Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 61

NIC

"Tenanglah, Nona Kim. Mari kita bicarakan dan kita cari jalan terbaik untuk dapat me loloskan diri dari kota raja. Yang terpenting, kami bertiga harus dapat keluar tanpa gangguan, dan juga Nona sendiri agar dapat keluar dari sini kemudian menyusul keluarga Nona di San-hai-koan. Hal itu merupakan langkah ke dua. Langkah pertama sekarang bagaimana kita berempat, yaitu kami dan Nona, dapat meninggalkan kota raja tanpa halangan."

Mereka berempat bersiam diri, berpikir-pikir. Tiga orang pria itu t idak bisa mendapatkan ja lan terbaik, maka perhatian mereka tertuju kepada Kim Lan Hwa. Wanita ini mengerutkan alisnya dan jalan hilir mudik dalam ruangan yang luas itu.

Tiba-tiba pintu diketuk dari dalam. "Siapa?" tanya Kim Lan Hwa.

"Ha mba mengantarkan minuman, Hu-jin." terdengar suara

pelayan wanita.

"Baik, bawa masuk." kata Kim Lan Hwa.

Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita setengah tua masu k me mbawa baki terisi seguci arak, empat buah cawan perak dan beberapa piring ma kanan kecil. Dengan sikap hormat pelayan itu meletak kan piring makanan dan guci serta cawan di atas meja, kemudian ia me mbungkuk me mberi hormat lalu meninggalkan ruangan ta mu itu.

"Mari, silakan makan dan minum arak untuk mengendurkan ketegangan, perlahan-lahan aku akan mencari akal." kata Kim Lan Hwa. Tanpa sungkan lagi tiga orang itu la lu minum arak dan makan hidangan kecil itu bersama nyonya rumah.

"Ah, aku tahu caranya!" tiba-tiba Kim Lan Hwa berseru dan Li Cu Seng me mandang dengan wajah berseri.

"Apa yang harus kami lakukan, Nona?"

"Begini, Li Beng-cu, kalian bertiga akan kucarikan pakaian perwira. Hal ini akan meng uatkan kepercayaan mereka bahwa kalian me mang perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi. Dan sebagai tiga orang perwira, kalian mengawa l aku keluar pintu gerbang kota raja."

"Hemm, gagasan yang baik sekali." kata Li Cu Seng, dia m- diam semakin kagum karena selain cantik jelita, wanita ini pun cerdik sekali. Tidak mengherankan kalau ia menjad i selir tersayang dari Bu Sam Kwi. Tiba-tiba timbul rasa ir i dalam hatinya terhadap Bu Sam Kwi!

"Akan tetapi, maafkan pertanyaanku, Nona. Bagaimana kalau mereka bertanya ke mana kita hendak pergi?" tanya Cu Kam.

"Tidak akan ada yang berani bertanya kepadaku. Aku naik kereta, Li Bengcu yang menjadi kusir dan kalian berdua mengawal kereta. Kalau ada yang berani bertanya, aku dapat menjawab sesuka hatiku, mungkin pergi berjalan-jalan, atau pergi berburu, atau bahkan aku dapat mengatakan bahwa aku akan menyusul suamiku di San-hai-koan. Siapa yang berani me larangku?"

"Kalau mereka tetap menghalangi?" tanya Li Cu Seng.

Kim Lan Hwa mengangkat kedua pundaknya dan menghela napas panjang. "Kalau sa mpai terjadi de mikian, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tinggal terserah kalian bertiga."

"Kalau begitu, kita lawan mati- matian!" kata Giam Tit dan Gu Kam menyetujui pendapat ini. "Nona Kim, apakah engkau tidak dapat minta bantuan pasukan yang setia kepada Panglima Besar Bu Sam Kwi agar mereka me mperkuat pengawalan ketika Nona meninggalkan kota raja?"

