“Heiiit, luput lagi, Moli! Ha-ha, engkau kurang cepat, kurang kuat dan sudah loyo, heh-heh- heh!”
Dipermainkan dan diejek seperti itu, nenek itu menjadi semakin marah dan ia mengejar ke mana saja Pek Mau Lokai berlari, dan terus menyerang bertubi-tubi dengan tongkatnya.
“Wuuttt!” Tongkatnya menyambar-nyambar, mendatangkan angin pukulan yang membuat rambut putih pengemis tua yang riap-riapan itu berkibar-kibar, dan terdengar suara berdesingan ketika tongkat menyambar. Agaknya, nenek yang sudah marah sekali itu telah mengerahkan seluruh tenaganya, namun gerakan si pengemis tua memang lincah dan ringan sehingga semua serangannya dapat dihindarkan dengan elakan dan kadang juga dengan tangkisan tongkatnya.
“Hayyaaaa, hampir kena, tapi luput! Moli, apakah hanya begini kepandaianmu? Hayo cepat keluarkan semua simpananmu, jangan membikin malu saja. Orang seloyo engkau ini hendak menjadi Beng-cu? Memalukan dan menyedihkan!” Kembali Pek Mau Lokai mengejak sambil tertawa-tawa.
Mula-mula Cu Goan Ciang khawatir sekali mendengar ucapan pengemis tua itu yang dianggapnya terlalu memandang rendah lawan. Pada hal dia tahu bahwa kakek pengemis itu belum tentu menang. Akan tetapi, ketika dia mendengar pernapasan nenek itu mulai terengah, mengertilah dia akan maksud Pek Mau Lokai. Sepasang Iblis Tua Sungai Kuning yang sudah tua renta itu memang lihai bukan main dan kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan kekerasan, tentu akan sukar sekali mengalahkan mereka. Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang dipergunakan Pek Mau Lokai adalah mengambil keuntungan dari ketuaan lawan, yaitu daya tahan dan pernapasannya. Diapun segera mencontoh pengemis tua itu dan mulailah Cu Goan Ciang mengelak dan menghindar dengan berlari-lari menjauhkan diri dan membiarkan kakek itu terus menyerang dan mengejarnya. Dengan cara ini dia menyimpan tenaga dan menguras tenaga lawan. Biarpun dia tidak sepandai Pek Mau Lokai dalam hal menggoda dan mengejek, namun Cu Goan Ciang berusaha memanaskan hati lawan dengan mentertawainya, setiap kali serangan kakek itu luput.
“Ha-ha, luput, kek. Masih ada lagi seranganmu yang lebih keras? Jangan segala macam serangan tahu kaukeluarkan!” Dia mengejek.
Huang-ho Siang Lomo adalah dua orang datuk tua yang terlalu tinggi hati dan memandang rendah semua lawannya. Kinipun mereka berdua tidak tahu akan siasat yang dipergunakan Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang. Mereka mengira bahwa lawan mereka itu mulai gentar, maka hanya mengelak dan berputaran, bahkan berlarian. Hal ini membuat mereka semakin besar hati dan penuh semangat untuk segera merobohkan lawan dan mereka makin mengerahkan tenaga dan terus mengejar dan menghujankan serangan maut. Justeru inilah yang dikehendaki Pek Mau Lokai dan yang dicontoh oleh Goan Ciang.
Setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah kelihatan hasilnya. Sepasang kakek nenek itu mulai kehabisan napas. Tubuh mereka basah oleh peluh, dari ubun-ubun kepala mereka mengepul uap dan napas mereka terengah-engah, tenaga mereka mulai menurun cepat sehingga gerakan mereka tidak lagi sekuat dan secepat tadi. Sungguhpun semangat mereka masih besar, namun menyedihkan dan menggelikan melihat mereka kini terpincang-pincang dan terengah-engah melanjutkan penyerangan mereka dengan napas yang empas-empis. Kalau Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk merobohkan dua orang lawan yang sudah kehabisan tenaga dan napas itu. Akan tetapi Pek Mau Lokai agaknya tidak mau melakukan hal ini dan Cu Goan Ciang juga mengikuti jejaknya, tidak mau merobohkan kedua orang itu. Akhirnya, karena kehabisan tenaga, Thian Moko dan Tee Moli tidak kuat berdiri lagi dan seperti kain basah, tubuh mereka terkulai roboh sendiri di atas panggung!
