"Pertama, perlu kalian berlima tahu bahwa peta yang ada pada kita hanyalah menunjukkan kepulauan ini sebagai penunjuk pertama! Hal ini menurut perkiraanku, jelas menandakan bahwa tempat pusaka itu bukan di sini, melainkan harus dicari mulai dari tempat ini, yaitu pulau-pulau yang berada di tengah muara. Karena belum diketahui jelas di mana tempatnya, sedangkan kita sendiri masih meraba-raba dan mencari-cari, perlu apa kita mendahului mereka mencari dan membiarkan mereka diam-diam mengawasi kita dan akan turun tangan apabila pusaka sudah kita dapatkan! Daripada diawasi, lebih mudah mengawasi. Orang-orang kang-ouw itu hidungnya tajam, biarlah mereka yang mencarikan untuk kita. Kalau secara kebetulan sekali di antara mereka ada yang berhasil, kita sergap! Kalau tidak demikian, bayangkan saja betapa besar bahayanya kalau kita mencari-cari dan ratusan orang kang-ouw itu mengintai seperti sekawanan burung rajawali mengintai mangsanya! Bagaimana pendapat kalian?"
Lima orang pembantu itu mengangguk-angguk tanda setuju.
"Kalau mereka tidak berhasil mencari dan pergi, sudahlah. Mereka tidak memusuhi pemerintah, maka apa untungnya kalau kita menggunakan kekerasan mengusir mereka sehingga menimbulkan dendam dan permusuhan karena benci kepada pemerintah? Bukankah rugi sekali kalau kita mengusir mereka? Pertama, mereka akan membenci dan memusuhi pemerintah. Ke dua, mereka tentu penasaran dan akan mengintai gerak-gerik kita dalam mencari pusaka."
Kembali lima orang pembantunya mengangguk membenarkan dan diam-diam kagum akan pandangan yang luas dan perhitungan masak ini.
"Tentang mereka berpibu mengadu kepandaian di pulau itu? Ha-ha-ha-ha! Biarlah! Makin berkurang kaum kang-ouw yang saling berbunuhan, makin kurang bahayanya bagi pemerintah! Selain itu hemmm.... aku pun ingin sekali menonton pibu. Ha-ha, tak dapat disangkal pula bahwa tangan kita yang mempelajari banyak ilmu ini menjadi gatal-gatal kalau mendengar orang sakti mengadu pibu. Apa salahnya kalau kita pun meramaikan pibu mereka itu? Kita berlima.... heh-heh, berenam dengan aku maksudku, agaknya bukan merupakan tanding yang lemah. Akan menggembirakan sekali, ha-ha!"
Kini dua orang pendeta Lama itu yang mengangguk-angguk karena mereka berdua pun ingin sekali menyaksikan, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian kaum kang-ouw yang terkenal dan terutama sekali dia yang nanti terpilih menjadi datuk nomor satu!
Ketika perundingan di dalam kemah itu berlangsung, Kakek Siauw Lam sedang bersamadhi dengan tenangnya, sedangkan Bun Beng sudah pulas. Menjelang pagi, karena Kakek Siauw Lam sadar dari samadhinya karena ia mendengar suara perlahan di permukaan air, suara sebuah perahu meluncur datang mendekati perahunya! Namun kakek itu pura-pura tidak tahu dan duduk bersila dengan tenangnya, hanya diam-diam ia bersiap-siap menjaga diri dan muridnya kalau-kalau ada bahaya mengancam. Dari gerakan perahu ketika ia menghitung gerakan, ia tahu bahwa ada enam orang meloncat ke atas perahunya, dan orang-orang ini biarpun memiliki gin-kang yang tinggi, bagi dia bukan merupakan lawan yang perlu dikhawatirkan. Maka dia tetap pura-pura tidak tahu.
"Kita sergap dan ikat,"
Bisik seorang di antara mereka. Legalah hati kakek Siauw Lam karena bisikan itu mempunyai arti bahwa dia dan muridnya hanya akan ditangkap, tidak dibunuh, maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak melakukan perlawanan.
