Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar.
"Lin-ko! Lin-ko, bukalah !"
Masih saja tidak ada jawaban. Kui Lin termenung. Apakah Han Lin tidak berada dalam kamarnya? Atau memang marah dan tidak membuka pintunya, tidak mau menemuinya?
"Lin-ko, bukalah, Lin-ko, ini aku! Bukalah pintunya, Lin-ko!" ia berkata dengan suara memohon dan agak parau karena ia sudah hampir menangis.
Karena tetap tidak ada jawaban, Kui Lin lalu menghampiri daun jendela dan' dengan tenagandalamnya ia mendorong! daun pintu sehingga terbuka. Di dalam kamar itu ia melihat Han Lin duduk bersila di atas pembaringan dan lampu meja masih bernyala terang, la segera melompat masuk dengan ringannya dan menghampiri Han Lin.
"Lin-ko, aku datang untuk minta maaf kepadamu " katanya hrih membujuk.
Tanpa membuka kedua matanya Han Lin berkata. "Jangan dekati aku, aku < laki-laki kurang ajar, tidak sopan, cabul, aku seorang Jaihwacat. Pergilah, jangan dekati aku!"
Mendengar ini, Kui Lin lalu menjatuhkan dirinya berlutut menghadap pemuda tu.
"Lin-ko, aku mohon ampunkan aku........ aku bersalah padamu Lin-ko, jangan
membenciku " Gadis itu mena-gis sesenggukan.
"Hemmm, engkau masih menganggap aku laki-laki serendah itu?" "Tidak, tidak ! Maafkan aku, Lin-ko. Aku bodoh sekali. Engkau kembali
menyelamatkan nyawaku yang terancam oleh Cui-beng Lokui dan aku malah memaki-makimu! Maafkan, aku tidak sengaja, habis aku kaget, aku terbangun, gelap dan ada ular-ular merayap di betisku " Gadis itu bergidik ngeri.
Mau tidak mau Han Lin tertawa. Ha-ha-ha, aku tidak menyalahkan kalau engkau terkejut. Akan tetapi lain kali jangan memaki aku seperti itu! Masa ada adik memaki- maki kakaknya begitu rendah? Yang merayap di betismu itu bukan ular, bodoh, tapi jari-jari tanganku. Maafkan aku, habis gelap dan aku ingin melihat apakah engkau tidak celaka oleh kakek itu. Sudahlah, kembali ke kamarmu, tidak enak kalau ada orang mendengarkan kita. Besok saja kita bicaraka hal ini. Selamat tidur, Lin Lin."
Kui Lin tidak menangis lagi, kini malah tertawa. "Selamat tidur, Lin-ko, dan terima kasih." Ia melompat keluar dari jendela, menutupkan daun jendelanya dan kembali ke dalam kamarnya. Ia kini menyiapkan pedangnya di bawah bantal.
"Datanglah lagi kau, kakek jahanam Cui-beng Lokui, akan kucincang tubuhmu yang tua itu?" katanya gemas sebelum ia jatuh pulas lagi.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Han Lin menasehat-kan Kui Lin agar mulai sekarang berhati-hati karena sudah jelas bahwa Cui-beng Lokui mendendam kepadanya karena ia telah membunuh tiga orang muridnya. "Engkau hadapi ini, Lin-moi. Inilah yang kumaksudkan dengan f rantai karma. Semua perbuatan kita pasti mendatangkan akibat. Akibat buruk menyusul perbuatan buruk dan akibat baik menyusul perbuatan baik, cepat atau pun lambat. Karena itu kita harus selalu waspada akan perbuatan kita sendiri dan berusaha agar perbuatan kita selalu baik, menjauhi perbuatan buruk."
Kini Kui Lin sudah mendapat pelajaran pahit semalam dan ia mulai berhati-hati dengan sikap, ucapan, atau perbuatannya. Ia mulai melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Han Lin.
"Kalau begitu, perbuatanku membunuh orang-orang jahat itu buruk?"
"Lihat saja sendiri, Lin-moi. Baru membunuh Tiat-pi Sam-wan saja, kini akibatnya engkau dikejar-kejar guru mereka yang mendendam dan hendak membunuhmu. Kalau kau lanjutkan keganasan-mu suka membunuh orang-orang, bayangkan saja bagaimana nanti hidupmu? Ratusan, bahkan ribuan orang akan selalu mengejarmu dan berniat untuk membalas dendam dan membunuhmu!"