Kim Lan Hwa meng geleng kepala. "Tidak bisa... kalau hal itu kulakukan, me mang ada perwira yang setia akan tetapi kalau pengawalan pasukan terjadi, hal itu tentu akan men imbulkan kecurigaan dan akan terjadi pertempuran besar yang akibatnya bahkan buruk bagi suamiku. Tidak, kurasa jalan tadi yang terbaik. Mudah- mudahan saja akal kita akan berhasil baik."

Kim Lan Hwa bekerja cepat. Ia menyuruh orang-orangnya untuk menyediakan pakaian perwira bagi Li Cu Seng, Gu Kam, dan Giam Tit. Tiga orang itu lalu mengenakan pakaian perwira di luar pakaian penyamaran mereka, sedangkan Kim Lan Hwa me mer intahkan pelayan pria untuk me mpers iapkan kereta yang ditarik dua ekor kuda, juga hendak menyediakan dua ekor kuda untuk Gu Kam dan Giam Tit. Akan tetapi Li Cu Seng berkata. "Tidak perlu disediakan kuda bagi mereka. Kami telah men inggalkan tiga ekor kuda kami di dalam hutan di luar pintu gerbang barat."

Kim Lan Hwa mengumpulkan perhiasan dan beberapa potong pakaian untuk dibawa pergi. Setelah se mua persiapan selesai, ia me mesan kepada para pelayan untuk men jaga rumah baik-baik karena ia akan pergi menyusul keluarganya ke San-hai-koan, dikawal tiga orang perwira pe mbantu Panglima Besar Bu Sam Kwi itu.

"Mari kita berangkat." katanya kepada tiga orang yang sudah berubah menjadi perwira-perwira berpakaian indah me mbuat mereka ta mpak gagah. "Hari telah siang jangan sampai kita ke malaman sebelum jauh dari kota raja."

Wanita itu me masuki kereta dan sengaja tidak menutup tirainya agar semua orang dapat melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah ia. Li Cu Seng yang berpakaian perwira gagah itu duduk di tempat kusir, me megang kendali kuda, dan Gu Kam bersama Giam Tit berjalan di belakang kereta sebagai pengawal. Maka berangkatlah kereta itu keluar dari halaman gedung tempat t inggal keluarga Panglima Besar Bu, diantarkan para pelayan sampai di depan pintu gerbang gedung itu.

-odwo0

Gadis itu sudah dewasa dan matang, usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik dan lembut, namun sinar matanya terkadang sayu seperti orang yang menderita luka dan terkadang tajam lerkilat. Tubuhnya ramping padat, kulit- lya putih mulus kekuningan. Rambut hita m panjang lebat, dikuncir dua sehingga tampa k lucu. Hidungnya kecil man cung, dagunya runcing dan sebuah tahi lalat kecil di dagu me mbuat ia tampak manis sekali. Bibirnya merah basah namun sayang mulut yang manis itu jarang sekali tersenyum. Ia berjalan seorang diri di luar kota raja bagian barat. Karena ia tidak me mbawa senjata apa pun, maka tentu orang akan menyangka bahwa ia seorang gadis le mah, walaupun keadaannya berjalan seorang diri di tempat sepi itu mengheran kan bagi seorang gadis le mah.