"Heiii! Apa ini? Lepaskan....!"
Bun Beng meronta-ronta dengan kaget ketika ia terbangun dan melihat ada seorang laki-laki mengikat kedua tangannya,
"Suhu....!"
"Diamlah, Bun Beng. Mereka tidak berniat jahat."
Kata Kakek Siauw Lam dengan sabar.
"Tidak berniat jahat mengapa membelenggu kita?"
Bun Beng membantah, terheran-heran. Kini guru dan murid itu telah dibelenggu kedua tangan mereka ke belakang dan mereka melihat enam orang laki-laki bersenjata golok besar berdiri di atas perahu.
"Engkau benar, orang tua. Kami tidak berniat jahat. Bukankah kalian hendak menonton keramaian? Nah, Pangcu kami tidak ingin melihat penonton membikin ribut, akan tetapi juga tidak mau merampas hak seorang penonton. Mari, kalian akan mendapat tempat yang amat baik sehingga akan dapat menonton dengan enak, ha-ha!"
Tubuh guru dan murid itu lalu diangkat, dipindahkan ke dalam perahu mereka yang mereka dayung cepat-cepat menuju ke sebuah pulau terbesar yang berada di tengah muara. Tanpa banyak cakap mereka meminggirkan perahu, disambut oleh seorang laki-laki berkumis pendek dan membawa sebatang pedang di punggungnya. Sikapnya berwibawa, matanya tajam dan biarpun usianya paling banyak empat puluh lima tahun, namun mudah diduga bahwa dia tentulah pemimpin dari orang-orang ini.
"Lemparkan mereka di pantai, kemudian cepat sembunyikan perahu dan kembali bersembunyi di tempat semula,"
Kata orang berpedang itu setelah melempar pandang kepada Kakek Siauw Lam.
"Baik, Pangcu,"
Jawab anak buahnya akan tetapi orang berpedang itu sudah berkelebat cepat sekali, lenyap dari situ. Kakek Siauw Lam dan Bun Beng lalu digotong keluar dan ditinggalkan di pantai pulau itu, kemudian enam orang bersama perahunya pergi. Semua ini dilakukan menjelang pagi ketika cuaca masih gelap. Keadaan sunyi sekali setelah orang-orang yang menangkap mereka itu pergi. Bun Beng memandang ke sekelilingnya. Pulau itu cukup besar, merupakan pulau berbentuk anak bukit yang tinggi juga. Hanya pantai di mana mereka ditinggalkan itu yang datar akan tetapi dari tempat itu dapat diduga bahwa pantai lain,
Di sekeliling pulau itu tentu merupakan tebing-tebing yang tinggi. Juga ia mendapat kenyataan bahwa pulau itu berada di muara paling ujung, dan sudah berbatasan dengan laut sehingga kadang-kadang tampak ombak laut naik dan membentur tebing karang pulau itu di sebelah luar. Ketika berusaha memandang ke seberang, yaitu di kanan-kiri sungai yang telah menjadi luas sekali itu, dia hanya melihat beberapa sinar api berkelap-kelip. Keadaan sunyi sekali seolah tempat itu tidak ada manusianya, pada hal dia dapat menduga bahwa di sekitar tempat itu, mungkin di atas pulau dan sudah terang sekali di seberang, di tebing-tebing tinggi, penuh dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti, penuh pula dengan pasukan pengawal. Hatinya berdebar tegang ketika ia teringat akan keadaan dirinya dan suhunya.
"Suhu, teecu masih tidak mengerti mengapa Suhu tidak melawan? Kita ini dibelenggu dan dilepaskan di sini, apa sih kehendak mereka? Apakah benar-benar kita disuruh menonton akan tetapi tidak boleh bergerak maka dibelenggu seperti ini?"