Kui Lin terdiam, agaknya merasa menyesal juga. Melihat wajah manis yang biasa cerah, liar dan gembira itu kini memanjang karena menyesal dan risau, Han Lin merasa tidak tega.
'Tenangkan hatimu, Lin Lin. Yang sudah lalu, biarkan berlalu. Hanya saja, mulai sekarang seyogianya engkau mengubah watakmu, jangan terlalu menuruti gelora perasaan emosimu. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, akan tetapi bukan berarti kita lalu menjadi hakimi hakim yang menjatuhkan keputusan hukuman sendiri, tidak boleh kita lalu men-P jadi Giam-lo-ong (Raja Maut). Kita tentang perbuatan jahat akan tetapi tanpa membenci manusianya. Kita tentang yang jahat, kalau dapat kita sadarkan mereka, kalau mereka tidak tunduk, terpaksa kita pergunakan kekuatan untuk mengalahkan] mereka dan membiarkan mereka dihukumi oleh yang berwajib, yaitu alat pemerintah yang berwenang untuk mengadili mereka.J Hukuman itu pun suatu usaha untuk me-l nyadarkan mereka. Ingat, Lin Lin, tidak I ada manusia yang sempurna di dunia ini. Orang yang melakukan kejahatan berarti] dia sedang sakit, bukan badannya yang] sakit, melainkan jiwanya. Nasehat atau] hukuman dapat saja mengobatinya sampai] sembuh. Kalau jiwanya sudah sembuh j
tidak sakit lagi, tentu wataknya berubah menjadi baik. Sebaliknya, jiwa yang tadinya sehat, bisa saja sewaktu-waktu menjadi sakit karena manusia itu lemah dan nafsu- nafsunya yang amat kuat setiap saat siap untuk menggoda dan menyeretnya melakukan perbuatan sesat demi mencapai keinginan yang didorong oleh nafsunya. Maka, tidaklah bijaksana bagi seorang yang sedang baik wataknya memandang rendah orang lain yang sedang tersesat, seperti tidak bijaksananya seorang yang sedang sehat memandang rendah seorang yang sedang sakit. Harus selaiu diingat bahwa yang sakit dapat sembuh, sebaliknya yang sehat dapat juga sakit. Membunuh mereka yang jahat jelas bukan cara terbaik, seperti menanam bibit pohon buah yang tidak baik."
"Lin-ko, aku akan selalu ingat nase-hatmu ini akan tetapi bimbinglah aku karena terkadang kalau sedang marah menyaksikan kejahatan dilakukan orang, aku menjadi lupa segala dan ingin membasmi si jahat itu."
Demikianlah, mereka berdua melanjutkan perjalanan ke kota raja dan di panjang perjalanan Kui Lin menerima banyak petunjuk dan nasehat dari Han Lin yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri atau juga gurunya.
w
Bukit Tengkorak itu sebetulnya tidaklah berapa besar, tingginya juga hanya sekitar lima ratus meter. Mengapa disebut Bukit Tengkorak, mudah diketahui karena bukit kapur itu dari jauh memang sudah tampak mirip tengkorak manusia. Tidak ada orang mau tinggal di bukit karena bukit kapur itu tanahnya sama sekali tidak subur. Orang-orang lebih suka tinggal di bawah bukit yang berada di lembah Sungai Luan di mana tentu saja tanahnya lebih subur.
Semua orang mengetahui bahwa sudah bertahun-tahun di puncak Bukit Tengkorak itu tinggal seorang pertapa wanita dalam sebuah gua besar. Semua orang di dusun- dusun sekitar Bukit Tengkorak mengenal pertapa yang bernama Thian Te Siankouw itu karena setiap ada yang menderita sakit berat mereka membawanya naik dan menghadap Thian Te Siankouw yang selalu mengobati si sakit dengan suka-rela.
