Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 59

NIC

Gu Kam dan Giam Tit tidak dapat menahan kemarahan mereka. Sekali bergerak, mereka sudah me megang lengan kanan dua orang pelayan itu dan begitu mereka mengerahkan tenaga, terdengar suara "krekk!" dan tulang lengan kanan dua orang pelayan itu patah! Tentu saja mereka menjer it dan menyeringai kesakitan.

Tiba-tiba seorang laki-la ki yang juga berpakaian sebagai pelayan muncul dari pintu. Usianya lebih tua dari yang dua orang itu.

"Eh, ada apakah ini? Siapa kalian bertiga dan mengapa ada ribut-ribut di sini?"

Karena pelayan satu ini sikapnya sopan dan kata-katanya juga halus, Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya. "Lepaskan mereka!" kemudian setelah dua orang pelayan itu dilepaskan dan mereka me megang i lengan yang patah tulangnya sambil mengadu h-aduh, dia berkata kepada pelayan ke tiga. "Kami bertiga adalah perwira-perwira pembantu Panglima Besar Bu Sam Kwi yang diutus datang mene mui keluarga beliau. Kami sengaja menyamar dan dua orang pelayan ini tidak percaya dan bersikap kurang ajar kepada ka mi."

Pelayan tua itu segera membungkuk dengan hormat. "Ah, kiranya sam-wi adalah perwira-perwira utusan Panglima Besar Bu! Heh, kalian berdua sungguh tidak tahu aturan. Hayo pergi ke belakang!" Setelah dua orang pelayan yang patah tulang lengan kanannya itu sambil merintih pergi, pelayan tua itu lalu berkata kepada Li Cu Seng.

"Harap Sa m-wi Ciangkun (Perwira Bertiga) ketahui bahwa pada saat ini, anggauta Panglima Besar Bu yang berada di rumah hanya tinggal Kim Hujin (Nyonya Kim) seorang saja. Sam-wi Ciangkun tentu mengetahui bahwa se mua keluarga yang lain telah dije mput oleh pasukan utusan Panglima Besar Bu Sam Kwi beberapa minggu yang lalu dan yang tinggal di sini sekarang hanya Kim Hujin."

Tentu saja Li Cu Seng tidak mengetahui akan ha l ini, akan tetapi setelah mengaku sebagai perwira utusan Panglima Bu, tidak mungkin kalau dia tidak mengetahui!

"Tentu saja kami tahu akan hal itu. Kami me mang diutus untuk mene mui Kim Hujin untuk menya mpaikan pesan Panglima Bu."

"Kalau begitu silakan duduk menanti sebentar, saya akan me laporkan kepada Kim Hujin!" kata pelayan itu, lalu dia masu k ke dalam gedung. Li Cu Seng dan dua orang temannya duduk menunggu di atas bangku yang terdapat di pendapa atau ruangan depan itu.

"Beng-cu, apa yang akan kita katakan kalau berhadapan dengan Kim Hujin itu?" Ciam Tit berbisik, bingung.

Li Cu Seng me mberi isarat dengan pandang matanya agar dua orang temannya itu me mandang ke luar. Ketika keduanya me mandang ke luar, mereka me lihat berkelebatnya bayangan beberapa orang di luar pintu gerbang. Tahulah mereka bahwa sampai sekarang ada orang-orang yang me mbayangi mereka seperti dilaporkan anggauta Hek-tung Kai-pang tadi.

"Jangan khawatir, serahkan saja kepadaku." kata Li Cu Seng dengan sikap tenang sehingga dua orang pembantunya merasa agak lega. Mereka percaya sepenuhnya akan kecerdikan pe mimpin mereka ini. Pelayan tua tadi muncul kembali. "Silakan sam-wi masuk dan menunggu di ruangan tamu. Kim Hujin akan segera mene mui sam- wi." Dia mengantar tiga orang tamu itu me masu ki ruangan ta mu yang luas, bersih dan tertutup. Agaknya ruangan ini selain menjadi ruangan ta mu, juga dapat dipergunakan untuk ruangan te mpat perte muan penting yang tak dapat dilihat atau didengar orang luar. Setelah mengajak tiga orang itu masuk ke dalam ruangan ta mu, pelayan itu keluar lagi dan menutup kan pintu depan dari luar.