Sorak-sorai menyambut kemenangan Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, dan Pek Mau Lokai yang berdiri di atas panggung berseru dengan suara yang lantang nyaring karena dia mengerahkan khi-kang, “Saudara sekalian! Jelas bahwa yang menjadi pemenang adalah Cu Goan Ciang dan dia yang berhak menjadi Beng-cu!”
Para tokoh yang berada di situ mengangguk-angguk dan terdengar sorak-sorai menyetujui pengangkatan Cu Goan Ciang sebagai Beng-cu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gegap gempita dan pasukan pemerintah yang secara diam-diam telah mengepung tempat itu, kini maju menyerbu!
Para pimpinan Hwa I Kaipang tidak terkejut melihat penyerbuan ini, Cu Goan Ciang memang sudah mendapat berita dari Shu Ta tentang siasat pemerintah yang hendak menggunakan dua cara, yaitu pertama, merebut kedudukan Beng-cu agar terjatuh ke tangan orang-orang yang pro pemerintah dan kalau hal ini gagal, pasukan akan menyergap dan menangkapi pihak pemenang kedudukan Beng-cu yang tidak mendukung pemerintah Mongol. Kalau Pek Mau Lokai melanjutkan pemilihan Beng-cu, hal itu hanya untuk mencapai satu sasaran, yaitu agar dunia kang-ouw lebih dahulu mengakui Cu Goan Ciang sebagai pemimpin karena hal ini kelak akan memudahkan pemuda itu bergerak mengumpulkan dan menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah.
Seperti yang telah mereka rencanakan, begitu pasukan menyerbu, Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang memimpin anak buah mereka untuk melarikan diri, melalui lereng bukit yang sudah mereka rencanakan. Mereka bertemu pasukan yang menghadang di tempat itu dan terjadi pertempuran mati-matian. Para anggota Hwa I Kaipang yang dipimpin tiga orang ketua daerah, yaitu Lee Ti ketua daerah barat, Pouw Sen ketua daerah timur, dan Kauw Bok ketua daerah selatan, dengan anak buah sebanyak kurang lebih seratus orang, mengamuk.
Pek Mau Lokai, Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang sendiri dikeroyok belasan orang perwira Mongol yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sehingga terjadi perkelahian yang seru.
“Goan Ciang, Yen Yen, cepat kalian pergi!” berulang-ulang kakek Pek Mau Lokai berteriak, menyuruh kedua orang muda itu pergi.
“Tidak, aku harus menemanimu melawan anjing-anjing busuk ini!” bantah Yen Yen penuh semangat dan tongkat merobohkan seorang pengeroyok.
“Kita harus lari bersama atau mati bersama!” kata pula Goan Ciang dengan gagah.
Pek Mau Lokai mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dua orang perwira roboh. “Bodoh kalian!” bentaknya kepada cucunya dan Goan Ciang. “Goan Ciang, apakah cita- citamu harus berhenti sampai di sini saja? Yen Yen, engkau harus menemani Goan Ciang sampai dia berhasil dengan perjuangannya. Aku sudah tua, aku yang harus mencegah mereka mengejar kalian. Cepat pergi!” suaranya mengandung wibawa dan Cu Goan Ciang mengerti. Dia tahu bahwa kalau pasukan bantuan tiba, mereka semua pasti akan mati konyol. Dia menyambar tangan Yen Yen dan menariknya lari dari situ.
“Pangcu, selamat tinggal!” teriak Goan Ciang.
“Kong-kong, jaga dirimu baik-baik,” kata pula Yen Yen dengan suara sedih.
