Si Tangan Halilintar Chapter 62

NIC

Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas. Ketika tujuh belas orang itu melihat A Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ remang-remang.

“Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba untuk melarikan diri!” A Siong membentak.

Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang yang bersenjata sepasang cakar harimau. Mereka serentak berlutut menghadap A Siong dan berseru, “Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)“.

“Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan tunggulah perintah kami selanjutnya. “Hayo jalan!” Semua orang itu sudah mati kutu.

Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu. Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa. Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar dan berwibawa. sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu hidup bagaikan bujang bagi suaminya. Melayani semua kebutuhan suami, mengurus anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah membantu pekerjaan di sawah lading kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua!

Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akan membunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya. Ia akan menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan pemuda itu.

Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan. Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat menyedihkan. Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus. Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya.

Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi permainan para penjahat keji itu.

Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga akhirnya mereka berhenti menangis. Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan rumah besar itu. Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para anggota gerombolan itu di haruskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masing- masing.

“Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada teman- teman mereka yang berani masuk perkampungan ini “, kata Siauw Beng setelah mereka semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak.

Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal. Para gadis juga tidur di sebuah kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram. Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di serambi depan bersama Siauw Beng.

Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata.

Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam seperti sedang siu-lian (samadhi), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap.

“In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap. Saya tidak akan kembali ke rumah orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong”.

“Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!”.

“Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela”.

A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia berkata lirih. “Mari kita bicara di sana saja”.

Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu bukit dan mendengarkan percakapan mereka.

“Bi Hwa, keputusanmu itu keliru. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa”.

Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan. “Inkong, apakah engkau tidak kasihan kepadaku?” tanyanya di sela isaknya.

“Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi Hwa”.

“Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?” tanyanya dengan suara memelas.

“Sudah ku katakan bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan”.

“Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela. Saya rela menjadi pelayanmu, in-kong”.

Hening sejenak, hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang, berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih. “Percayalah Bi Hwa seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki kebebasan dan harapan masa depan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak mungkin aku menerimamu, Bi Hwa”.

“Apakah …. Apakah …. Tidak ada jalan keluarnya … in-kong …?”.

A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih. “maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak ada ….”

Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang berada tak jauh dari situ. Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari rangkulan A Siong.

“Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?” A Siong memaksa, mearik tubuh gadis itu menjauhi jurang.

Posting Komentar