Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 87

NIC

Dalam hati In-tiong-yan tertawa getir: "Meski luas bumi dan langit ini dimana tempatku meneduh? Apa boleh buat meski tiada rumah untukku menetap lebih baik kelana saja di Kangouw, hidup demikian jauh lebih bebas lebih leluasa untuk bergerak sesuka hati."

Dia berjalan seiring dengan arah keempat kuda tunggangan tadi, sangkanya pasti keempat penunggang kuda itu bakal balik kembali, namun diluar dugaan, sepanjang jalan yang dilalui ini seorangpun tidak pernah ditemuinya.

Tanpa punya tujuan In-tiong-yan melanjutkan kedepan, bila sampai ditempat-tempat yang indah panoramanya tentu ia berhenti untuk menikmati alam semesta, langkahnya enteng dan kehendaknya bebas seenaknya. Begitulah ia melanjutkan perjalanan tanpa tujuan, kira-kira tiga hari kemudian tibalah dia disuatu tempat, tiba tiba didengarnya derap langkah kuda yang dibedal kencang, dapat dilihatnya didepan mana jauh sana debu mengepul tinggi, In-tiong-yan memasang kuping dengan cermat, tahu dia bahwa yang datang ini adalah empat penunggang kuda yang hebat dibawah gunung tempo hari.

"Akhirnya mereka kembali juga, tapi tiga hari kemudian baru menyerah berbolak-balik, mungkin tujuannya bukan aku lagi." Demikian pikir In tiong yan hatinya menjadi ketarik ingin ia melihat siapa sebenarnya keempat penunggang kuda ini. Tapi keempat penunggang kuda itu mendadak membelokkan tunggangannya kearah sebuah jalan kecil terus dibedal pula dengan pesat. Karena debu mengepul tinggi, In tiong yan hanya melihat samar samar saja sehingga tidak diketahui siapa mereka sebenarnya.

Tatkala itu cuaca adalah menjelang senja, setelah melakukan perjalanan pula beberapa lama dilihatnya didepan sana sebuah kota kecil akhirnya ia memasuki kota dan menginap disini.

Disalah satu penginapan dilihatnya seorang pelayan sedang menuntun masuk kedalam kandang keempat ekor kuda, keempat kuda itu sama berbulu putih dan bertubuh tinggi kekar, selayang pandang cukup bagi In tiong yan untuk menilai bahwa keempat ekor kuda itu adalah kuda jempolan dari luar perbatasan.

"Mungkinkah tunggangan keempat orang itu?" demikian batin In tiong yan.

Tengah ia membatin, betul juga lantas didengarnya dari dalam sana seseorang berseru memberi pesan kepada pelayan itu, "Keempat kuda kita ini harap Siauko suka memberi makan rumput yang kenyang dan menyikatnya sampai bersih. Besok pagi pagi kita akan melanjutkan perjalanan."

Memang ln tiong yan hendak mencari penginapan segera ia masuk kedalam, tanyanya kepada Ciangkui (pemilik hotel), "Adakah kamar yang baik?" sebagai seorang yang menyayangi binatang terutama kuda yang bagus diwaktu memasuki penginapan dan melewati kandang kuda tak urung ia berpaling beberapa kali.

Pemilik hotel sedang bicara dengan seorang laki laki pertengahan umur melihat perempuan cantik molek macam In-tiong yan mencari penginapan tak terasa ia jadi melongo heran.

Pemilik hotel ini berontak cerdik dan hati hati sekali, ia berpikir nona muda yang berparas demikian cantik keluyar keluyur diluaran tanpa seorang teman pun mungkin bukan perempuan baik baik. "Rampok perempuan, aku tak berani mencari perkara padanya seumpama bukan begal tunggal perempuan mungkin perempuan yang minggat dari keluarganya, betapapun aku bakal kena perkara hukum."

Bagi terkaan pemilik hotel, asal usul In tiong yan tidak lepas dari dua dugaan, kalau bukan begal perempuan tentulah anak gadis orang yang minggat mencari gendaknya. Tanpa merasakan ia mengurutkan kening dengan cermat ia mengamati In-tiong yan sahutnya: "Maaf nona, penginapanku yang kecil ini sudah penuh. Jangan kata kamar bagus yang paling sederhana juga sudah tiada!"

In-tiong yan rada kecewa soalnya kota kecil ini hanya punya sebuah hotel ini saja. Karena kecewa ia menjadi uring uringan, desaknya: "Apa betul? Wah sungguh jelek nasibku!"

Mendengar nada orang rada curiga akan keterangannya segera pemilik hotel menambahkan: "Buat apa aku menolak kau ada penghasilan masa tidak akan kami terima? Kalau tidak percaya nona kau tanyakan tamuku itu."

