Sebuah benda bundar kecil meluncur dan meledak di udara membawa cahaya terang menyolok mata berbunyi nyaring kumandang ditengah malam nan gelap diatas alas pegunungan ini.
Baru saja cahaya ini meluncur setengah jalan, dari kejauhan sana lantas terdengar suara suitan saling bersahutan, sekejap saja suaranya sudah meluncur dekat.
Berkelebatlah beberapa bayangan abu-abu, tahu-tahu dipinggir gelanggang sudah bertambah sepuluh rasul jubah abu-abu, pakaian serta bentuk badan dan muka mereka sama, hanya kesepuluh rasul jubah abu-abu yang baru datang ini pinggangnya digubat sabuk hitam.
Begitu muncul lantas berpencar membentuk satu bundaran, dan Giok-liong dan Hek-i Tong-cu terkepung ditengah gelanggang, sekejappun tiada yang buka suara atau berani sembarangan bergerak.
Baru saja lingkaran pengepung ini bergerak rapi, tiba tiba tiga titik bayangan orang meluncur datang dari hutan semak belukar sana sambil bersuit nyaring menggetarkan sukma memekakkan telinga.
Begitu mendarat di sana sedikitpun kaki mereka tidak mengeluarkan suara atau menimbulkan debu mengepul.
Dengan tegak mereka berdiri bagaikan terpaku, mereka tak lain tak bukan adalah tiga orang Hek-i Tong-cu lagi, tepat sekali mereka berdiri berpencar diempat penjuru dalam lingkungan kepungan para rasul jubah abu-abu, jadi Giok-liong terkurung lapis dua.
Untuk selanjutnya masih terdengar suara lambai baju berseliweran, dari empat penjuru yang gelap sana mendadak bermunculan lagi tiga puluhan rasul jubah abu abu, dengan gerak cepat dan langkah ringan mereka membentuk suatu barisan, lalu berdiri tegak berdiam diri menanti komado.
Sekilas pandang lantas Giok-liong bercekat, dalam hati ia menimbang.
"Meski aku belum pernah belajar ilmu barisan, tapi formasi sesuatu barisan yang umum sudah sering kulihat malah mengetahui cara membobolnya. Tapi barisan yang mereka bentuk ini sungguh sangat aneh, seperti Su li-tin, tapi juga seperti Pat kwa-tin atau Ngo-heng-tin..."
Hek-i Tongcu yang terdahulu datang tadi melirik kearah Giok-liang lalu bertanya.
"Apakah tuan punya pegangan untuk menang melawan kekuatan gabungan kita berempat Hek-i Tong-cu ?"
Waktu ketiga Hek i Toog-cu yang ada datang tadi, Giokliong sudah melihat jelas cara gerak mereka adalah begitu cekatan dan tangkas sekali, paling tidak lebih unggul dari para tokoh kelas satu dari kalangan Kangouw umumnya.
Kalau benar-benar mereka bergabung mengeroyok dirinya, mungkin dalam dua puluh gebrakan saja dirinya takkan kuat bertahan.
"Maka menurut hematku lebih baik tuan memilih salah satu syarat yang ku ajukan tadi, kalau tidak bila benar benar bertempur bukan saja kalah malah teringkus lagi, buat nama dan muka nanti tentu tidak enak di dengar dan memalukan bukan?"
Hawa amarah seketika bergelak menerjang otak Giok-liong, Sekuatnya ia menahan napas dan mengendalikan diri, baru dapat mengekang sabar sekian lamanya, tapi bahwasanya otaknya bekerja cepat memikirkan cara bagaimana menghadapi atau mengatasi situasi yang gawat dan berbahaya ini.
Bila ia melulusi untuk menepati janji mengunjungi Hianbing- mo-kek itu berarti bahwa dirinya harus masuk mulut harimau, sampai pada saat itu apa yang dapat dilakukan dirinya tidak lain menjadi antek atau mengekor saja apa yang mereka perintahkan atas dirinya.
Namun seumpama menolak undangan ini, kalau kena digusur dan terbinasa inipun tidak menguntungkan bagi dirinya.
Sekonyong-konyong suara Li Fian berkumandang dipinggir telinganya.
"Buyung, dilihat dari situasi yang kau hadapi ini, terpaksa kau harus, melulusi permintaan mereka! Ketua mereka bukan seorang yang tidak mengenal aturan. Kalau kau mempunyai akal dan pintar memutar haluan, mungkin akibatnya baik dari pada keadaan sekarang bila kau melawan dengan kekerasan. Para Tong-cu ini rata-rata memliki kepandaian silat yang lihay dan banyak ragamnya, bukan tandingan sembarang tandingan."
Otak Giok liong berkeljat, sesuatu pikiran, katanya kepada Hek-i Tong-cu itu.
"Baik, Kuputuskan untuk menemui ketua kalian!"
"Yah, itulah baik sekali!"
"Tapi bukan sekarang?"
"Ini, lantas..."
"Sekarang aku punya urusan penting yang mendesak, kalau kalian percaya akan omonganku, apa bedanya kita bertemu lagi tiga bulan yang akan datang?"
Hek-i Tonf!-cu menjengek dingin.
"Hian-bing-mo-kek mana gampang ditipu orang ! Baik, tiga bulan yang akan datang kita nantikan kedatanganmu dipuncak ia hong-gay di gunung Bu lay san."
Habis berkata lantas ia berpaling menghadap ketiga Hek-i Tong-cu lainnya serta katanya.
"Terima kasih akan kedatangan para saudara."
Sembari mengulap tangan tubuhnya bergerak gesit sekali ia pimpin para rasul jubah abuabu terus menghilang dibalik hutan sebelah kiri yang gelap gulita, ditengah udara kupandang suitan panjang yang bergema lama mengalun tinggi.
