Si Tangan Halilintar Chapter 61

NIC

Hek-houw Mo-ko terkejut bukan main. Sebagai orang yang banyak pengalaman dia segera mengenal serangan yang luar biasa hebatnya dan tahulah dia bahwa gadis cantik itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dia cepat mengelak sambil menggerakkan kedua tangannya yang disambung cakar harimau terbuat dari baja yang sudah di rendam racun.

Segera Ai Yin sudah bertanding seru melawan ketua Hek-houw-pang dan laki-laki tinggi besar brewok ini diam-diam memberi tanda kepada anak buahnya untuk bergerak. Empat puluh orang lebih itu segera mengepung dan mengeroyok Siauw Beng dan A Siong. Mereka bermaksud membunuh dulu dua orang pemuda itu, baru mereka akan membantu ketua mereka menangkap gadis yang cantik itu. Akan tetapi, mereka disambut dengan kejutan hebat. Begitu kedua orang pemuda itu menggerakkan tubuh mereka, dalam beberapa detik saja delapan orang pengeroyok sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena tulang patah atau terluka dalam. Tamparan dan tendangan Siauw Beng dan A Siong terlalu kuat bagi mereka sehingga mereka mengeroyok dengan hati gentar dan kacau. Akan tetapi hal ini justeru membuat pengeroyok mereka semakin lemah dan kembali delapan orang berpelanting!.

“Hyaattt …….!” Ai Yin menyerang dengan hebat.

Kebenciannya terhadap kepala gerombolan yang berani kurang ajar kepadanya itu membuat ia menyerang dengan dahyat untuk membunuh. Hek-houw Mo-ko melihat serangan yang amat ganas itu, segera menggerakkan tangan menangkis. Cakar harimau baja itu bertemu dengan pedang.

“Criinggg ….!” Tampak bunga api berpijar dan Hek-houw Mo-ko terhuyung ke belakang. Dia semakin terkejut dan mulai merasa gentar. Cakar harimaunya dari baja itu kuat sekali dan biasanya kalau bertemu dengan lawan yang bersenjata cakarnya mampu mematahkan pedang atau golok lawan. Akan tetapi sekali ini, cakarnya tidak mampu mematahkan Liong-cu-kiam, sebaliknya malah sebuah jari cakar itu patah! Maka dia mulai panic, apalagi ketika di liriknya dan dia melihat betapa belasan anak buahnya sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali, hanya duduk dan merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh yang patah tulangnya. Dia mulai takut dan cepat dia menyelinap dan menyusup kedalam kelompok anak buahnya yang banyak. Melihat kepala gerombolan itu menghilang di antara anak buahnya, Ai Yin menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar terang dan berturut-turut terdengar teriakan dan tubuh bergelimpangan mandi darah di sambar sinar pedang itu.

Sementara itu, ketika A Siong sedang mengamuk, dia melihat Hek-houw Mo-ko melarikan diri memasuki pintu gerbang perkampungan. Melihat Ai Yin mengamuk dengan pedangnya dan Siauw Beng masih menggunakan kaki dan tangan kanannya untuk merobohkan para pengeroyok yang kini sudah berkumpul semua di situ, A Siong lalu melakukan pengejaran kepada kepala gerombolan itu. Dengan gerakan ringan ia melewati kepala para pengeroyok di depannya dan mengejar ke dalam perkampungan yang sunyi karena semua anggota gerombolan telah berkumpul di depan pintu gapura untuk mengeroyok.