Banyak sudah orang yang dapat sembuh setelah diobati Thian Te Siankouw. Maka, para penduduk dusun-dusun yang merasa hutang bud,i kepada pertapa itu, membalasnya dengan menyediakan semua keperluan hidupnya yang tidak banyak. Hanya sekedar untuk makan sewaktu lapar dan beberapa helai pakaian pengganti. Beberapa orang tokoh kang-ouw yang kebetulan lewat di daerah itu dan tertarik lalu mengunjungi Thian Te Siankouw mendapat kenyataan bahwa pertapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Akan tetapi a irir»ya, tidak pernah ia mau menerima murid walaupun banyak orang-orang muda bersujut kepadanya dan mohon menjadi muridnya. Hal ini terkadang membuat orang-orang kangouw itu menjadi marah dan sengaja menguji kepandaian Thian Te Siankouw, namun tak seorang pun mampu membuat per-tapa itu bangkit dari duduknya. Hanya dengan duduk bersila saja n mampu mengalahkan dan mengusir semua pengganggunya.
Pada suatu pagi, seorang pemuda berpakaian serba kuning yang gagah dan seorang gadis muda yang cantik, lembut namun tampak gagah pula, tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Tengkorak. Mereka adalah Liu Cin dan Ong Hui Lan. Seperti kita ketahui, sepasang orang muda ini mendapat petunjuk dari Si Han Lin bahwa kalau mereka, atau lebih tepat Hui Lan, ingin memperdalam ilmu dan mencari guru, dia mendengar dari gurunya bahwa di Puncak Bukit Tengkorak di tepi Sungai Luan itu terdapat seorang pertapa wanita bernama Thian Te Siankouw yang sakti. Maka Hui Lan lalu mencarinya, ditemani oleh Liu Cin yang diam-diam mencinta gadis itu.
Para penduduk dusun itu tentu saja memandang sepasang orang muda itu dengan heran. Maklum daerah itu jarang
-kali menerima kunjungan orang luar. alau ada yang kebetulan datang juga ereka adalah orang-orang kangouw yang asar. Ketika Liu Cin bertanya kepada tereka tentang Bukit Tengkorak dan Thian Te Siankouw, para penduduk dusun itu dengan gembira menunjuk ke arah Nukit Tengkorak yang tampak dari situ. "Kongcu (Tuan Muda) dan Kouwnio Nona) tentu hendak minta obat dari Siankouw, bukan? Karena kalau Ji-wi Kalian berdua) minta hal lain, pasti , kan ditolaknya.
"Ya benar, kami mau minta obat," awab Hui Lan yang tidak ingin men-apat banyak pertanyaan kalau ia bilang ngin mencari guru.
"Kami mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, Thian Te Siankouw juga nerupakan seorang sakti. Benarkah itu?" tanya Liu Cin.
"Thian Te Siankouw adalah seorang ewi, bukan manusia biasa, tentu saja beliau sangat sakti! Karena itu, harap Ji-wi tidak main-main kalau berada di sana menghadap beliau." kata seorang kakek
dengan suara sungguh-sungguh.
"Apakah beliau mempunyai mur i tanya Hui Lan.
"Murid? Siankouw tidak pernah ma menerima murid, hanya mau mengobai orang sakit. Itu saja!"
Mendengar ini, tentu saja hati Hu Lan menjadi gelisah. Jangan-jangan se telah melakukan perjalanan yang ama sukar, mendaki pegunungan menur u jurang-jurang dan tebing terjal, setela bertemu dengan orang yang dicarinya, i akan ditolak menjadi murid! Ia tida boleh ragu. Segala harus dicoba dulu!
"Mari, Liu Cin, kita pergi menghadap Siankouw!" katanya dan mereka mengucapkan terima kasih kepada para penduduk dusun lalu berangkat mendaki bukit kapur itu. Di lereng bukit itu mereka bertemu dengan beberapa orang dusun yang pulang setelah mengantarkan orang yang sedang menderita sakit dan minta obat, ada pula yang pulang dari mengirim bahan-bahan makanan kepada Siankouw. Dari mereka inilah Liu Cin dan Hui Lan mendapat
>etunjuk di mana adanya gua besar tempat tinggal pertapa wanita itu.
