Namun titik hitam dan putih bagai kunang kunang meluncur cepat, begitu cepat sampai sulit diikuti pandangan mata biasa, Begitulah mereka berlari-lari kencang seperti mengejar setan.
Satu jam kemudian, jarak yang mereka tempuh tidak kurang sejauh puluhan li, Jauh di depan sana terbentang sebuah hutan belantara yang gelap pekat, rontok dedaunan begitu tebal hampir satu kaki tingginya, mengeluarkan hawa busuk yang lembab menutuk hidung.
Mendadak kelihatan bayangan hitam itu menggunakan gaya Ham-ya-to lio ( burung gagak hinggap dalam hutan ), cepat sekali tubuhnya meluncur turun hinggap diatai tanah diluar hutan ia berpaling muka sambil menggape, tanpa bersuara tubuhnya lantas menyelinap masuk kedalam hutan dan menghilang.
Seluruh tenaga sudah dikerahkan namun tak mampu mengejar orang, Giok-liong sudah uring uringan dan dongkol, melihat orang menggape tangan, maka tanpa ayal lagi segera ia mengejar mengikuti jejaknya.
Udara dalam hutan belukar ini terasa rada hangat, daun melayang berjatuhan, sekelilingnya sunyi senyap, sedetik saja bayangan hitam itu sudah menghilang jejaknya.
Sekarang bayangan hitam itu, tanpa banyak peduli yang lain begitu mengempos semangat ia terus menubruk maju lebih dalam Iagi, beruntun ia berloncatan beberapa kali, mendadak pandangan matanya menjadi terang, pemandangan yang dihadapi sekarang berubah sama sekali, membuat orang seakan-akan tenggelam dalam impian kayal belaka.
Pohon Yangliu meliuk melambai dihembus angis, Pohon dan rumput hidup subur menghijau, rada jauh di sebelah depan terlihat beberapa bangunan gubuk bambu dari anyaman alang-alang.
Disekeliling bangunan gubuk itu, tumbuh berbagai kembang yang tengah mekar semarak, indah warnanya harum baunya.
Didepan pintu tak jauh dari sederetan pohon Yangliu mengalir sebuah sungai dengan airnya yang jernih.
Dalam sungai ada beberapa ekor angsa tengah berenang dengan suka ria.
Di pinggir sungai sebelah kiri menonjol keluar meninggi sebuah tonggak batu yang halus mulut menjolor keatas air setombak lebih.
Diatas tonggak batu mulus inilah duduk seorang laki-laki berpakaian seperti petani, sebelah tangannya memegang sebuah joran panjang, sedang tangan yang lain memegang se
Jilid buku tengah membaca dengan asyiknya.
Waktu itu Giok liong masih berada dipinggir hutan rindang, terpaut lima enam tombak dari deretan pohon Yangliu.
Melihat pemandangan seperti didunia lain, seketika timbul hayalan seperti didalam impian belaka.
Rasa dongkol dan uring uringan tadi kini tersapu bersih dari benaknya.
Melihat kebebasan dan sentosa kehidupan petani yang asyik masyuk membaca buku itu, timbul rasa ketarik dan memuji akan kebesaran hidup dalam alam yang tenang ini.
Dikebutnya lengan baju membersihkan kotoran yang melebar diatas badannya lalu pelan-pelan ia melangkah maju.
Petani pertengahan umur itu seolah olah tidak melihat atau mendengar akan kehadirannya.
Sampai Giok-liong sudah melewati gubuk bambu dan sampai dipirsggir sungai berdiri di belakangnya, dia masih tetap duduk tenang membaca bukunya tanpa bergerak.
Sejenak kemudian joran yang terulur masuk kedalam air kelihatan bergerak dan ketarik masuk kedalam air, terang bahwa kailnya sudah berhasil dimakan ikan.
Akan tetapi saking asyik, si petani membaca buku sedikitpun ia tidak merasakan akan hal ini.
"Ikannya sudah kepancing!"
Tak terasa mendadak Giokliong berseru.
Tanpa melirik atau bergerak petani itu tetap tenggelam dalam bacaannya, mungkin seumpama geledek berbunyi di pinggir telinga-nya.
Air dalam sungai bergejolak, joran panjang ini ikut bergerak timbul tenggelam, terang sang ikan tengah meronta dalam air.
"Ikannya sudah kepancing, kenapa ....."
Tak tertahan lagi Giok-liong berseru pula.
