Di tengah gulungan mega putih ini terlihat pula bayangan kepalan tangan bergerak lincah seperti kupu menari sehingga alam sekitarnya menjadi gelap dan remang-remang dengan perpaduan pemandangan yang kontras ini.
Inilah suatu pertempuran antara mati dan hidup antara nama dan gengsi, Keadaan Giok liong sendiri sudah tidak dapat membedakan lagi yang manakah Siau-thian-sin-ju Yap Thong jwan.
Maka tujuan hendak meringkus pentolan dan penjahat untuk di tawan sebagai sandera yang dirancangnya semula menjadi gagal total.
Seperminuman telah berlalu, Meskiputi Lwekang Giok-liong sangat kuat, kalau terus menerus memberondong dengan pukulan yang menghabiskan tenaga tentu hawa murni dalam tubuhnya pasti terkuras habis, Saat sekarang masih rada mendingan masih kuat bertahan lama kelamaan pasti keadaan tidak menguntungkan bagi dirinya.
Lepas dari kekuatiran Giok-liong sendiri adalah serangan musuh semakin gencar malah, lingkaran bundar perak berjalan semakin capat, laksana kicir angin berputar, jalur panah perak melesat dan menerjang kencang bergantian tak mengepal putus.
Akhirnya Giok-liong menjadi nekad dan bertekad untuk turun tangan, timbullah nafsu membunuh menghantui sanubarinya.
Tiba-tiba sinar menyorong keluar, secarik jalur sinar terang melayang tinggi ketengah udara, lima irama seruling berkumandang mengalun tinggi di tengah angkasa.
Laksana keluhan naga seperti auman harimau menggetarkan seluruh alam semesta ini.
Begitulah ditengah kumandang irama musik yang merdu mengasyikkan ini, beruntun terdengarlah pekik dan jeritan yang melengking menyayatkan hati menyedot sukma.
Seketika terjadilah hujan darah, badan manusia melayang dan terkapar malang melintang dan terpental jauh beberapa tombak, sekarang terlihat mega putih mulai kuncup menyaru dan mulai mengembang naik, kabut juga semakin tebal.
Di luar arena bundaran dengan manusia yang berwarna putih perak itu masih terus bergerak dengan lincahnya, namun sudah tidak segesit semula.
Bau amis semakin tebal merangsang hidung, dihembus angin lalu sehingga memualkan.
Terjadilah penjagalan atau pembunuhan besar-besaran.
Lambat laun mayat mulai bertumpuk meninggi, malang melintang tak teratur semakin banyak.
Dahan-dahan pohon sekitar gelanggang menjadi merah karena darah dan banyak kaki tangan atau usus serta isi perut manusia bergantungan disamping batu-batu gunung berserakan pula mayat mayat yang sudah tak keruan rupanya, rumput nan hijau subur juga menjadi basah dan berwarna merah darah bercampur cairan putih dari otak manusia yang kepalanya pecah.
Korban berjatuhan semakin banyak tapi irama seruling semakin merdu dan mengalun lemah mengasjuk sanubari, demikian juga sinar mas berkelebat tak mengenal ampun, dimana sinar mas ini menyamber kontan terdengar jerit pekik yang mendebarkan hati.
Sekonyong-konyong terdengar suara cit-cit bunyi tikus yang keras sekali, suaranya sedemikian pilu mengetuk hati nurani.
Kesiur angin yang ribut seketika sirap bundaran besar putih perak juga lantas berhenti bergerak.
Demikian juga jalur perak panah itu lantas mulai mengendor di lain kejap juga lantas ditarik balik semua.
Ratusan rnanusia aneh macam tikus ini tinggal tiga empat puluh orang saja, semua berdiri mematung lemas lunglai seperti jago aduan yang kalah, Panji kecil yang terpegang di tangan juga melambai turun, mereka sembunyi di belakang Siau-thian-sin ju Yap Thong jwan, semua sudah kehilangan semangat semula yaag menyala dan garang.
