Sekuatnya Hoan Ji-hoa merangkak bangun menggelendot di pundak putrinya, selangkah demi setindak maju kehadapan Giok-liong yang mematung itu. katanya dengan napas memburu.
"Ma Tay-hiap, kalau kau hendak memusnahkan Hwi-hun-san cheng, sekarang inilah saat yang paling baik, setelah detik ini kelak kau jangan menyesal."
Pandangan Giok-Iiong mendelong memandang ke arah jauh sekejappun ia tidak berkata-kata. Terdengar suara batuk batuk serta langkah berat Hwi-hunchiu Coh Jian kun pelan pelan berjalan keluar dengan sekuatnya, serunya menyambung.
"Benar, selama puluhan tahun ini, aku Coh Jian-kun belum pernah mengikat permusuhan dengan tokoh Bulim siapapun ! Tapi, Ma Tayhiap, tak kira aku harus terjungkal di tanganmu."
Lekas-Iekas Coh Ki-sia memburu maju membimbing ayahnya, air mata mengucur tak tertahan lagi. Kata Coh Jian-kun lagi.
"Hari ini, kita suami istri serta putri tunggalku berada di arena. Kalau saat ini kau tidak sekalian membereskan kita, perhitungan ini selamanya akan kuresapi dalam sanubariku begitu ada kesempatan pasti kucari kau !"
Betapa sedih perasaan Giok-liong sulit dilukiskan dengan kata-kata, seumpama seorang bisu yang menelan empedu (rasanya pahit), ada maksud bicara tapi tak bisa ber-kata, pelan-pelan ia berkata suatanya serak sembetj "Pa ... man..."
"Tutup mulutmu !"
Mata Coh Jian-kun mendelik besar bentaknya.
"Seumpama To ji Pang Giok sendiri bakal membela kau, dendam sakit hati ini selama aku masih hidup bersumpah harus ku balas."
Begitu bernafsu ia bicara sehingga amarahnya memuncak, apalagi luka-lukanya belum sembuh seketika ia memuntahkan darah segar lagi, badan juga terhuyung hampir roboh.
Keadaan Tam kiong-sian ci Hoan Ji hoa juga rada payah, namun melihat keadaan suaminya lekas-lekas ia memburu maju saling berpegangan, ibu beranak memayang dari kiri kanan serentak mereka bersuara bersama.
"Sudahlah tak perlu banyak mulut lagi!"
Giok-liong mengawasi saja tak bisa berbuat apa-apa, rasa hatinya semakin mencekam, katanya pelan-pelan.
"Terang kalian tidak memaafkan aku, dan memberi kesempatan supaya aku menjelaskan untuk membela diri, Tapi mas murni tetap mas murni, kenyataan tetap kenyataan aku juga tidak perlu khawatir, akan datang suatu hari semua ini dapat dibikin beres dengan terang duduk perkaranya, semua ini hanya salah paham melulu, terserah kau mau percaya!"
Kata terakhir terang ditujukan kepada Coh-ki sia malah tangannya juga menunjuk kearahnya. Akan tetapi jawaban yang ia dengar tetap jengekan menghina yang dingin .
"Hm, salah paham !"
Tam-kiong sian-ci Hoan Ji-hoa berkata.
"Kita akan segera pulang!"
Giok-liong tertawa getir, katanya apa boleh buat.
"Silakah ! Aku Ma Giok-liong pasrah nasib saja."
Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun menggeleng kepala, ujarnya .
"Selama hidup ini takkan kulupakan, peristiwa hari ini kuharap Ma Siau-hiap juga selalu ingat akan hal ini, mari!"
Saling berbimbingan mereka bertiga beringsut keluar dari hutan lebat ini.
Mengantar kepergian bayangan mereka tak tahu Giok-Iiong perasaan harinya getir atau pahit, tak terasa air matanya mengembeng terus menetes membasahi pipinya.
Dia bertanya kepada dirinya sendiri - "Apakah sudah suratan takdir hidupku ini penuh penderitaan sehingga setiap orang yang bertemu berkumpul dengan aku selalu mengalami bencana atau penderitaan ? Kalau tidak, mengapa..."
Dia tidak berani memikirkan lebih lanjut.