Baru sekarang petani pertengahan umur itu angkat kepalanya, sekilas ia melirik kearah Giok-liong, tapi cepat cepat matanya tertuju kepada bukunya lagi, joran yang dipegangnya itu sedikit digentakkan keatas.
Seekor ikan gabus besar kontan meletik keluar air, ikan itu cukup besar dan berwarna merah mas berkilat terus meronta ronta diatas joran.
Sekarang petani pertengahan umur meletakkan buku di belakang duduknya, sepasang matanya menatap takjup kearah ikan yang meronta roma itu seolah-olah tengah menikmati suatu hasil karya yang sangat berharga dengan tekun dan sesama ia mengawasi terus.
Sekian lama ikan gabus itu meronta-ronta mendadak sekali loncat "Plung"
Ia terlepas dari kail panjang itu terus kecemplung pula kedalam air, ekornya lantas bergoyang dan berenang dalam air dengan senangnya, dilain kejap lantas selulup untuk menghilang.
"Hahahahaha!"
Petani pertengahan umur bergelak lantang, suara tawanya tajam berat bagai tajam golok mengiris kulit, ujarnya keras.
"Kupancing kaulalu kulepas kembali untuk bebas, Kelak tergantung kepada keberuntunganmu sendiri! "habis berkata seenaknya saja ia tancapkan joran ditaagannya itu diatas batu tonggak yang keras itu. Haruslah diketahui batu tonggak besar dimana ia duduk adalah batu-batu pualam pilihan yang kerasnya melebihi besi baja, joran kecil baja bila orang biasa mana mampu menancapkannya kedalan batu itu, dapatlah diperkirakan betapa tinggi lwekang orang ini pantas bukan sembarang tokoh kosen. Tapi saat mana Giok-liong telah tenggelam menerawang kata-kata petani pertengahan umur barusan sedikitpun ia tidak perhatikan joran yang tertancap diatas batu itu. Pelan pelan petani pertengahan umur itu bangkit berdiri, baru sekarang ia mengamati amati Giok-iiong sekian lama acuh tak acuh ia berkata.
"Bukankah saudara adalah Kim-pitjan- hun Ma Giok-liong yang menggetarkan dunia persilatan itu?"
Giok liong tersentak dari lamunannya hatinya berpikir.
"Petani pengasingan ini dari mana dapat mengetahui kejadian di Kangouw mungkinkah ia seorang tokoh lihay yang mengasingkan diri disini."
Karena pikirannya timbul kewaspadaan dalam benaknya, mulut juga lantas menyahut.
"Aku yang rendah memang Ma Giok liong adanya, Harap tanya tempat ini ... ."
Sorot mata petani pertengahan umur sentak berubah dingin, demikian juga air mu kanya nendadak memancarkan sinar yang aneh seperti cahaya benda benda pusaka yang kemilau, Tajam sinar matanya menjadikan Giok-liong tidak berani beradu pandang, Rada lama kemudian baru tercetus perkataannya.
"Apa kau tidak takut?"
"Aku yang rendah tidak tahu tempat apakah ini?"
"Kalau begitu kau adalah ikan yang terpancing masuk ke sini !"
Hahaha !"
Gelak tawanya ini entah mengandung maksud apa yang terang nada gelak tawa ini cukup menusuk telinga Giok-liong sehingga badan terasa risi.
Tanpa menghentikan gelak tawanya dengan langkah kekar petani pertengahan umur beranjak turun ke pinggir sungai, lalu ujarnya.
"Mari ikut aku!"
Kalau dilihat langkahnya beda dengan langkah manusia umumnya, tapi sedikitpun tidak meninggalkan jejak diatas tanah, Tapi dalam sekejap saja ia sudah berjalan jauh melewati deretan pohon yang liu itu tujuh tombak lebih.
Angin yang kencang menderu, tiba tiba petani itu membentak bertanya .
"Apakah kau pernah lihat permainan ini?"
Sesaat Giok-hong mengingat-ingat, lalu geleng kepala sambil tertawa pahit, katanya.
"Aku yang rendah belum pernah lihat."
"Belum pernah lihat?"
Giok-liong mengiakan.
"Apakah tidak pernah dengar ?" "Juga belum !"
"Coba keluarkan Seruling samber nyawamu."
"Untuk apa ?"
"Akan kubuat kau berkenalan dengan senjataku ini"
"Tar!"
Tanpa menanti penyahutan Giok-liong, ia sudah teriakan pecutnya itu menjadi bayangan rapat yang melibat dirinya sehingga timbuI kesiur angin dingin tajam yang merangsang.