Sementara itu, sinar kuning mas juga segera kuncup, demikian juga irama seruling lantas berhenti.
Dengan melintangkan seruling di depan dadanya Giok-liong berdiri tegak sekokoh pohon cemara, Dimana ia berdiri sekitarnya sudah basah kuyup dan dikotori oleh darah dan cairan memutih yang mendirikan bulu roma.
Menyeringai dingin Giok liong berkata sambil menuding mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya dengan potlot luasnya.
"Yap thong-jwan (gangsir malam) inilah hasil karyamu seorang, jangan kau sesalkan aku telah berlaku ganas dan kejam ?"
Tampang yang jelek dari Sian-thian-sin-ju Yap Thong-jwan kini semakin buruk kelihatannya.
Panji kecil ditangannya masih dikibarkan, kedua biji matanya mulai mengembeng air mata, Tapi sikap congkaknya masih terbayang pada wajahnya, desisnya sambil mengertak gigi.
"Yap Thong-jwan tidak becus belajar siiat, terpaksa hari ini aku harus pasrah nasib ?"
Giok-liong menjengek hina.
"Keparat, goblok kau. Kau seorang ini terhitung apa, yang terpenting kau tidak seharusnya mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak berdosa.". Siau-thiao sin- ju Yap Thong-jwan menyeringai bengis.
"Hahahaha ! hehehehe !"
Gelak tawanya seperti orang utan mengeluh panjang, membuat orang merinding dan ber-gidik.
Tanpa pedulikan Giok liong lagi, tiba-tiba ia membalikkan tubuh menghadapi anak buahnya yang masih ketinggalan hidup itu, tiba-tiba ia bersenandung dengan suara tinggi.
"Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi hutan kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran!"
Serentak empat puluh manusia aneh macam tikus itu berbareng berlutut dan menyembah, serempak mulut mereka juga ikut bersenandung .
"Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi, hutan kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran !"
Habis bersenandung mendadak tiga empat puluh manusiamanusia seperti tikus itu membalikkan gagang panji kecil yang runcing itu dimana sinar perak berkelebat "Cras"
Darah lantas menyembur deras beterbangan bagai air mancur.
Empat puluh lebih orang-orang itu sama roboh celentang, setiap dada mereka tertancap sebuah panji kecil segi tiga, kelihatan isi perut mereka dedel duwel bergerak-gerak mengikuti aliran darah yang menyembur keluar.
Tidak kepalang kejut Giok-liong, sekian lama ia kesima mematung di tempatnya, belum lagi ia sadar akan adegan yang dihadapinya ini, Siau-thian sin ju Yap Thong-jwan sudah membalikkan tubuh, terus berlutut di tempatnya lalu menyembah serta berseru lantang.
"Terima kasih akan budi kebaikan Lim-cu !"
"Bles!"
Darah muncrat keluar badannya yang kurus kecil itu seketika roboh terkapar tak bergerak lagi.
"Hidup abadi semangat hutan kematian!"
Terdengar gemboran yang nyaring dingin.
Tahu-tahu diantara mayatmayat bergelimpangan itu kini sudah bertambah satu orang.
Orang ini bermuka panjang warna abu-abu bersemu hitam, sepasang matanya memancarkan sorot tajam berkilat Kedua ku-pingnya caplang dengan jenggot kambing pendek yang awut-awutan seperti sikat.
Tangan kiri cacat sampai disikutnya, sedang tangan kanan membekal sepasang bandulan baja yang kuning berkilau, diputar-putar berbunyi nyaring.
Dengan tajam ia awasi Giok-Hong, mimiknya seperti tertawa tidak tertawa sikapnya sinis mengejek.
Giok-liong menggeser kedudukan mengambil posisi yang menguntungkan, serunya lantang .
"Apalah tuan ini juga anggota dan Hutan kematian?"
