisan. Hebatnya, dengan tangan kosong dia berani menangkis pedang yang tajam!.

Suara rebut-ribut itu terdengar oleh Lu Kiat yang tidur di kamar sebelah. Ketika dia membuka pintu kamar, dia terkejut melihat suhengnya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki muda yang lengan kirinya buntung. Dia pun segera teringat akan nama Si Tangan Halilintar yang tersohor itu dan melihat betapa si lengan buntung itu dapat menghadapi pedang suhengnya dengan lincah sekali, dia cepat memasuki kamarnya kembali untuk mengambil pedangnya. Ketika dia keluar dia mendengar teriakan suhengnya dan jeritan isteri suhengnya.

Bukan main kagetnya melihat suheng dan isteri suhengnya itu telah terkapar di atas lantai dan si lengan buntung itu sekali menggerakkan tangan kanannya, lampu gantung yang berada di luar kamar itu pecah berantakan sehingga keadaan di situ menjadi remang- remang karena hanya mendapat sinar lampu kecil yang menyorot keluar kamar Gui Cin. Lu Kiat dapat melihat jelas wajah penjahat itu. Dengan marah sekali dia melompat menerjang.

"Jahanam ! Engkau tentu Si Tangan Halilintar!” bentaknya sambil menggerakkan pedangnya menyerang dengan dahsyat. Tingkat kepandaian Lu Kiat ini masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gui Liang karena dia lebih lama tinggal di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim).

"Ha-ha-ha, kalian para pemberontak Siauw-lim harus di basmi!” Maling itu tertawa dan berkata mengejek. Lu Kiat mempercepat serangannya akan tetapi dia merasa terkejut dan juga heran karena orang itu menghadapinya dengan silat tangan kosong Lo-han-kun (Silat Orang Tua) dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi gerakannya lincah bukan main dan yang lebih hebat lagi, orang yang hanya bertangan satu itu berani menangkis pedang dengan tangannya dan setiap kali tangan kanannya itu bertemu pedang, terdengar suara berdencing nyaring seolah tangan itu terbuat dari baja yang kuat ! Orang ini jelas orang Siauw-lim-pai, memiliki ilmu silat Siauw-lim akan tetapi dengan tingkat yang sudah tinggi sekali dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat!.

"Keparat busuk!” Lu Kiat kembali menyerang setelah belasan serangannya selalu dapat di hindarkan lawan. Kini pedangnya membacok kea rah leher. Namun dengan mudah lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang. Pada saat itu, suara rebut-ribut memancing datangnya sisa penghuni rumah itu, ialah para pembantu rumah tangga dan tiga orang piauwsu pembantu yang tinggal di begian belakang rumah.

Melihat bala bantuan datang dan di antara mereka membawa teng (lampu gantung) Lu Kiat cepat menyerang lagi dengan pedangnya, menusuk ke arah dada maling itu. Akan tetapi yang di tusuk hanya miringkan tubuh dan begitu tangan kanannya membuat gerakan membacok kea rah pedang, pedang itu patah menjadi dua. Sebuah tendangan menyambar dan tubuh Lu Kiat terlempar, menabrak dinding dan roboh dengan dada terasa nyeri. Akan tetapi dia tidak terluka amat parah sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya.

Maling itu tertawa lalu berkelebat lenyap ke atas wuwungan rumah. Geger rumah keluarga itu ketika orang-orang mengetahui bahwa Gui Liang dan isterinya tewas dan lebih ngeri lagi hati mereka melihat dalam kamar Gui Cing juga tewas dalam keadaan telanjang bulat!.

Lu Kiat tidak tewas dan murid Siauw-lim-pai ini merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan dan perkosaan ini adalah Si Tangan Halilintar yang tersohor, penjahat keji yang berlengan satu dan amat lihai itu. Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa sekali yaitu melihat kenyataan bahwa Si Tangan Halilintar itu mahir memainkan ilmu silat Siauw-lim- pai! Jelas bahwa orang itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai dan lihai sekali. Akan tetapi Lu Kiat sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, merasa tidak mengenal murid Siauw-lim-pai yang buntung lengan kirinya. Peristiwa pembantaian terhadap keluarga Gui Liang ini tentu saja menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Si Tangan Halilintar semakin tersohor dan para komandan pasukan keamanan dan para pendekar, walaupun mengambil jalan masing-masing, mempergiat usaha mereka mencari Si Tangan Halilintar.

****

Setelah sembuh dari luka di dadanya akibat tendangan Si Tangan Halilintar yang untungnya tidak membuat Lu Kiat tewas, tokoh Siauw-lim-pai ini lalu pulang ke dusun Tong-cun, dimana dia tinggal bersama isterinya dan seorang keponakannya yang di anggapnya seperti anak sendiri karena dia tidak mempunyai anak, yaitu Lu Siong. Ketika dia menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di Ceng-jun dan bencana yang menimpa keluarga Gui, Lu Siong mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.

"Paman, aku akan mencari dan membunuh jahanam Si Tangan Halilintar itu!”.

"Hemm, tidak begitu mudah, Lu Siong. Penjahat itu lihai bukan main. Dia ahli ilmu silat Siauw-lim-pai yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Bayangkan saja, dengan jurus-jurus Lo- han-kun yang sudah kukuasai dengan baik, dia mampu mengalahkan aku yang berpedang. Dan tenaga saktinya kuat bukan main sehingga tidak mengherankan kalau dia berjuluk Si Tangan Halilintar. Pukulan tangan kanannya seperti sambaran halilintar”.

"Akan tetapi saya tidak takut, paman!” kata Lu Siong dengan gagah.

"Memang tidak ada yang takut menghadapi penjahat, betapapun lihainya dan tewas dalam perjuangan menentang kejahatan merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang pendekar. Akan tetapi karena penjahat itu seorang ahli silat Siauw-lim-pai, maka semua kejahatannya itu merupakan perbuatan yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Kewajiban Siauw-lim-pailah untuk membasmi penjahat ini untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai yang ternoda. Karena itu, aku hendak pergi ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) di kaki Gunung Sungsan untuk menghadap para suhu dan melaporkan tentang Si Tangan Halilintar ini. Aku sendiri tidak mengenalnya, akan tetapi para suhu tentu mengenal ahli silat Siauw-lim tangan satu yang amat lihai ini”.

"Paman benar sekali. Saya akan menemani Paman pergi menghadap para suhu di Sungsan”.

"Sebelum kita berangkat ke sana, aku mau mengunjungi Suheng Lauw Han Hwesio ketua Thian-li-tang di Bukit Ayam, luar dusun ini. Dia juga murid Siauw-lim-pai, maka berhak pula mengetahui akan peristiwa yang menimpa Suheng Gui Liang sekeluarga”.

Dua orang itu lalu meninggalkan dusun menuju ke sebuah kuil yang cukup besar, yang terletak di lereng Bukit Ayam.

Posting Komentar