Seruling Samber Nyawa Chapter 66

"Nah, kan begitu, siapapun berhak memikirkan kepentingan bersama."

Begitulah percakapan yang bersifat menyindir dan nada tajam ini membuat Ci-hu-sin-kun tambah gusar sampai lidahnya terasa kaku tak bisa bicara, hawa ungu bertambah tebal menyelubugi mukanya, desisnya berat.

"Sudah jangan cerewet tak karuan, Lohu sendiri sudah datang kemari betapapun harus berhasil membawanya puIang."

Bik lian hoa tidak mau kalah wibawa, tanpa kelihatan ia bergerak mendadak tubuhnya melayang tiba disamping Giokliong, katanya lemah lembut.

"Nak, mari kita pergi."

Tak terduga tiba-tiba Giok-liong mementang mulut menggembor keras dan panjang, suaranya mengalun tinggi bagai pekik naga nyaring dan menggetarkan sukma.

Sudah tentu perbawa gemboran Giok-liong ini sangat mengejutkan semua hadirin.

Siapa akan menduga pemuda yang kelihatan lemah ini ternyata membekal latihan Lwekang yang sudah sempurna dan tinggi.

Mengandal suara gemborannya ini saja cukup untuk menggetarkan nyali setiap tokoh silat kelas satu.

Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi berang, hardiknya bengis.

"Buyung, gembar gembor mengeluarkan kentut busuk apa kau?"

Sikap Giok liong gagah sambil membusungkan dada serunya lantang.

"seruling satnber nyawa adalah benda pusaka peninggalan perguruanku. Siapa yang bermaksud jelek hendak merebut seruling ini, kecuali dapat merobohkan aku dulu, Kalau tidak, hm."

Angker benar sikap garang Giok-Iiong ini sambil berdiri bertolak pinggang dan bercagak kaki.

"Kunyuk sombong benar!"

Tiba-tiba bayangan abu-abu berkelebat hawa berkabut ungu mengembang luas. Baru saja suara Ci-hu-sin-kun lenyap tahu-tahu telapak tangannya segede kipas sudah menyelonong tiba menekan dada Giokliong.

"Serangan bagus!"

Giok-liong membentak gusar, tangan kanan bergerak memapas, sedang, tangan kiri bergerak melingkar menimbulkan mega putih membawa kekuatan hawa dahsyat jurus Ciu-chiu cari salah satu jurus ilmu Samji ciu-huchiu dilancarkan.

Seketika terdengar ledakan gemuruh bagai gugur gunung.

sebelum seluruh penonton sempat mengedipkan mata kedua orang sudah secepat kilat mengadu pukulan.

Betapa cepat adu pukulan ini sungguh luar biasa, hakikatnya lebih cepat dari kilatan kilat.

Terlihat wajah Ci-hu-sin-kun diselubungi hawa ungu, kulit mukanya menjadi kaku membesi penuh kemarahan, suaranya bernada berat.

"Memang kepandaian Pang Giok tidak lemah, tapi Lwekang Pang Giok belum tentu dapat kau pelajari seluruhnya."

Seluruh hadirin banyak adalah gembong dan tokoh-tokoh silat kenamaan dan ahli dalam bidang ini, entah mereka dari aliran hitam atau putih, rata-rata mereka tahu bahwa adu pukulan tadi merupakan pelajaran besar ilmu silat tunggal yang jarang punya tandingan di jaman ini, yaitu Ci-hu-sinkang dan Sam-ji-hui-cun-chiu.

Wajah Bik-lian-hoa berubah dingin, segera ia menerjang maju sambil menarikan kedua tangannya, cukup kesiur kebasan lengan bajunya saja dapat mengundurkan mereka berdua.

Jengeknya dingin.

"Kiong Ki, seorang orang tua seperti kau tidak malu menindas yang masih muda?"

"Ha. kan dia sendiri yang tidak tahu tingginya langittebalnya bumi, berani kurang ajar terhadap orang tua."

"Terang gamblang aku melihat kau dulu yang turun tangan."