Tapi orang itu mengadukan kedua butir bandulannya, lalu sahutnya rendah.
"Kalau aku anggota dari Hutan kematian, mungkin , ..hihihi, hahaha..."
Entah apa maksud tertawa sinisnya ini, yang terang suaranya menusuk telinga tak enak didengar terasa seluruh badan seperti gatal gatal dan menjadi tidak betah.
"Apa maksudmu Tuan?"
"Kau belum paham ?"
Giok-liong mendengus.
"Mari kau ikut aku !"
Lenyap suaranya badan orang itu lantas melompat jauh, betapa cepat gerak tubuhnya ini, selama ini belum pernah pernah Guk-liong menyaksikan Ginkang sehebat itu begitu sebat sekali seperti bayangan setan tahu-tahu bayangan orang sudah lima tombak jauhnya, Naga-naganya Lwekangnya sudah sempurna dalam latihannya.
Tidak kuasa Giok-liong sampai bersuara heran, kuwatir kena jebak dan tertipu lagi, ia berlaku tenang tenang saja tetap berdiri ditempatnya sambil tersenyum tanpa bersuara.
"Wut, bayangan orang itu kembali meluncur datang, jengeknya .
"Kau tidak berani?"
"Kenapa tidak berani ?"
"Kenapa kau tidak mati ikut ?"
"Kenapa aku harus ikut kau ? "Hahaha ! Hahahaha ...
"
Gelak tawa menggila kumandang sekian lamanya, seperti arus sungai besar yang tak putus, tidak tinggi tapi menggetarkan sukma dan menusuk telinga, tidak rendah tapi berat menekan perasaan.
"Tertawa gila apa kau ?" "Kim-pit-jan-hun, kiranya hanya nama kosong belaka !"
"Apa kau menghina ?"
"Kalau seorang laki-laki sejati, menghadapi hutan golok, dan minyak mendidih seumpama harus menerjang kedalam sarang harimau dan rawa naga juga tidak perlu gentar !"
"O, jadi maksudmu aku Ma Giok.liong seorang penakut ?" .
"Kalau bukan takut, kenapa diam saja ?"
"Terlalu, tuan berangkat!"
"Bagus! Ayoh"
Sekarang bayansan putih yang meluncur lebih dulu, sekali berkelebat lantas lewat menghilang, Tapi bayangan hitam agaknya tidak mau ketinggalan melompat memburu dengan kencang melampaui bayangan putih, ditengah udara ia berkata lirih .
"Biarlah aku membuka jalan !"
Giok-liong mengiakan sambil mengerahkan sembilan tingkat Lwekangnya hawa murni ditarik dalam seketika tubuhnya meluncur cepat laksana bintang jatuh mengejar rembulan menerjang awan, laksana luncuran anak panah yang menembus udara.
Tak kira, tiba-tiba terasa dipinggir kupingnya berkesiur angin kencang, ternyata bayangan hitam itu sudah melesat melampaui belum sempat matanya berkedip bayangan itu sudah melayang jauh kedepan lima tombak.
Timbul sipat kekanak-kanakan Giok-liong rasa ingin menang sendiri melingkupi sanubarinya.
Diam-diam ia kerahkan sepenuh tenaga murninya, Leng-hun-toh segera dikembangkan, begitu Lwekang dalam tubuhnya bekerja sampai titik tertinggi tubuhnya melesat semakin cepat.
Akan tetapi besar keinginannya hendak menyusul bayangan hitam di depan dan melewatinya, tak urung usahanya sia-sia belaka tak kurang tak lebih jarak mereka tetap sekian jauh saja, jangan kata hendak mengejar lewat untuk berlari berendeng bersama saja agaknya sulit sekali.
Arah yang mereka tuju adalah sebuah puncak yang menjulang tinggi, keadaan jalan yang mereka lalui semakin belukar dan meninggi serta gelap menyeramkan.