Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le Siang san.
"Celaka !"
Saking kagetnya Le Siang sau menggembor keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya menyemburkan darah segar.
Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru .
"Suhu ! Kuatkan hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih ngos-ngosan.
"Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan kau menyesal sesudah kasep!"
"Kenapa ?"
"Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !" "Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan kedatanganmu !"
"Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku, setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !"
Dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.
Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling bunuh.
Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak sengsara dan derita.
Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi dirinya.
Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !"
Merubah sikapnya yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi begitu ramah dan penuh kemesraan.
Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan terpincut dan tertarik batinya.
Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya, sikapnya tetap dingin.
Sambil meraba batu giok berbentuk jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya, sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke Hwi
hun-cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan kedatangannya.
Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa pergi oleh Hiat ing Kongcu.
Benda satu-satunya sebagai kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut.
"Ma Giok liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"
Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya dengan parau .
"Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu ?"
"Bukan, putrinya !"
"Oh..."
Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung seperti orang linglung. Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki.
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja batu giok itu kepadaku !"
"Giok-pwe ini ? jangan !"
"Kau keberatan ?"
"Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling samber nyawa."
"Mas kawin ! "
"Sedikitpun tidak salah!"
Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat, sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya, seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.
Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang paling dirindukan adalah Coh Ki-sia.
Menurut adatnya ingin rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun- san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku yang sulit diduga sebelumnya.
Dimana-mana selalu terjadi banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang, Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe.
Masih adalah Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi.
Semua-semua ini boleh dikata merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada suatu saat.
Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim, sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa otaknya menjadi tumpul dan butek.
Tak tahu ia cara bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan semua urusan yang sama pentingnya ini.
Terutama yang membuat hatinya sedih adalah permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai besar.
Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus angin besar pasti akan roboh.
Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan, sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari arah kuburan yang berserakan sana.
Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam, jadi tak terlihat air mukanya.
Sorot matanya dari balik kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu, tanyanya.
"siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas tanyanya .
"Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !", "Baik, ambil ini !"
Orang itu merogoh kantong bajunya mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam gardu lalu berlari pergi.
Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas lantai.
Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau, sebesar tiga empat senti.
Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu, huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.
Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan jabatan.
Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini ? "Hai, tunggu sebentar !"
Seiring dengan bentakannya ini Giokliong melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu.
Tapi orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang ia berlari terus.
Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot- sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang berkedok di depan itu.
Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah sebuah hutan yang lebat dan gelap.
Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang buas saling susul.
Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! "
Tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak maju menghampiri Giok-liong.