Tak terduga laki laki pertengahan itu tiba tiba menyela bicara: "Nona, kamar yang aku tempati justru kamar baik boleh kuserahkan sebuah kamar pada kau!"

"Mana boleh begitu," ujar In tiong yan kikuk, "Biar aku mencari penginapan lain saja, jangan menyulitkanmu."

"Tidak menjadi soal, kami semua berempat tanpa membawa keluarga tidur saling berhimpitan tidak mengapa. Orang sering berkata berada diluar kalau memberi kesempatan orang lain berarti memberi keleluasaan pada hati sendiri pula. Nona, kau jangan sungkan sungkan lagi," demikian laki laki pertengahan itu berkata simpatik.

Adalah pemilik hotel malah yang menjadi tersipu sipu, katanya, "Nona ini hendak mencari tempat lain apalagi kalian berempat...." Sebelum ia bicara habis laki laki itu sudah menyeretnya kesamping, katanya berbisik: "Kau kuatir kita tidur berempat berhimpitan dan tidak leluasa bukan? Kalau begitu kau berikan pula dua kamar disamping sana yang masih kosong itu kepada kami! Aku telah membantu kau menghilangkan kerugiannya tahu tidak? Jangan kau tidak tahu diri apa perlu kubongkar kebohonganmu dihadapannya?'' pemilik hotel jadi bungkam dan tak berani banyak bacot lagi terpaksa ia manggut menyetujui.

Walaupun laki laki itu bicara dengan lirih tapi dengan lwekang In-tiong yan yang tinggi itu ia dapat mendengar dengan jelas, timbullah rasa curiganya, pikirnya: "Walau pemilik hotel ini cukup kurangajar tapi dia menolak diriku menginap disini karena punya alasannya sendiri karena tidak mengenal asal usulku, sebaliknya laki laki itu sudi memberikan kamarnya kepadaku, entah bermaksud baik atau punya tujuan buruk? Tapi akupun tidak perlu takut pada mereka."

Sementara mereka sedang bicara, tiga laki laki yang lain tampak keluar dari kamar. Laki laki pertengahan umur itu segera menjelaskan, "Nona tiada tempat untuk menginap, aku berkeputusan hendak memberikan sebuah kamar kepadanya!"

Ketiga orang itu mengiakan bersama: "Ah, tak menjadi soal, kan sudah seharusnya saling bantu. Dan lagi kami tak membawa perbekalan apa apa, gampang untuk dicangking kesebelah."

Pemilik hotel menimbrung bicara: "Sewa kamar kalian sudah bayar, apakah harus kuambilkan?"

"Tidak perlulah," sahut salah satu dari ketiga orang itu.

Tapi In Tiong-yan tak mau menerima kebaikan orang mentah-mentah, seenaknya ia mencomot keluar sebutir emas dan terus diangsurkan kepada pemilik hotel katanya: "Kacang emas ini mungkin seharga beberapa tail perak kelebihannya boleh tak usah dikembalikan!" Bisanya bagi yang kelana pada kangouw berpantang mengandal harta benda punya sendiri tapi In-tiong-yan memang sengaja berbuat begitu untuk mencoba keempat laki laki itu, apakah mereka dari golongan hitam. Bagi pemilik penginapan dalam sebuah kota kecil, kapan pernah melihat tamu yang begitu royal mau mengandal uang, dalam hati ia berpikir lagi, "Seumpama dia adalah begal perempuan, apa pula peduliku. Mas murni yang tulen ini setelah masuk kantong masakan aku lempar pula?'' Setelah menerima pembayaran yang berkelebihan ini terbuka lebar tawa sipemilik hotel, katanya berseri, "Nona kau ingin makan dan minum apa? silahkan pesan saja. Meskipun warungku kecil, dan tiada makanan berharga, kami akan berusaha mempersiapkan hidangan yang paling lezat."

"Sudah jangan banyak repot, aku hanya ingin makan sayur mayur yang segar saja."

Melihat In-tiong-yan mengudal biji kacang mas, keempat orang itu seketika berobah air mukanya, tampak mereka sangat heran, tapi tiada satu pun yang buka suara. Seorang yang paling muda diantara mendahului masuk kedalam memindahkan barang perbekalannya lantas mempersilahkan In-tiong-yan masuk. Semula In-tiong-yan menyangka mereka bakal bicara basa-basi dengan dirinya, siapa tahu mereka bungkam saja tanpa menanyakan she dan namanya.

Setelah makan malam lantas In tiong yan merebahkan diri tanpa ganti pakaian lagi. Sambil merebahkan diri, pikirnya melayang: "Siapakah orang orang ini? Aku mengeluarkan uang mas tapi melirikpun tidak, kelihatannya bukan bangsa perampok yang mata duitan. Tapi aku harus tunggu sampai nanti malam baru bisa tahu." lalu terpikir pula olehnya, "Seumpama benar mereka adalah golongan hitam, bisa memiliki kuda kuda jempolan sebagai tunggangan tentu mereka bukan rampok sembarang rampok. Mungkin mereka punya incaran lain yang lebih besar lebih gemuk, sudah tentu sebutir uang mas yang berharga beberapa tail perak itu tidak menjadi perhatian mereka."

