Hujan semakin deras, haripun semakin ge-lap, malam telah meliputi seluruh jagat.
Hanya lencana besi Hutan kematian itulah yang memancarkan sinar dingin berkilau diatas tanah, Saat mana Giok-liong sudah tenggelam dalam semadinya.
Sekonyong-konyong lapat-lapat hidungnya mengendus bau arak dan daging panggang tanpa terasa ia menjadi tertawa geli sendiri, batinnya.
"Agaknya perutku sudah kelaparan! Dalam kelenteng bobrok macam ini mana ada daging dan arak!"
Tapi kenyataan diluar dugaannya, justru bau arak dan daging itu terbaur disebelah badannya.
Tak kuasa lagi Giokliong berjingkrak bangun sambil berteriak kejut ia tak berani percaya, matanya dikucek-kueek memandangi empat macam masakan di sebelah samping kirinya serta sepoci arak, seketika ia berdiri melongo tak habis mengerti.
"Ini dari mana?"
Badannya melenting dan bergerak cepat memeriksa seluruh ruangan kelenteng, hasilnya tetap nihil, Dengan hati-hati ia mencium dan mengendus-ngendus masakan dan arak itu sedikit pun tiada tanda-tanda aneh apa.
Memang perutnya sudah lapar, bau arak daging begitu merangsang lagi seketika timbul selera dan perutnya menjadi berkerutukan.
"Peduli apa, gegares dulu lebih penting!"
Tanpa sungkansungkan lagi ia angkat mangkok dan sumpit yang sudah tersedia terus mulai makan minum sepuasnya. Belum lagi arak di tenggak habis empat macam masakan sudah dikuras kedalam perutnya semua.
"Krak,"
Sebuah suara yang lirih tiba-tiba terdengar di sebelah samping tak jauh sana.
Umpama orang biasa apalagi dalam keadaan hujan lebat yang gemuruh ini tentu takkan mendengarnya, sebaliknya kejelian telinga Giok-liong memang hebat luar biasa, seiring dengan Lwekangnya yang bertambah maju, apalagi hatinya selalu was was dan penuh prihatin, jelas sekali didengarnya suara lirih itu.
Tapi dia pura pura tidak dengar dan bersikap wajar, duduk tenang tanpa bergerak di tempatnya matanya dipicingkaa merem melek, pikiran di pusatkan sambil mengempos semangat, pelan pelan ia melirik kearah datangnya suara itu.
Sekian lama dinanti-nantikan, tanpa terlihat reaksi apa-apa, Baru saja Giok-liong berniat bangkit hendak memeriksa, tiba tiba tidak jauh di sebelah sampingnya sebuah papan bergerak berbunyi, meski sangat halus dan lirih tapi tak dapat mengelabui Giok-liong lagi.
Pelan-pelan papan batu itu terangkat naik menunjukkan sebuah lubang kecil.
Giok-liong tinggal diam-diam saja, matanya dipejamkan pura-pura tidur pulas.
Akhirnya papan bata itu tergeser ke samping, seiring dengan itu dari dalam lubang kecil persegi itu terdengarlah suara aneh yang mendirikan bulu roma seperti teriakan setan laksana dedemit menyeramkan, sungguh mengerikan.
Pelan-pelan dari dalam lubang itu muncul sebuah kepala manusia yang berwajah pucat pias rambutnya awut-awutan matanya mendelik banyak putih dari hitamnya, giginya prongos, bibirnya monyong sehingga dua baris giginya yang putih mengkilap itu terlihat jelas.
Di alam pegunungan yang sepi dalam kelenteng bobrok tanpa penghuni, disaat hujan lebat ditengah malam gelap ini, pertunjukan apa yang dilihatnya ini betul betul mengejutkan dan menakutkan sekali, Betapa-pun tinggi lwekang Giok-liong tak urung ia merasa merinding dan mengkirik juga seluruh tubuhnya menjadi dingin dan basah oleh keringat.