Li Cu Seng me mberi isarat kepada dua orang pembantunya untuk menga mbil tempat duduk di atas kursi-kursi yang menghadap kepada sebuah meja di mana terdapat pula beberapa buah kursi, agaknya biasa menjadi te mpat duduk mereka yang memimpin pertemuan.

Terdengar langkah kaki le mbut dari dala m. Mereka bertiga cepat menengok dan ketika yang me miliki langkah kaki muncul dari pintu dalam, berdiri di a mbang pintu dan menahan langkahnya lalu me mandang kepada mereka bertiga dengan sinar mata tajam menyelidik, tiga orang itu cepat bangkit berdiri dan mengang kat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Mata tiga orang itu terbelalak heran dan juga kagum. Sama sekali Li Cu Seng tidak meng ira bahwa yang disebut Nyonya Kim itu adalah seorang wanita yang demikian muda, dengan kecantikan seorang dewi! Sang Dewi Kzecantikan sendiri yang agaknya berdiri di situ! Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, masih ta mpak seperti gadis belasan tahun, na mun sinar mata, senyumnya, dan sikapnya menunjukkan bahwa wanita ini sudah matang dan selain pandai me mbawa diri, juga anggun dan bahkan bersikap agung seperti seorang puteri istana saja! Rambutnya hitam subur dan agaknya panjang sekali karena dilipat menjad i sanggul yang besar ke atas, dihias i tusuk sanggul emas permata berbentuk burung Hong (sejenis Cenderawasih), indah dan tentu mahal sekali. Anak rambut hitam halus melingkar- lingkar manja di atas dahi dan kedua pelipisnya, me mbuat wajah berbentuk bulat telur itu ta mpak semakin putih mulus. Sepasang alis hitam melengkung tanpa dibuat me lindungi sepasang mata bintang yang bersinar tajam namun le mbut dan jernih, dengan bulu mata panjang lentik. Hidungnya kecil mancung dengan ujung agak menjungat sehingga mendatangkan kesan lucu. Mulutnya menggairahkan dengan sepasang bibir yang lunak, tipis na mun penuh, kemerahan kalau bicara bergerak-gerak hidup. Senyu mnya menawan dan kilatan gigi putih rapi berderet teramat manis. Selain wajah yang a mat cantik jelita ini, tubuh wanita itu pun ramping padat dengan lekuk lengkung se mpurna, terbungkus pakaian dari sutera yang indah. Kakinya me ma kai sandal bulu putih yang bersih, terhias sulaman benang sutera keemasan. Benar-benar penampilan seorang wanita yang sepantasnya tinggal di antara awan-awan bersa ma Kwan Im Pouwsat (Dewi Maha Kzasih)!

Li Cu Seng adalah seorang pendekar yang tidak termasuk seorang terpelajar tinggi, lebih tepat disebut seorang ahli silat. Selama ini dia sibuk dengan perjuangan, hidup di dunia kang- ouw (sungai-telaga, dunia persilatan), bahkan tidak menghiraukan keluarganya, tidak mudah tertarik oleh wanita cantik. Akan tetapi sekali ini dia merasa seperti mimpi bertemu seorang dewikz! Inikah yang oleh pelayan disebut Kim Hujin? Seorang Nyonya? Apakah ia isteri dari Panglima Besar Bu Sam Kwi?

"Maaf, Nona, kalau kunjungan kami ini mengganggu." kata Li Cu Seng sambil menatap wajah wanita itu dengan kekagu man terbuka. Wanita cantikitu tersenyum, bukan oleh ucapan yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu, melainkan karena ia melihat pandang mata kagum itu. Ah, betapa setiap orang pria me mandangnya seperti itu kalau bertemu dengannya! Ia sudah terbiasa, akan tetapi biasanya laki-laki yang memandang kagum mencoba untuk menyembunyikan kekagu man mereka, tidak seperti laki- laki ini yang me mper lihatkan kekagu mannya secara terbuka. Juga ia geli mendengar sebutan nona itu.