Akan tetapi Pek Mau Lokai tidak sempat menjawab karena dia sudah mengamuk untuk mencegah para perwira melakukan pengejaran terhadap Cu Goan Ciang dan Yen Yen. Gerakan kakek ini amat dahsyat dan siapa yang berani melewatinya untuk mengejar, tentu roboh. Akan tetapi, muncullah Coa Kun dan sepasang kakek nenek yang tadi kehabisan napas. Mereka telah agak pulih dan kini mereka ikut mengeroyok Pek Mau Lokai.
Betapapun lihainya Pek Mau Lokai, dikeroyok demikian banyaknya lawan tangguh, dia menderita luka-luka dan roboh, akan tetapi anak buah Hwa I Kaipang mencoba untuk menolong dan melindunginya. Kakek perkasa, tokoh utama Hwa I Kaipang itu seperti tenggelam dalam tumpukan mayat yang berserakan.
Anak buah Hwa I Kaipang kocar-kacir. Banyak yang tewas, sebagin melarikan diri. Cu Goan Ciang dan Yen Yen berhasil menyelamatkan diri dengan perahu yang sudah dipersiapkan sebelumnya sehingga para pengejar hanya dapat melihat dari tepi sungai dan mencoba untuk menyerang dengan anak panah. Namun perahu sudah terlalu jauh dan tidak terjangkau anak panah. Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen selamat.
Di tempat persembunyian mereka, di sebuah bukit kecil di lembah Yang-ce, mereka mendengar berita tentang kematian Pek Mau Lokai dan para anggota Hwa I Kaipang, dari mereka yang berhasil lolos dari sergapan pasukan pemerintah. Mendengar akan tewasnya kakeknya, walaupun hal itu sudah dikhawatirkannya dan juga tidak ada yang menyaksikan sendiri tewasnya kakek yang gagah perkasa itu, Yen Yen menangis sesenggukan dengan hati penuh duka. Kematian kakeknya itu membuat ia merasa kehilangan segalanya. Kehilangan kakek, guru, pengganti orang tuanya. Sejak kecil ia ditinggal mati ayah ibunya dan dirawat oleh kakeknya penuh kasih sayang. Kini kakeknya tewas tanpa ia ketahui, bahkan jenazah kakeknyapun tidak dapat ia urus. Kenangan terakhir tentang kakeknya adalah ketika kakeknya dikeroyok banyak orang dan terpaksa ia meninggalkan kakeknya yang terancam bahaya. “Ahh, kenapa aku harus meninggalkannya? Aku seharusnya membantunya dan mati bersamanya...” ia meratap.
“Yen-moi, tenanglah,” Goan Ciang menghibur. “Engkau tahu benar bahwa kita meninggalkan kakek di sana bukan karena kita takut mati. Aku mengerti kakek benar. Kalau kita berdua nekat dan mati bersama, lalu bagaimana dengan perjuangan? Kita disuruh tetap hidup agar kita dapat melanjutkan perjuangan ini, menghancurkan penjajah. Mengertikah engkau, Yen- moi?”
“Tapi... toako, kong-kong telah tewas... berarti aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, aku sekarang sebatang kara... aku tidak punya siapa-siapa lagi...”
“Hemm, lupakah engkau bahwa engkau masih mempunyai aku, Yen-moi?” Ucapan Goan Ciang itu disertai pandang mata yang penuh kasih sayang, mendatangkan rasa haru dalam hati Hui Yen dan iapun menubruk pemuda itu sambil menangis. Cu Goan Ciang merangkulnya dan pemuda ini maklum bahwa dia telah menemukan pengganti mendiang Kim Lee Siang.
“Aku sudah berjanji kepada kong-kong,” bisiknya, “kita menikah setelah aku berhasil membunuh Khabuli, dan engkau malah yang membantuku sehingga dendam itu dapat terbalas.”
“Koko... ah, koko... terima kasih...” Yen Yen terisak.