Padahal, sesungguhnya gadis ini sa ma sekali bukan seorang wanita lemah. Bahkan ia seorang gadis yang amat lihai, dan pernah mengge mpar kan kota raja dengan perbuatannya yang mendir ikan bulu ro ma. Dan tahun yang lalu, gadis ini telah menga muk dan me mbuat putera seorang kepala jaksa di kota Thian-cin menjadi seorang yang cacat dan menger ikan karena wajahnya dirusak dan kaki tangannya menjad i buntung dan lumpuh. Putera jaksa itu bernama Pui Ki Cong dan bersama dia, dua orang ahli silat yang tangguh juga dibuat serupa dengan majikan mereka, menjadi cacat dan gila, tidak seperti manus ia lumrah lagi. Yang seorang lagi malah tewas membunuh diri. Gadis ini adalah Kim Cui Hong, puteri mend iang guru silat Kim Siok di dusun Ang-ke-bun. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika ia berusia enam belas tahun, seorang gadis remaja yang cantik, Kim Cui Hong diculik dan diperkosa bergantian oleh Pui Ki Cong bersama tiga orang tukang pukulnya, yaitu Gan Tek Un, Koo Cai Sun, dan Louw Ti. Bukan hanya perkosaan berulang oleh empat orang dan penghinaan yang diderita Cui Hong, me lainkan lebih dari itu karena ayahnya, Kim Siok dan suhengnya, Can Lu San, tewas pula ketika hendak meno longnya. Mereka berdua tewas di tangan tiga orang jagoan anak buah Pui Ki Cong itu, tiga orang yang terkenal dengan julukan Bu-tek Sa m-eng (Tiga Pendekar Tanpa Tanding).

Setelah menderita ma lapetaka hebat itu, Cui Hong menjadi murid Toat-beng Hek- mo (Iblis Hita m Pencabut Nyawa), seorang datuk kang-ouw yang sakit dan ia digembleng sela ma tujuh tahun oleh gurunya itu, sehingga Cui Hong, yang tadinya me mang sudah pandai bersilat belajar dari ayahnya, kini menjadi seorang gadis yang luar biasa lihainya. Akan tetapi oleh gurunya itu yang setahun lalu telah meninggal dunia karena usianya yang sudah tua, Cui Hong disuruh berjanji bahwa ilmunya tidak boleh dipergunakan untuk me mbunuh. Akan tetapi, saking demikian mendalam perasaan dendam dan bencinya kepada musuh-musuh itu, walaupun ia tidak me mbunuh mereka, namun ia menyiksa mereka dan me mbuat mereka dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak, lebih berat daripada kalau mereka mati. Bahkan seorang di antara Bu-tek Sam-eng, yang sudah bertaubat dan hidup sebagai seorang tosu pertapa, me mbunuh diri karena tidak ingin me lihat Cui Hong ber musuhan dengan keponakannya sendiri yang hendak melindunginya. Keponakannya itu bernama Tan Siong, murid Kun-lun-pai yang hidup sebagai seorang pendekar.

Sebetulnya Tan Siong jatuh cinta kepada Cui Hong, akan tetapi ketika Cui Hong karena hendak me mbalas dendam kepada Gan Tek Un yang sudah menjadi pertapa, yang dulu juga ikut me mperkosa dan menghinanya, Tan Siong me mbela pamannya dan menghalangi Cui Hong. Melihat ini, dan merasa menyesal akan dosanya, akan perbuatannya yang teramat keji terhadap Cui Hong tujuh tahun yang lalu, Gan Tek Un lalu me mbunuh diri sehingga tidak terjadi perkelahian antara Cui Hong dan Tan Siong.

Cui Hong melangkah santai sambil ter menung. Ia teringat akan Tan Siong. Setelah ia berhasil melaksanakan balas dendam sakit hatinya, Tan Siong menyatakan cintanya kepadanya. Ia menolak karena merasa dirinya sudah ternoda, diperkosa empat orang secara keji. Akhirnya ia meninggalkan Tan Siong walaupun pemuda itu mengaku tetap mencintanya walaupun ia sudah ternoda.

Cui Hong menghe la napas panjang. Selama dua tahun ini ia merantau di dunia kang-ouw (persilatan), bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang membe la kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat seperti pesan ayahnya dahulu ketika ayahnya mengajarkan silat kepadanya. Dan selama dua tahun itu, banyak sudah laki-laki yang tertarik dan menyatakan cinta kepadanya, namun semua itu dito laknya dengan halus maupun dengan kasar sesuai dengan sikap laki- laki itu sendiri ketika menyatakan cintanya.

Posting Komentar