A Siong masih sempat melihat Hek-houw Mo-ko melompat dan memasuki sebuah bangunan yang paling besar di perkampungan itu. Karena malam mulai tiba, maka cuaca sudah remah-remang. Namun dalam rumah besar itu terdapat penerangan. Dia melompat ke serambi rumah dan melihat di situ sunyi, dengan hati-hati dia lalu memasuki ruangan depan. Dia harus waspada dan hati-hati karena amat berbahaya mengejar seorang penjahat kejam yang memasuki rumahnya. Dia dapat di serang dengan tiba-tiba, bahkan ada kemungkinan rumah itu di pasangi alat-alat rahasia untuk menjebaknya. Ruangan depan itupun kosong tidak nampak seorangpun manusia. Berindap-indap A Siong mencari orang yang dikejarnya. Agaknya rumah itu telah ditinggalkan semua penghuninya karena sepi sekali. Namun di ruangan dalam terdapat lampu penerangan. Dengan berani dia memasuki ruangan yang sebelah dalam. Di sini pun sunyi dan dari ruangan ini dia dapat melihat melalui pintu bahwa ada pula ruangan sebelah belakang. Akan tetapi menembus ruangan dalam itu terdapat pintu-pintu kasar yang daun pintunya tertutup.

Selagi dia bingung tidak tahu harus mencari kemana, tiba-tiba dia mendengar suara orang bicara di ruangan belakang. Cepat dia melangkah ke ruangan itu dan suara itu datang dari sebuah kamar besar yang pintunya tertutup. Dia menghampiri pintu dan mendengarkan suara laki-laki dan wanita yang terdengar berbantahan.

“Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, aku tidak sudi ikut denganmu!” terdengar suara wanita itu. Lalu A Siong mendengar suara laki-laki yang sudah dikenalnya, suara Hek-houw Mo- ko!.

“Gadis bodoh tak mengenal budi! Kalau aku tidak benar-benar cinta kepadamu, sejak kemarin engkau tentu telah ku paksa, ku perkosa seperti para gadis lain, lalu ku berikan kepada anak buahku. Akan tetapi aku tidak mau melakukan itu terhadap dirimu karena aku sungguh cinta padamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Maka, sekali lagi, menurutlah. Mari ku ajak engkau pergi dari sini dan kita hidup berbahagia di tempat lain. Engkau dapat hidup mewah dan terhormat di sana. Marilah manis”.

“Tidak, aku tidak sudi ikut denganmu. kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri, daripada menjadi isterimu. Terkutuk engkau, laki-laki jahanam yang jahat dan kejam!”.

“Hemmm, kalau begitu aku akan memaksamu ikut denganku, mau atau tidak mau engkau harus menjadi isteriku!”.

Asiong mendengar suara gedebukan dan kain robek. Maka dia lalu menendang daun pintu kamar itu.

“Braakkkk …..!” Daun pintu jebol dan A Siong melompat masuk. Dia melihat Hek-houw Mo-ko hendak memaksa dan meringkus seorang gadis bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi gadis itu meronta dan bajunya yang di cengkram Hek-houw Mo-ko menjadi robek dari leher sampai pinggang, sehingga tubuh bagian atasnya kini hanya tertutup pakaian dalam berwama merah muda yang tipis dan tembus pandang. Mendengar suara pintu jebol, Hek-houw Mo-ko terkejut sekali. Cepat dia melepaskan gadis yang meronta-ronta dengan gigih itu dan menghadapi A Siong dengan marah.

Dia tadi gentar menghadapi Ai Yin dan dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan dara perkasa itu. Akan tetapi kini melihat A Siong yang tidak membawa senjata, dia memandang rendah. Dia marah sekali. A Siong merupakan seorang di antara tiga orang muda yang mengacaukan perkampungannya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia sudah menerkam dengan kedua cakarnya ke arah A Siong.

A Siong yang sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa kedua tangan yang di sambung cakar harimau itu berbahaya sekali, maka dia cepat mengelak ke samping, lalu membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan. Akan tetapi Hek-houw Mo-ko juga mampu mengelak dengan cepat. Maka bertandinglah dua orang laki-laki yang sama tinggi besarnya itu dalam kamar. Untung bahwa kamar itu cukup luas sehingga mereka dapat bertanding dengan leluasa. Akan tetapi segera ternyata bahwa A Siong masih lebih unggul walaupun lawannya memiliki sepasang cakar berbisa yang menyambung kedua tangannya dan A Siong sendiri bertangan kosong. Selain tingkat kepandaian A Siong memang agak lebih tinggi dan dia memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat karena dia telah makan daging ular kembang merah, juga pada saat itu hati Hek-houw Mo-ko sudah terlanda panic dan ketakutan. Setelah dia mendapat kenyataan bahwa lawannya inipun lihai sekali, hatinya merasa gelisah dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tadinya dia ingin memaksa gadis yang kemarin di culik, puteri lurah itu, untuk menemaninya karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menyelamatkan diri. Maka dia lalu menyerang dengan nekat, mencakar dengan tangan kanannya kea rah muka A Siong sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka.