"Sabar dan tenanglah, Bun Beng. Engkau pergi hendak mencari pengalaman, ingat? Nah, justru pengalaman-pengalaman yang tidak enaklah yang merupakan pengalaman tak terlupakan dan mengandung banyak pelajaran. Mereka itu tidak berniat jahat, karena kalau demikian, tentu tadi mereka akan membunuh kita dan tentu saja aku tidak akan membiarkan mereka berbuat begitu. Mereka hanya menangkap kita dan buktinya kita ditinggalkan di sini."
"Akan tetapi.... mengapa, Suhu? Apa maksudnya semua?"
"Aku sendiri tidak tahu dengan pasti, hanya dapat menduga-duga saja. Kalau dugaanku tidak meleset terlalu jauh, kita sekarang bukan menjadi penonton lagi, Bun Beng, melainkan ikut pula main dalam keramaian ini, bahkan menjadi pemegang peran babak pertama dalam adegan pembukaan!"
Bun, Beng membelalakkan matanya.
"Apa maksud Suhu?"
"Agaknya para partai dan tokoh kang-ouw yang sudah berkumpul dengan sem-bunyi-sembunyi di sekitar tempat ini, merasa ragu-ragu untuk memulai keramaian ini, melihat adanya pasukan-pasukan pemerintah yang sudah memblokir tempat ini. Mereka mengambil sikap menunggu dan melihat, tidak ada yang berani memulai karena resiko dan bahayanya amat besar. Selain adanya saingan yang berat dan banyak jumlahnya, di sini terdapat pula pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh koksu. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal sepele yang boleh dibuat main-main. Oleh karena itu, dengan adanya kita sebagai orang luar atau katakan penonton, maka mereka mendapat kesempatan baik untuk menarik kita dan kita dijadikan semacam umpan, atau lebih tepat merupakan sumbu untuk meledakkan keramaian! Mereka semua bersembunyi, dan kita mereka taruh di sini yang dapat dilihat dari semua penjuru kalau matahari sudah muncul nanti. Kehadiran kita ini pasti menarik semua orang dan tentu akan ada yang mulai muncul sehingga pesta dapat dimulai!"
"Hemm, kurang ajar sekali mereka!"
Bun Beng mengomel.
"Kalau aku mereka jadikan umpan, masih tidak mengapa. Akan tetapi mereka berani menangkap dan membelenggu Suhu! Siapakah mereka yang menangkap kita tadi, Suhu?"
"Melihat sikap mereka dalam menggunakan perahu, kiranya tidak salah kalau aku menduga bahwa mereka adalah pimpinan Hek-liong-pang yang membantu ketua mereka dalam usaha perebutan ini. Si Kumis yang berpedang tadi lihai dan cepat sekali gerakannya dan disebut Pangcu (Ketua), agaknya dialah Ketua Hek-liong-pang. Hek-liong-pang merupakan kekuasaan tidak resmi di muara ini, dan dalam istilah dunia kang-ouw, sekali ini keramaian mengambil tempat di wilayah atau daerah kekuasaan Hek-liong-pang. Tegasnya, sekarang ini dapat dianggap bahwa Hek-liong-pang menjadi tuan rumah! Tuan rumah yang bukan hanya ingin menjadi penonton saja, bahkan ingin sekali memegang peran utama dan mendapatkan pusaka yang diperkirakan terdapat di dalam daerah operasi mereka! Maka melihat betapa keramaian dapat membeku gagal dengan munculnya begitu banyak pasukan pemerintah, Hek-liong-pang kini mengambil prakarsa untuk menyalakan sumbu yang akan meledak-kan keramaian, yaitu kita inilah."
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan? Apakah kita akan mandah begini saja?"
Kakek itu tersenyum lebar. Semenjak Siauw Lam Hwesio menjadi Kakek Siauw Lam dan memelihara rambut, wajahnya yang dahulu selalu dingin membeku itu kini mulai tampak sinarnya dan terutama sekali kalau bicara dengan muridnya, ia mulai banyak tersenyum. Memang muridnya tidak seperti bocah biasa. Anak ini jalan pikirannya seperti orang tua, tidak kekanak-kanakan lagi, dan kecere-wetannya menanyakan segala macam hal menandakan bahwa anak ini mempunyai hasrat besar untuk maju.