Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi,"
Kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat. Si Muka Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!
Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh. Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu!
Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika. Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk.
Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana. Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Siansu, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan.
Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi. Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar menghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai.
Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan pergunakan demi keuntungan mereka! Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat. Na-mun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu. Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan meloncat bangun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.
"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!"
Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.
"Lepaskan aku!"
Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.
"Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!"
Panglima itu menghardik.
"Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"
Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang,
Seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan.
Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.
Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas! Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu. Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.
Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Adapun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat. Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.
Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut, bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya. Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.
"Tukkk!"
Biarpun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali. Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan. Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan.
Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging terobek. Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.
"Aihhhh....!"
Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong tertolong nyawanya. Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd.... duhhhh....!"
Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah, karena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa sesaat melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.