Angin malam menghembus keras terasa dingin, sang putri malam sudah mulai doyong kearah barat, kegelapan yang pekat menjelang senja sudah mulai mendatang.
Seorang diri Giok-liong berdiri tegak dan termenung didepan gua dalam atas pegunungan yang sunyi ini, jubah putihnya melambai-lambai terhembus angin.
Dari dalam gua sana terdengar suara Li Hian berkata.
"Nak, marilah masuk mengobrol."
Giok liong mengiakan dengan suara lirih.
Pelan pelan ia masuk kedalam gua.
Diujung kiri dalam gua sana kini sudah duduk seorang tua yang berpakaian butut kasar dan rombeng, rambutnya sudah uban seluruhnya, air mukanya bersemu merah, jidat sebelah kiri kelihatan jelas sekali mengkilap bekas bacokan senjata tajam, orang tua ini bertubuh tinggi kekar.
Sambil melangkah masuk, mendadak Giok-liong merasa hatinya menjadi hampa dan kosong melompong.
Dengan pandangan berkilat orang tua ini menatap tajam kearah Giok-liong, wajahnya menampilkan rasa heran dan tidak percaya, Tapi begitu Giok-liong sudah melangkah dekat lantas ia bersikap biasa lagi, katanya.
"Nak, betulkah nama aslimu adalah Ma Giok-liong?"
"Betul, masa Cianpwe tidak percaya ?"
Li Hian menatapnya sekali, lalu katanya pula.
"Bukan begitu, mendadak Lohu teringat oleh suatu persoalan! Hm, apakah ayah bundamu masih hidup?"
Begitu membicarakan ayah bundanya lantas Giok-liong merasa berduka, kedua matanya menjadi merah dan hampir saja menangis, sahutnya lirih.
"Aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Ya, ayah sudah menghilang sejak aku masih kecil! sedang ibu mendapat celaka terbokong oleh musuh laknat, entah bagaimana mati hidupnya sekarang."
Tak tertahan lagi dua titik air mata mengalir membasahi pipinya. Selintas pandangan Li Hian mengunjuk rasa kejut dan tak mengerti, pelan-pelan ia menghela napas serta katanya.
"Nak, janganlah bersedih! Apakah kau tahu nama ibumu? Banyak kawan Lohu di kalangan Kang-ouw, mungkin aku bisa ikut menyirapi!"
Giok-Iiong sadar akan sikapnya yang kehilangan kontrol, cepat ia mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air matanya, ka-tanya. sambil tertawa dibuat-buat.
"Membuat tertawaan Cian pwe saja!"
Lalu ia menyambung lagi.
"Dulu ibu sudah kenamaan dengan julukan Toh hu Siancu, tapi agaknya banyak orang Kangouw yarg tidak mengetahui akan hal ini."
Codet bekas luka di jidat Li Hian itu mendadak seperti melepuh besar merah membara sampai memancarkan sinar berkemilauan.
Terang bahwa hatinya juga ikut terharu dan terbawa arus perasaannya yang tak terkendali lago.
Rada lama kemudian baru ia dapat mengendalikan hatinya seperti biasa lagi, tanyanya.
"Nak, kapan ayahmu telah menghilang? Siapa pula namanya ?"
Giok-liong menggeleng, sahutnya.
"Wan-pwe kurang jelas." "Ai, sungguh kasihan ... ."
Agaknya Li Hian tenggelam dalam kenangan lama, kedua matanya rada dimeramkan lalu menunduk kepala tak bersuara lagi.
Sebetulnya Giok-liong bermaksud menceritakan apa yang pernah didengar dari cerita ibunya tentang didasar mata air rawa naga beracun di gunung Bu-i san ada peninggalan kata kata ayahmu."
Tapi setelah dipikir kembali kelihatan memang Li Hian sangat prihatin akan riwayat hidupnya ini, namun betapa juga mereka baru saja kenal, dunia persilatan penuh akal dan tipu muslihat kejam yang sering membawa bencana, serba serbi kejadian pernah terjadi maka ada lebih baik tutup mulut saja, karena disadari olehnya bahwa bencana kadang kadang datang dari mulut yang suka bicara.
Sekarang Li Hian angkat kepala lagi, sejenak ia menatap Giok-liong, matanya memancarkan cahaya aneh, tanyanya dengan pelahan.
"Nak, mereka memanggilmu Kim-pit-janhun?"
Giok liong mengiakan.
"Kenapa?"
"Sebab senjata yang Wanpwe gunakan adalah sebatang potlat mas."
"O, siapakah tokoh kosen gurumu itu?"
"Suhu bernama Pang Giok berjulukan To-ji!"
"Ha, beliau? Tak heran ilmu silatmu sedemikian hebat. Tapi ilmu kepandaiannya mungkin tidak banyak unggul dari kemampuan sekarang bukan?"
Giok liong tersenyum, katanya "Mana Waupwe bisa tahu betapa dalam dan tinggi kepandaian Suhu, yang terang kepandaian beliau sudah jauh sempurna.
Meskipun sejak berpisah dengas Suhu memang Wanpwe ada sedikit kemajuan, tapi mana berani dibanding dengan Suhu."
Li Hian menjadi geli, tanyanya lagi.
"Kuduga tentu kau menggembol suatu benda pusaka maka banyak kawanan manusia tamak di-Kangouw itu selalu membuntuti dan mengejar-ngejarmu, sehingga terpaksa kau terdesak dan membunuh orang, bukankah begitu?"
"Ya, benar."
Sahut Giok-liong manggut-manggut."