Akhirnya tak tahan lagi ia melompat bangun sambil menubruk maju, kedua tangannya diulur untuk mencengkeram sambil mulutnya membentak .
"Setan macam apa kau ini !"
Begitu sebat gerakan Giok liong, namun belum lagi tangannya sampai.
"Brak"
Tiba-tiba papan batu itu ditarik balik tepat menutup diatas lubang persegi tadi keruan Giok-liong menangkap tempat kosong.
Giok-liong menjadi penasaran sambil berjongkok ia coba mengungkit papan batu itu, namun begini rata dan dan halus tanpa sedikit lubangpun sehingga tangannya tak kuasa mengangkatnya keluar.
Saking gemes ia bmgkit dan menginjak dengan keras tapi papan batu itu demikian keras sedikitpun tak bergerak, hanya suaranya saja yang terdengar mendengung dibawah sana, terang dibawahnya adalah lubang kosong, tapi apa iagi yang dapat diperbuat.
"Wut"
Sekonyong-konyong sebuah benda warna putih lebar melayang masuk dari luar pintu langsung menungkrup keatas badan Giok-liong.
"Celaka"
Giok-liong berseru kejut, gesit sekali kakinya menggeser kedudukan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat tujuh kaki ke samping, sebelum tahu benda apa yang menyerangnya ia tak berani sembarangan menyentuh.
Tidak tahu benda putih besar itu dengan ringan sekali melayang jatuh ketanah tanpa mengeluarkan suara.
Baru sekarang Giok liong mengelus dada lega, tapi juga dongkol dan malu.
Kiranya itulah mantel luarnya yang hilang tadi, kini sudah menjadi kering dan dilempit dengan rapi sekali, Orang itu menggunakan Tay~lik ciu-hoat melemparkan ke dalam biara.
Menurat gelagat yang dihadapi ini Giok-liong menjadi serba aneh, tak tahu lawan atau kawankah orang yang mempermainkan dirinya ini.
Tapi betapapun Giok-liong menjadi penasaran dan dongkol.
Sebab secara terang-terangan telah dimainkan, ini menunjukkan ketidak becusan dirinya, juga menunjukkan betapa tinggi kepandaian silat orang tersembunyi itu, bukan melulu karena gerak geriknya yang serba misterius saja.
Kejadian yang beruntun ini betul-betul memusingkan kepala.
menghidangkan makanan, mengeringkan mantelnya ini boleh dikata merupakan penghormatan yang sangat perhatian terhadap dirinya.
Hal inilah yang menjadikan Giokliong sukar mengumbar kedongkolan hatinya, walaupun perbuatan orang ini seakan mempermainkan dirinya, tapi ia tak berhasil menemukan orang yang main guyon guyon dengan dirinya dengan sendirinya ia menjadi uring-uringan sendiri.
Waktu itu, hujan sudah mulai mereda dan tak lama kemudian udara menjadi cerah.
Sinar bulan purnama menembus masuk melalui celah celah lubang atap yang sudah ambrol langsung menyinari kedalam ruang sembahyang tengah ini.
Kini Giok-liong memperoleh akal, terlebih dulu dipakainya mantel putihnya, lalu dari tangan patung pemujaan ia lolos keluar senjata tombak yang sudah berkarat itu, dengan langkah lebar ia menuju kearah lubang tadi, dengan tepat ia incar batu papan tadi lalu mencongkel dengan sekuat tenaga.
Saking bernafsu dan besar tenaga yang dikerahkan batu papan ita sampai mencelat tinggi dan jatuh gedebukan sejauh setombak lebih Kini diatas lantai terlihat sebuah lubang sebesar tiga kaki persegi.
Didalam sana hitam pekat, tak kelihatan ada undakan atau tangga, waktu melongok kebawah keadaan begitu gelap sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan Tapi berkat kepandaian tinggi Giok liong tidak takut sedikitpun, terlebih dulu ia sodorkan tombak ditangannya kedalam lalu ia sendiri juga lantas melompat turun kedalam.
Badannya terasa sekian lama meluncur turun tak mencapai ujung pangkal.