"Betapa juga harus mengatakan isi hatiku."
Demikian pikirnya, maka bergegas ia berlari mengejar keluar serta teriaknya.
"Hai tunggu sebentar !"
Karena luka-luka mereka yang parah sehingga jalannya agak lambat, mendedgar teriakan Giok-liong serentak Coh Jian kun bertiga berpaling.
"Kau menyesal dan sekarang hendak membabat rumput seakar-akarnya !"
Bentak Hoan Ji-hoa dengan bengis. Mata Giok-liong berkilat, alisnya dikerutkan dalam, mendadak ia kerahkan Lwekangnya terus mengayun sebelah tangan, sambil membentang mulut ia menggembor keras terut memukul kedepan.
"Blang,"
Sebuah batu besar segede gajah sejauh puluhan tombak sana seketika meledak hancur berkeping-keping menjadi debu beterbangan. Terbelalak pandangan Coh Jian-kun, desisnya gemetar.
"Kau mendemostrasikan Lwekangmu untuk menakuti orang"
Nada suara Giok liong barat dan sedih, teriaknya.
"Adik Sia, kalau hatiku bercabang biarlah riwayatku tamat seperti baru itu Cukup perkataanku sampai disini, cobalah pertimbangkan lagi !"
Coh Ki-sia sendiri masih dalam keadaan marah, mana mau dengar penjelasannya, hidungnya mendengus.
"Huh, kau memang pandai bermain badut, Putri orang she Coh sudah pernah diakali sekali, aku takkan sudi mendengar obrolan rnanismu, silakan kau pertunjukkan kepada orang lain saja !"
Apalagi yang harus Giok-liong katakan, manggut-manggut ia berkata.
"Baik terserah kau mau percaya, Aku bicara dengan tulus hati !"
"Cis !"
Coh Ki-sia meludah terus berjalan pergi membimbing ayahnya.
Keadaan dialas belukar ini menjadi sunyi senyap, angin menghembus menyegarkan pikiran, pemandangan didepan mata tidak berubah.
Tinggal Giok-liong seorang diri berdiri terpaku memandangi awan dilangit yang mengembang halus, pikiran lantas meIayang-Iayang tak tentu arah rimbanya, lambat laun rasa pedih mengetuk sanubarinya.
Betapa Giok-liong takkan sedih bila teringat akan dendam kesumat ayah bundanya.
Bibit bencana yang bakal bersemi dan menggegerkan dunia persilatan serta undang-undang perguruan yang keras, pesan para kawan yang belum terlaksana, perjanjian bulan tiga dengan pihak Mo khek, jangka tiga hari yang dibatasi oleh Hutan kematian, seorang diri menyembunyikan diri dialam pegunungan yang belukar ini terasa olehnya bahwa dirinya ini seorang yang penuh dosa nestapa dengan banyak cita-cita yang belum terlaksana.
Sayang sekali tiada seorangpun dalam dunia ini yang mau meresapi dan percaya akan tutur katanya.
seolah-olah dunia yang besar ini tiada seorangpun yang mau kenal dan menyelami pribadinya, tiada suatu tempat yang boleh dan dapat menjadi tempat berpijak untuk hidup tentram sentosa, hidup sebatang kara memang penuh derita dan sengsara.
"Hidup manusia kalau begitu penuh derita, untuk apa lagi masih tetap bernyawa dialam baka ini ?"
Berpikir sampai disini ia menghela napas panjang-panjang, katanya getir sambil menggertak gigi .
"Lebih baik mati saja !"
Potlot mas sudah dilolos dan ujungnya sudah tepat mengarah tenggorokannya, ujung yang runcing dan tajam itu sedikit menembus dagingnya tidak terasa sakit sedikitpun.
Sebab seluruh badannya terasa sudah mem-baal dan kebal.
Tapi ujung senjata yang runcing itu ada merembeskan hawa dingin yang seketika menyadarkan pikirannya sehingga daya hidup dalam benaknya mulai berkobar kembali.
"Aku tidak boleh mati!"
Tak terasa ia berteriak sekeras-kerasnya.
Lalu menggembor dengan lengkingan tinggi menembus angkasa melemparkan rasa sesak yang mengeram dalam benaknya.