A Siong sudah waspada. Melihat serangan nekat itu, dia cepat miringkan tubuhnya dan setelah memutar tubuh ke kanan dia menangkap lengan kanan lawan dan dengan pengerahan tenaga sakti dia memutar lengan itu ke belakang tubuh lawan. Sekali dia mendorong lengan itu ke atas, terdengar bunyi berkretekkk dan sambungan tulang pundak kanan Hek-houw Mo-ko terlepas! Kepala perampok itu mengeluh karena rasa nyeri seperti menusuk jantungnya dan dia membungkuk untuk menahan rasa nyeri. A Siong menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kedua pergelangan kaki kepala perampok itu dengan kedua tangannya dan sekali angkat dan tarik, tubuh kepala gerombolan itu telah tergantung dan dia lalu memutar-mutar tubuh itu, kemudian dia lemparkan keluar kamar melalui pintu yang jebol. Tubuh itu meluncur dan kepalanya menghantam dinding.

“Praakkk ….!” Tubuh itu terbanting dan kepalanya retak. Hek-houw Mo-ko tewas seketika.

A Siong menghampiri gadis yang berlutut sambil memegangi bagian depan bajunya yang robek. Ia tadi menonton perkelhaian itu dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh gemetaran. Kini, melihat A Siong menghampirinya ia memandang wajah pemuda tinggi besar itu.

A Siong melihat betapa sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak seperti mata kelinci yang ketakutan. maka dia tersenyum dan berkata lembut, “Nona, jangan takut. Aku datang untuk menolongmu dan membawamu pulang pulang ke rumah orang tuamu”.

Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang mata dengan sepasang mata pemuda tinggi besar yang membayangkan kejujuran itu, gadis agaknya baru yakin bahwa pemuda ini benar-benar datang untuk menolongnya. Maka kalau tadi ia sama sekali tidak menangis, kini ia mengeluh dan menubruk kedua kaki A Siong dan terkulai pingsan!.

Melihat gadis itu kini rebah telentang di atas lantai dengan tubuh bagian atas depan hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga lekuk lengkung dadanya membayang, jantung A Siong berdebar tegang. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pemandangan seperti ini. Dan wajah gadis itu mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Gadis yang tabah, berani mati dan lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada kepala perampok, seperti yang di dengarnya tadi ketika gadis itu berbantahan dengan Hek-houw Mo-ko.

Dan wajah gadis yang bertubuh tinggi tegap ini begitu memelas, dan begitu manis menimbulkan rasa suka dan iba di hatinya yang belum pernah tersentuh oleh seorang wanita. Dengan jari – jari gemetar dia mencoba untuk menutupkan baju luar yang robek, akan tetapi karena dada yang membusung itu membuat bajunya menjadi ketat, maka begitu dia melepaskan tangan, baju itu terbuka kembali!.

Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar dari rumah.

Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu.

“Suheng, siapa yang kau pondong itu?” Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.

Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali. “Ia ….. ia …… adalah puteri kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko, aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan dan kubawa keluar”.

Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut merangkul kedua kaki A Siong. “In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong”.

“Eh, apa …… apa maksudmu, Nona? Nanti ….. atau besok pagi kami akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu“.

“Tidak, in-kong …. Tidak … saya tidak mau pulang ….. “gadis itu kini menangis lirih.

“Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barang- barang yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain”.

“Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akan memeriksa keadaan dalam perkampungan“, kata Siauw Beng.

“Baik, sute”. Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena dia tidak mau menganggur di situ. “Mau apa kita keluar, in-kong?”.

“Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas semua perbuatan mereka yang jahat. Mari …. Eh, siapakah namamu, Nona?”.

“Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah utara”.

Posting Komentar