Akhirnya mereka berdiri di depan gua tu. Karena gua itu menghadap ke timur dan saat itu matahari masih berada con-ong di timur walaupun sudah agak tinggi, maka sinar matahari memenuhi gua. Mereka melihat seorang wanita duduk bersila di atas sebuah batu besar di depan gua, sikapnya seperti seorang dewi dan memang pantas kalau ia disebut dewi. Wanita itu usianya sekitar lima puluh lima tahun, namun masih tampak cantik, rambutnya yang panjang masih hitam dan wajahnya yang lembut itu masih cerah dan halus tanpa keriput. Di dalam gua, di belakang wanita itu terdapat buah-buah dan bahan-bahan makanan yang agaknya baru saja dikirimkan ke situ oleh para penduduk dusun.
Hui Lan dan Liu Cin tertegun. Inikah calon guru yang mereka cari, guru yang ditunjuk oleh Si Han Lin? Wanita itu mengenakan pakaian kuning dan putih dari kain yang kasar, namun bersih dengan potongan sederhana, mungkin buatan para wanita dusun. Dua orang muda 1 saling pandang, lalu Hui Lan mengangg dan mereka berdua maju lalu menjatul kan diri berlutut di depan batu besar it "Siankouw, mohon maaf kalau k datangan kami mengganggu ketenanga Siankouw yang terhormat." kata Hui L karena Liu Cin tidak tahu harus berka apa. Yang memiliki kepentingan adai Hui Lan, dan dia hanya mengantarkann saja.
Thian Te Siankouw membuka ked matanya dan memandang kepada d orang muda itu bergantian, lalu terd ngar ia berkata, suaranya lembut.
"Kulihat kalian sehat saja, kenap kalian datang ke sini? Apa yang kalia kehendaki?" Biarpun suara itu lembut, namun d dalamnya mengandung getaran yang pe nuh wibawa sehingga Hui Lan meras betapa jantungnya berdebar tegang. Ia pikir, kalau ia langsung minta agar di terima menjadi murid, ia khwatir kalau kalau nenek itu menolak, maka sambi memberi hormat ia berkata.
"Siankouw yang mulia, saya mohon belas kasihan Siankouw agar sudi me- olong saya "
"Hemmm, kulihat engkau sehat, tidak akit "
"Badan saya memang tidak sakit, Siankouw, akan tetapi batin saya sakit, sakit parah sekali, rasanya ingin mati aja."
Thian Te Siankouw mengerutkan alisnya dan menatap wajah Hui Lan penuh perhatian. Sinar matanya yang tajam itu seolah akan menembus dan menjenguk ke dalam hati gadis itu. Agaknya ia tertarik
dan berkata.
"Engkau menderita sakit hati? Sakit hati apakah yang membuatmu ingin mati saja?" Tentu saja Hui Lan tidak ingin menceritakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh Chou Kian Ti, apalagi di depan Liu Cin. Malapetaka itu akan ia rahasiakan untuk dirinya sendiri, tidak akan diceritakannya kepada siapapun juga, kecuali mungkin, kalau terpaksa, kepada ayah ibunya.
"Siankouw, saya merasa sakit hati sekali karena telah ditipu. Ayah ibu saya telah menerima lamaran Jenderal Chou yang hendak menjodohkan saya dengan puteranya. Saya menerimanya karena saya harus berbakti kepada orang tua saya. Akan tetapi ternyata Jenderal Chou itu melamar saya untuk puteranya I bukan karena puteranya ingin menikah dengan saya, melainkan karena keluarga Chou itu hendak memanfaatkan tenaga saya untuk membantu rencana pemberontakan mereka. Saya menolak dan mereka menghina dan memaki saya. Saya melawan akan tetapi kalah, maka saya mohon Siankouw sudi mengajarkan ilmu silat tinggi kepada saya agar saya dapat membalas perlakuan mereka dan terutama sekali agar saya mampu menantang mereka yang hendak memberontak kepada Sribaginda Kaisar." Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa mengajarkan ilmu silat, kalau engkau mau belajar ilmu pengobatan, boleh saja."
"Tolong, Siankouw. Saya melakukan itu bukan sekadar membalas dendam, melainkan terutama sekali untuk menentang dan menghalangi niat mereka untuk membunuhi para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar."
Kembali Thian Te Siankouw menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mempunyai urusan dengan dendam atau pun pemberontakan. Biar mereka yang berkepentingan saja yang mengurusnya."