Ucapan ini terang memihak dan mengeloni Giokliong, sungguh Ci-nu-sin kun Kiong Ki menjadi penasaran. Karuan air makanya semakin tebal diselubungi hawa ungu, kedua biji matanya semakin mendelik besar. garangnya murka.

"Jadi kau sengaja hendak ikut campur dalam urusan ini?"

Acuh tak acuh Bik lian-hoa berkata.

"Sudah puluhan tahun aku tilak pernah bergebrak, Kalau Sin-kun ada minat tiada halangan aku melayanimu tiga gebrak atau dua jurus."

Meskipun tidak menantang secara terang-terangan, namun kata-kata halus dan dingin ini cukup menyebalkan dan menjengkelkan bagi pihak Iawan.

Ci-hu-sin-kun adalah Bing cu dari golongan hitam, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi mana rela menerima ejekan yang merendahkan martabatnya ini, maka sambil menggentakkan kedua lengannya ia berteriak.

"Baik, marilah akan kulayani setiap tantanganmu."

Belum lenyap suaranya tiba-tiba kakinya melangkah setengah langkah, dimana kedua telapak tangannya bergerak silang, samar-samar terlihat jalur hawa ungu melesat serabutan, telapak tangan segede kipas itu menari-nari lincah sekali ditengah kabut ungu.

Bik-lian-hoa mandah berseri riang, namun sepasang matanya berkilat dingin, Sret, tiba-tiba ia kebaskan lengan bajunya, seketika timbul sorot sinar hijau memancar sampai delapan kaki, hawa dingin menembus keluar dari kebasan lengan bajunya itu.

Seketika lima tombak sekeliling gelanggang samar-samar terdengar suara gemuruh seperti guntur menggelegar diseling hawa dingin yang meresap kebadan masuk kedalam tulang sungsum, tanpa merasa para hadirin terdekat menjadi merinding dan bergidik kedinginan.

Situasi menjadi tegang dan mencekam leher, kedua belah pihak sudah siap siaga seperti busur yang tinggal melepas anak panah, seluruh tokoh-tokoh silat menjadi tegang serius dan kwatir, beramai-ramai mereka menyurut mundur sampai lima tombak jauhnya, sehingga terluang arena bertempur yang cukup lebar.

Besar minat mereka menonton pertunjukan adu silat tingkat tinggi yang jarang terjadi ini, sekonyong-konyong bayangan putih melejit maju terdengar suara berseru.

"Lician- pwe, tunggu dulu!"

Tahu-tahu Giok-liong sudah menghadang ditengah kedua tokoh besar yang sudah berhadapan sambil membusung dada ia berdiri dengan tersenyum simpul, katanya sambil membungkuk badan kepada Bik - lian - hoa.

"Yang dia tuju adalah aku, maka harap Li-cianpwe tak usah mencapekan diri"

Rasa gusar Ci hu-sin-kun semakin merayu eak, serunya bergelak tawa.

"Hehehe! Hahaha Bik-lian-hoa! Boeah ingusan ini tidak mau terima budimu!"

Bik-lian-hoa menatap Giok-liong tajam, katanya terhenyak.

"Kau..."

Kata Giok-liong Iantang.

"Yang dicari adalah aku, biarlah aku bertanding dengan dia untuk menentukan siapa yang lebih unggul, seorang laki laki berani berbuat berani bertanggung jawab, aku tidak mau mengandal bantuan orang lain."

Jikalau Ci-hu-sin-kun betul-betul bertempur melawan Biklian hoa, siapa bakal menang atau asor sulit ditentukan.

Ketahuilah bahwa Bu lim-su-bi adakah tokoh lihay yang sukar dilayani, jangan sekali-kali diganggu usik.

Begitulah setelah menerawang situasi di hadapan ini, secara licik ia berusaha mengambil keuntungan tanpa menanti Bik lian-hoa sempat membuka mulut ia mendahului ber-kata.

"Baik, kita tentukan demikian, biar Lo-hu melawanmu satu demi satu."

Ma Giok-liong menyahut dengan gagah.

"jikalau aku minta orang membantu, hitunglah aku yang kalah."

"Demikian juga Lohu!"