Belum lagi kelihatan kaki petani pertengahan umur bergerak, bayangan pecut itu sudah mengurung dan mengekang seluruh tubuh Giok-liong di tengah lingkaran pecut.
Baru sekarang Giok-liong tersentak sadar, cepat-cepat ia kembangkan Ginkangnya mengejar kedepan.
Dikejap lain petani pertengahan umur itu sudah memasuki salah sebuah gubug bambu itu, lalu melompat keluar pula berdiri diatas rerumputan yang subur menghijau, Kini tangannya sudah menyekal sebatang pecut panjang warna hitam yang mengkilap.
Pecut panjang ini seperti terbuat dari kulit tapi bukan kulit, seperti besi juga bukan besi, tapi juga tidak seperti menjalin, seluruh panjang pecut ini kira kira ada sembilan kaki dalam warna hitamnya itu lapat-lapat terpancar cahaya merah darah.
"Tar!"
Begitu petani pertengahan umur menghentakkan pergelangannya pecut panjang itu melccut tinggi ketengah udara ber-bunyi nyaring.
Begitu keras dan lincah sekali seperti seekor ular hidup, berputar lincah tiga kali ditengah udara, lalu laksana ular sanca yang galak seiring dengan kesiur itu.
Dari delapan penjuru angin terasa adanya deru angin laksana hujan badai dengan kekuatan dahsyat seperti guntur menggelegar.
Giok-liong menjadi keheranan seraya garuk garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya .
"Untuk apakah kau ini?"
"Untuk apa ?"
Petani pertengahan umur mendengus, lalu katanya lagi.
"Hm, sudah kukatakan tadi, untuk menjajal kepandaianmu !"
"Aku yang rendah baru pertama kali bertemu . .
"
"Baik, kuberitahu supaya kau jelas ! Pecut panjang di tanganku ini adalah senjata terampuh dan paling berbisa dari sembilan senjata sakti beracun itu. Yaitu Sip-hian pian (pecut penyedot darah) yang sudah menggetarkan Bulim selama ratusan tahun, tahu ?"
"Pecut pengisap darah ?"
Bergidik tubuh Giok-liong, matanya seketika tertuju kearah pecut hitam tanpa berkedip.
Pecut pengisap darah adalah salah satu dari sembilan senjata beracun paling ganas di dunia ini, Pecut ini dianyam dari urat-urat binatang sebanyak tujuh macam.
Pada tiga ratus tahun yang lalu oleh Pek-tok-thoan-hun Kiong Ang telah direndam selama tiga belas tahun dalam obat beracun yang dinamakan Pek-hong jian-lok lalu bagian luarnya dibalut dengan Pek-chio-jiao (getah ratusan rumput) sehingga menjadi semakin keras dan ulet melebihi baja murni.
Meskipun ditabas dengan pedang atau golok pusaka yang tajam sekali, sedikitpun takkan dapat membuatnya cidera.
Kehebatan pecut ini bukan hanya sampai disitu saja, karena direndam dalam air beracun dengan sendiri pecut ini menjadi sangat ganas dan berbisa, manusia siapa saja sekali kena terpecut meskipun kulitnya tidak terluka, darah dalam tubuhnya juga bisa terhisap oleh racun dari pecut berbisa itu.
Apalagi kalau berturut tiga kali kena terpecut seluruh darah dalam tubuh orang itu pasti terhisap habis.
Maka dapatlah dibayangkan kalau orang kena dipecut tiga kali dan darah dalam tubuhnya terkuras habis, apakah orang itu masih bisa tetap hidup ? Memang dari sembilan senjata ganas berbisa, justru pecut penghisap darah inilah yang paling ditakuti, seluruh tokoh-tokoh Bulim begitu mendengar nama pecut yang ditakuti ini, tiada yang tidak akan ketakutan seperti tersentak kaget mendengar guntur di tengah hari bolong.
Demikianlah Giok-liong setelah mengetahui asal usul pecut yang ganas itu, diam-diam ia lantas mengerahkan Ji-lo pelindung badan tapi lahirnya ia masih berlaku tenang, katanya sambil tertawa dibuat buat.
"Kalau begitu jadi Cianpwe adalah Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat Koan-lo cianpwe yang sejajar dengan Suhu pada ratusan tahun yang lalu itu."
"O, siapa gurumu ?"
"Gurultu berbudi orang suka menyebutnya To-ji ...
"
"Kau murid Pang Giok ?"
"Memng Wanpwe ..."