Sekarang badan terasa segar dan enteng, semangat juga pilih kembali, dengan langkah lebar ia mengarungi semak belukar yang luas ini.
Tak terasa dari pagi sampai petang, Waktu memang tidak menunggu orang, sekejap saja dua hari sudah berlelu, seorang diri Giok liong melakukan perjalanan, pagi-pagi benar ia sudah beranjak di jalan raya, iort harinya mencari penginapan untuk istirahat.
Kalau tiada penginapan ia menginap di rumah pedesaan atau bermalam di atas pohon.
Hari ketiga, langit mendadak menjadi mendung, kilat menyambar geledek menggelegar hujan turun dengan derasnya, Hari sudah sore lagi, saat mana Giok-liong tengah melanjutkan perjalanannya, didepan tiada rumah dibelakang adalah hutan belantara, karena tiada tempat untuk meneduh seluruh badannya menjadi basah kuyup.
Tak jauh kemudian di depan sana kira kira ratusan meter terlihat bayangan sebuah bangunan rumah yang samar
samar, Segera ia kembangkam ilmu ringan tubuhnya, beberapa kejap kemudian ia sudah tidak jauh dari rumah batu merah.
Kiranya bukan lain adalah sebuah biara penyembahan dewa gunung.
Keadaan biara ini sudah bobrok dan tak terurus lagi, pintu besarnya sudah keropos, debu tebal beberapa inci dimanamana banyak gelagasi, terang sudah lama tidak diinjak orang.
Tanpa ragu-ragu Giok liong terus menerobos masuk langsung keruang sembahyang Dibawah kaki patung penyembahan tempat yang tidak kehujanan ia membersihkan tubuhnya serta mengebutkan matelnya terus dicantelkan diatas tongkat senjata yang dipegang patung pemujaan itu.
"Tang "
Tiba-tiba sebuah benda berkilau jatuh dari atas atap, sedikitpun Giok liong tidak bersiaga, keruan ia berjingkrak kaget. Tepat pada saat itulah terdengar suara "Dar!"
Guntur mengelegar disertai kilat menyamber samarsamar kelihatan seperti ada sebuah bayangan berkelebat menghilang.
"Siapa"
Tak kalah cepatnya bayangan putih melesat mengejar sampai diemper luar, Tapi hujan diluar begitu lebat mengeluarkan suara gemuruh. mana kelihatan adan bayangan orang.
"Aneh...... hah!"
Giok-liong mengguman kembali dibawah kaki patung pcmujaan, mendadak ia berseru kejut dan seketika terIong-ong.
Karena mantelnya yang dicantelkan diatas tongkat senjata itu kini sudah terbang tanpa sayap.
Dibawah kakinya benda berkilauan terang dan nyata itu ternyata bukan lain adalah sebuah lencana besi dari Hutan kematian, Karena terlalu nafsu hen!ak mengejar bayangan tadi, jadi ia tidak perhatikan benda apa yang jatuh tadi.
Kini setelah melihat jelas seketika timbul hawa amarahnya, Disangkanya pasti kamprat-kamprat Hutan kematian yang mempermainkan dirinya.
Cepat benar gerak badan orang itu! Terpikir demikian lantas teringat pula akan mantelnya yang hilang itu, terang bahwa orang yang mempermainkan dirinya bukan hanya seorang saja.
Salah seorang melontarkan lencana besi Hutan kematian, sedang seorang yang lain sembunyi didalam mencuri mantelnya.
"Kawan!"
Demikian teriaknya keras.
"Silakan keluar!"
Namun suasana dalam biara bobrok ini tatap sunyi lengang, gema suaranya mendengung berkumandang.
"Main sembunyi termasuk orang gagah macam apa itu? Ayo keluar!"
Bentakan kali ini lebih keras seperti gema lonceng laksana guntur bergetar, sampai atap genteng penuh debu beterbangan Tapi keadaan tetap sunyi tanpa penyahutan atau reaksi apapun.
Giok liong menjadi dongkol, dengan cermat dan waspada ia periksa segala pelosok kelenteng, yang cukup untuk sembunyi seseorang.
Akhirnya ia kewalahan sendiri dan kembali ke ruang tengah, sambil menghela napas ia duduk bersila, mulai memusatkan pikiran semadi.