"Aku bukan nona, melainkan seorang diantara selir-selir Panglima Besar Bu Sam Kwi." kata wanita itu sa mbil tersenyum sehingga wajahnya menjadi se makin menarik. "Sa m-wi (kalian bertiga) siapakah dan benarkah kalian diutus Panglima Bu untuk berkunjung ke sini?"

"Maafkan kami, Nyonya, kami adalah utusan Panglima Bu. Saya she Cu dan mereka ini kakak beradik she Kam. Kami adalah perwira-perwira pembantu Panglima Bu. Kami diutus mengabarkan bahwa keadaan Panglima Bu di sana baik-baik saja dan kami disuruh menanyakan keadaan keluarga beliau di sini."

"Hemm, keluarga Panglima Bu yang tinggal di sini hanya aku seorang, dan para pelayan. Semua anggauta keluarga telah diboyong ke San-hai-koan!" wanita itu me mandang tajam penuh selidik.

"Ka mi mengerti, Toanio (Nyonya Besar). "

"Hemm, jangan menyebut aku Nyonya besar! Namaku Kim Lan Hwa dan aku lebih suka disebut Nyonya Kim begitu saja!"

"Baiklah, Nyonya Kim. Kami sudah tahu bahwa sebagian besar anggauta keluarga Panglima Bu sudah diboyong ke sana, justeru Panglima Bu menyuruh kami datang mengunjungimu, Nyonya. Beliau meng khawatirkan keadaanmu di sini."

Wajah yang cantik itu berseri, matanya bersina-sinar. "Aih, Panglima Bu de mikian sayang padaku, sungguh me mbuat aku merasa bahagia sekali! Memang keadaan di sini ah,

bagaimana kalau dua orang teman mu ini disuruh menjaga di luar kedua pintu depan dan belakang agar jangan ada yang ikut mendengarkan percakapan kita? Aku me mpunyai banyak hal yang akan kusa mpaikan kepada Panglima Bu lewat engkau, Cu sicu (orang gagah Cu)." Li Cu Seng berkata kepada dua orang pembantunya. "Kalian berjagalah, seorang di luar pintu depan dan seorang lagi di luar pintu sebelah dalam itu."

Gu Kam lalu keluar dan berjaga di pintu luar dari mana tadi mereka masu k, sedangkan Giam Tit berjaga di luar pintu dalam dari mana tadi Kim Lan Hwa me masuki ruangan tamu.

Setelah kini berada berdua saja dengan Li Cu Seng, Kim Lan Hwa berkata dengan suara lir ih. "Cu-sicu, laporkan kepada Panglima Bu bahwa keadaan kota raja kini terasa tegang. Menurut kabar pasukan pemberontak telah mulai menuju ke kota raja. Sribaginda Kaisar telah memer intahkan semua pasukan pemerintah ditarik ke kota raja untuk melindungi kota raja. Bahkan telah dikirim utusan kepada suamiku, Panglima Bu, agar me mbawa pasukannya kembali ke sini. Akan tetapi aku mendengar bahwa Panglima Bu tidak menghiraukan perintah itu. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan dan amarah para Thaikam yang menuduh Panglima Bu sengaja me mbiarkan kota raja terancam oleh pasukan pemberontak. Karena anggauta keluarga Bu hanya tinggal aku seorang di sini, maka mereka mulai me lontarkan kata-kata tidak enak terhadap aku. Aku takut sekali, Sicu! Apalagi aku mendengar bahwa pemberontak Li Cu Seng dan anak buahnya yang amat banyak itu benci sekali kepada para pejabat pemerintah Kerajaan Beng. Kalau sampai kota raja mereka serbu dan mereka duduki, tentu bahaya besar menganca m diriku sebagai seorang selir Panglima Besar Bu Sam Kwi!" Wanita yang cantik itu mulai ge metar dan tampa k sekali ia me mang ketakutan.