Kedua kamar yang masing masing mereka tempati kebetulan berhadapan satu sama lain, kuatir keempat orang ini tengah malam nanti menggerayangi dirinya sudah tentu In tiong-yan tak berani tidur nyenyak. Tunggu punya tunggu tahu-tahu sampai kentongan ketiga tiba-tiba didengarnya lapat kamar sebelah ada suara bisikan dari pembicaraan mereka.

Keempat orang itu tidur berjajar diatas ranjang dan bicara berbisik dipinggir telinga tapi mereka tidak tahu bahwa ln tiong-yan justru unggul dan mahir Ginkangnya, bagi seorang tokoh yang lihay Ginkangnya, penglihatan mata dan pendengaran kupingnya tentu sangat tajam, meskipun mereka bicara bisik-bisik namun In tiong yan dapat mendengar pembicaraan mereka dengan jelas.

Terdengar salah seorang dari mereka tengah bicara: "Samte, apakah kau kepincut pada perawan sebelah itu? Memang keayuan gendak itu luar biasa dan sukar dicari bandingannya dikolong langit ini!"

Sambil meraba gagang pedangnya, In-tiong-yan berpikir : "Wah bila mereka adalah maling pemetik bunga (maling cabul) terpaksa malam ini aku harus tumpas dan membunuh mereka."

Tak tahunya jalan pikirannya menyimpang dari kenyataan.

"Samte" yang dimaksud tadi adalah laki-laki yang memberikan kamarnya itu kepada In-tiong-yan, terdengar suaranya menyahut : "Toako, kenapa kaupun mencurigai aku ? Masakah Siauwte mau orang macam begitu yang rendah martabatnya ?"

Orang yang dipanggil Toako itu berkata, "Dapat melihat bisa menilai, adalah jamak kalau kau ketarik pada gendak ayu itu, itupun tidak melanggar kesusilaan. Tetapi sebenarnya gendak ayu itu memang rada aneh dan mencurigakan, kau harus hati-hati terhadapnya."

Samte itu menyahut; "Toako tadi kan sudah kukatakan aku mengalah memberikan kamar toh karena ingin membantu sekedar kesulitan orang, adalah apa bila aku mempunyai tujuan lain. Besok pagi-pagi kita boleh berjalan kearah masing-masing tidak saling sentuh atau menyinggung kenapa pula aku harus hati-hati?"

"Tapi Toakopun bermaksud baik," demikian ujar Samte. "Adanya petunjuk Toako sungguh membuat siauwte banyak tambah pengalaman. Rasanya sudah terlambat bila aku nyatakan terima kasihku sekarang. Mana aku menjadi marah atau dongkol, tapi Toako mengatakan nona itu aneh dan mencurigakan, entah kemanakah maksud juntrungannya?"

"Masa kau belum melihatnya bahwa dia pun orang kalangan persilatan?'' tanya sang Toako.

"Benar," sela seorang lain. "Dia membayar uang mas sebagai uang perak, sembilan puluh persen tentu dia dari golongan hitam."

"O," Samte itu bersuara lagi. "Jiko jadi kaupun mencurigai bahwa dia sekomplotan dengan Liu Sam nio?"

"Kemungkinan Liu Sam nio sendiri belum tentu lebih unggul dari genduk ayu itu," demikian sahut sang Jiko, maksudnya bahwa gadis remaja dikamar sebelah ini pasti bukan sekomplotan dengan Liu Sam nio.

"Kau toh belum melihat ia pernah menunjukkan kepandaiannya, dari mana kau dapat tahu ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari Liu Sam nio," demikian sela orang keempat yang sejak tadi tetap bungkam.

"Masa perlu turun tangan lagi, dilihat dari kilatan matanya sudah cukup!" demikian sang Jiko menjelaskan, "biji matanya tampak berkilatan dan berwibawa, terang membekal Lwekang yang cukup matang. Sebaliknya Liu Sam nio hanya mahir dalam menggunakan pisau terbangnya, menurut apa yang kutahu hakikatnya dia belum pernah berlatih Lwekang."

Mencuri dengar dari tempatnya tidur, bercekat hati In-tiong yan, pikirnya: "Pandangan orang ini jitu betul, didengar dari pembicaraan mereka, agaknya mereka dari golongan lurus." teringat bahwa dirinya mencurigai pihak orang demikian juga pihak sana sedang mencurigai dirinya pula tak terasa ia tersenyum geli sendiri.

Posting Komentar