Ci-hu-sin-kun menyeringai licik, Lalu ia mengulapkan tangan keaiah Ci-hu-ji-lo.

"Kalian mundur dan jangan sembarangan bergerak."

Ci-hu-ji-lo mengiakan terus melompat mundur dua tombak jauhnya menonton dari kejauhan.

Nama Kim-pit-jan hun memang sudah tenar dan menggetarkan Bulim, tapi yang betul betul pernah melihat atau menjajal kepandaian Giok-liong sejati masih belum banyak orang.

Seluruh hadirin bersitegang leher menahan napas, suasana menjadi sunyi seakan tiada insan hidup ditempat ini, seumpama sebatang jarum jatuh juga dapat didengar dengan jelas.

Dalam pada itu Ci-hu-sin-kun sudah mulai mengerahkan tenaga Lwekangnya serta menggeser tempat mencari kedudukan yang menguntungkan.

Ma Giok-liong menjura kearah Bik-lian-hoa tanpa bersuara, terus melompat ke samping setelah sana berhadapan dengan lawan sejauh setombak lebih, kabut putih mulai mengepul bergulung seperti gumpalan bunga salju.

"Buyung, sambutlah pukulanku !"

"Silakan keluarkan kemampuanmu !"

Mega putih berkelompok menyelubungi pancaran sinar putih perak, sebaliknya di sebelah sana bayangan kepelan tangan berlapis-lapis, hawa ungu membumbung tinggi bagai asap.

Begitu kedua lawan melancarkan serangannya terdengarlah ledakan gemuruh, batu pasir beterbangan menari-nari, hawa sekitar gelanggang menjadi mengalir cepat menghembus deras melambaikan baju para penonton diluar gelanggang.

Lambat laun sinar perak dan hawa ungu itu saling bergulung dan menggubat menjadi satu, begitu cepat dan tangkas sekali mereka bergerak sehingga bayangannya saja sukar dibedakan mana Giok-liong dan yang mana pula Ci-husin- kun.

Yang jelas kelihatan banyalan hawa ungu kadang-kadang mumbul tiba-tiba tenggelam naik turun bergantian, Demikian juga kabut putih itu-saban-saban melambung luas dan melayang ringan, sekonyong-konyong bergulung-gulung cepat seperti dihembus angin badai mengelilingi pancaran linar perak yang cemerlang.

Diam diam Bik-lian hoa manggut-manggut.

Demikian juga para penonton lainnya merasa kagum dan memuji.

Mendadak terdengar suara gemboran keras diselingi jengek tawa dingin, kedua bayangan musuh yang sedang berkutet itu mendadak berpencar melompat mundur sejauh setombak.

Kedua biji mata Ci-hu-sin kun mendelik besar seperti kelereng yang hendak mencelat keluar, air mukanya serius dan membesi, lengannya digerak-gerakkan sambil mengusapngusap telapak tangan, bergaya siap menubruk lagi.

Ma Giok-liong pentang kedua matanya yang memancarkan sorot berkilat, wajahnya yang putih ganteng bersemu merah, tenang sekali ia bergaya memasang kuda-kuda, sambil menyiapkan kedua tangannya melintang di depan dada.

Melihat sikap Giok-liong ini Bik-lian-hoa menjadi kwatir, omelnya dalam hati.

"Bocah ini terlalu berani, bagaimana kuat dia berani mengadu Lwekang dengan Ci-hu-sin-kun."

Namun ia tidak berani bersuara memperingatkan, takut mengganggu konsentrasi Giok-liong.

"Omitohud !"

Siau lim Ciang-bun Hian-khong Taysu bersabda Budha dengan nada rendah.

Hakikatnya siapapun tiada yang berani mengorbankan jiwanya untuk menempuh bahaya menolong situasi yang gawat ini, sebenarnya memang tiada seorangpun diantara hadirin yang punya pegangan termasuk Bik-lian hoa sendiri yang berani menempuh bahaya ini.

Tapi betapa juga Bik-lian-hoa sudah menghimpun Lwekang bersiap-siap turun tangan bila diperlukan.

Posting Komentar