Tiba-tiba kakinya terasa menginjak tempat empuk dan panas.
seketika percikan api beterbangan disertai abu mengepul mengotori seluruh tubuhnya.
Ternyata tepat sekali ia jatuh diatas gundukan bara api yang belum padam, keruan Giok-liong mencak-mencak kepanasan sehingga seluruh tubuh semakin kotor oleh abu.
Lubang goa ini tidak besar, kira-kira tiga tombak luasnya berbentuk bundar, Di-ujung sebelah sana terlihatlah muka pucat pias dengan rambut awut-awutan, di atas kepala yang menongol keluar lubang tadi, mulutnya yang prongos itu memperlihatkan giginya yang berbaris rapi sangat menakutkan.
"Kunyuk, malu setan menjadi dedemit apa segala, lekas keluar!"
Demikian dengan berang Giok liong membentak dua kali, tapi tanpa mendapat penyahutan, muka itu tetap tertawa tidak tertawa menyeringai giginya yang memutih itu.
Amarah Giok liong semakin memuncak, sekali loncat ia melejit maju lebih dekat terus mengulur tangan mencengkram, mulutnya tidak tinggal diam membentak.
"Disuguh arak kehormatan tidak mau malah minta digebuk !"
"Heh!"
Kata-katanya diakhiri dengan seruan kejut, kiranya yang dihadapi bukan manusia melainkan sebatang dahan pohon yang digantungi kedok muka yang menakutkan itu.
Goa ini lengkap terpenuhi segala perbekalan untuk makan minum, tapi dari jumlahnya dapat diperkirakan bahwa tempat ini bukan tempat tinggal abadi, mungkin hanya tempat persembunyian darurat belaka.
Terbukti dari bau apek yang masib merangsang hidung memualkan, pelan-pelan diambilnya sebatang dahan sebagai obor untuk meneliti keadaan sekitarnya.
Disebelah kanan sana ada jalan keluar yang menyelusuri sebuah lorong panjang, pelan-pelan ia menggeremet maju.
Semakin jauh tanah dibawah kakinya terasa semakin basah lembab, tanahnya juga semakin menanjak keatas.
Kira-kira tujuh tombak kemudian ia sudah sampai pada ujung gua, disebelah atas terlihat sebuah lubang bundar dan terlihatlah langit yang biru kelam ditaburi bintang-bintang yang kelap kelip, tinggi lubang gua itu ada lima tombak, terlebih dulu Giok-liong lontarkan tombak ditangannya keatas untuk menghindari pembokongan orang diluar, setelah didengarkan seksama tiada suara apa-apa baru ia melompat naik, keluar dari lubang gua yang lain.
MuIut dari lubang gua ini adalah sebuah sumur kering yang terletak di belakang biara bobrok itu.
Beribu berlaksa bintang berkelap-kelip diangkasa raya, udara keras angin menghembus sepoi menyegarkan badan membangkitkan semangat semalam suntuk Giokliong tidak tidur barang sebentarpun meskipun tidak ngantuk tapi rada penat juga.
Bayang-bayang pohon bergerak terdengarlah getaran angin berkesiur.
Tahu-tahu delapan orang berpakaian abu abu entah dari mana sudah meluncur dekat disekitarnya tanpa mengeluarkan suara serempak mereka membungkuk hormat seraya berkata.
"Liong-tong Tecu, mendapat perintah menunggu disini sekian lama."
Karena diluar dugaan Giok-liong sampai tersentak kaget, dari cara berpakaian mereka serta rambut panjang yang terurai melambai terhembus angin malam, serta expresi wajahnya yang dingin kaku dengan jubah panjang yang kedodoran menyentuh tanah, hatinya menjadi muak dan sebal.
"Jadi kalianlah yang berlagak setan mempermainkan aku ya !"
"Hamba beramai tidak berani !" "Kejadian didalam lubang dalam biara sana, kalau bukan perbuatan kalian lalu perbuatan siapa ?"
"Ah, bukan, bukan hamba yang melakukan !"