"Akan tetapi, Nona Kim "

"Nyonya, bukan Nona..." Kim Lan Hwa me motong.

"Ketika Panglima Bu me mboyong se mua anggauta keluarga dari sini ke San-hai-koan, mengapa Nona tidak ikut pergi?" Mendengar Li Cu Seng kemba li menyebut Nona Kim Hwa tidak perduli lagi. Ia meng hela napas panjang. "Biarlah aku berterus terang agar engkau mengerti duduknya perkara, Cu-sicu. Sebetulnya tidak semestinya hal ini kuceritakan kepada orang lain. Akan tetapi entah mengapa, aku percaya padamu. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah seorang penyanyi yang terkenal di empat propinsi utara. Panglima Bu Sam Kwi menga mbil aku sebagai seorang selir dan se menjak itu, isteri dan para selir lain dari Panglima Bu a mat me mbenciku... mungkin karena....

Panglima Bu a mat sayang kepadaku.... mereka menjad i iri hati dan cemburu. Maka ketika Panglima Bu menyuruh pasukan menje mput keluarganya dari sini dan diboyong ke San-hai- koan, Nyonya Bu me mpergunakan kekuasaannya sebagai isteri pertama, me maksa aku agar tidak ikut dan tinggal di sini untuk menjaga ruma h. Tentu saja mereka berharap agar kalau pemberontak menyerbu kota raja, aku akan disiksa dan dibunuh pe mberontak yang me mbenci para bangsawan dan keluarga mereka. Aih, aku khawatir sekali, Sicu... aku takut sekali ..." Wanita itu mulai menangis. Rasa takutnya selama ini, se menjak ditinggalkan seorang diri di gedung itu bersama sisa para pembantu yang tidak diikutsertakan boyongan ke San-hai-koan, ia tahan-tahan dan sekarang rasa takut yang ditahan itu jebol sehingga ia menangis tersedu-sedu, menutup i mukanya dengan saputangan yang dipegang kedua tangan.

Li Cu Seng merasa kasihan. Seorang wanita cantik jelita itu kalau tersenyum, me mbuat orang lain merasa ge mbira, akan tetapi kalau menang is, me mbuat hati yang keras seperti hati Li Cu Seng menjadi lunak dan penuh iba! Dia membiarkan saja wanita itu me nangis me ngeluarkan segala rasa takut dan kesedihan bersama air mata. Setelah tangisnya mereda, dia berkata, "Nona Kim, hentikan tangis mu. Jangan takut dan jangan bersedih. Saya akan melindungimu dari marabahaya!"

Kim Lan Hwa menghapus air matanya dengan sepasang mata kemerahan dan me mbengkak ia me mandang wajah Li Cu Seng. "Ah, terima kasih, Cu-sicu, Aku mohon pada mu, sicu.... kalau sicu kembali ke San-hai-koan, bawalah aku serta, Sicu"

Mendengar per mintaan ini, bingung juga hati Li Cu Seng. Tentu saja dia tidak dapat me mbawa wanita ini, karena dia sama sekali tidak akan pergi ke San-hai-koan, melainkan me mimpin pasukannya menyerbu ke kota raja!

Melihat keraguan wajah pria itu, Kim Lan Hwa menjulurkan kedua tangannya dan menyeberangi meja, me megangi lengan kiri Li Cu Seng. "Bawalah aku, Sicu, dan jangan takut. Akulah yang akan bertanggung jawab kalau Panglima Bu marah. Dia tidak mungkin marah padaku, dan dia bahkan akan merasa senang sekali kalau aku menyusul ke sana. Aku ja min engkau tidak akan disalahkan, Cu-sicu!"

Li Cu Seng merasa betapa lunak dan hangat jari-jari tangan yang me megang lengannya itu dan hatinya tergetar. Belum pernah dia begini terpesona terhadap seorang wanita! Tanpa disadarinya, tangan kanannya juga ditumpangkan ke atas tangan wanita itu dan ditekannya dengan penuh perasaan.

Posting Komentar