Keluhan dan pertanyaan yang setiap saat mengusik hati dan pikiran kita dengan pertanyaan- pertanyaan, “kenapa engkau begitu tidak begini, kenapa engkau dan dia, begini tidak seperti yang kuharapkan dan kukehendaki?” seyogyanya diubah sedemikian rupa sehingga pertanyaan itu menjadi, “kenapa aku selalu begini, mau menang sendiri, pemarah, pencemburu, pengiri, penakut?” dan dengan demikian kita dapat melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Kita yang harus berubah! Dan perubahan ini, kalau terjadi dengan sungguh-sungguh, bukan dibuat-buat, bukan palsu, pasti akan mendatangkan perubahan pula kepada orang lain yang kita hadapi! Bukan kosong belaka petuah yang mengatakan, “hadapi kebencian orang kepada kita dengan kasih sayang kepada orang itu.” Kalau kasih sayang kita sungguh-sungguh, maka kebencian yang berkobar di hati orang itu pasti akan padam!
Berusaha, berikhtiar sebaiknya dan semampu kita, merupakan wajib. Bagaimana akhir usaha itu? Kita serahkan saja kepada Tuhan Maha Pengasih! Tuhan Maha Adil! Kalau bibit yang ditanam itu baik, cara menanamnya dan memeliharanya juga baik, besar sekali harapannya akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan bunga dan buah yang baik pula. Tujuan memperoleh hasil panen yang baik tanpa bekerja keras dan tekun, tidak ada gunanya sama sekali, sebaliknya dengan bekerja keras dan tekun hampir dapat dipastikan mendatangkan hasil panen yang baik. Mendengar ucapan muridnya itu, Bouw In tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kaulihat, sute. Kita memang ketinggalan jaman, walaupun yang ketinggalan jaman atau dianggap kuno ini belum tentu salah dan yang menamakan dirinya maju itu belum tentu benar. Nah, mari kita selesaikan urusan di antara kita. Kalau aku kalah olehmu, sudahlah, aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan Beng-cu ini seperti juga engkau.
Akan tetapi kalau engkau yang kalah, harap jangan menghalangiku lagi.”
“Omitohud, pinceng tahu bahwa pinceng tidak akan menang melawanmu, suheng. Akan tetapi, pinceng siap mengorbankan nyawa demi menjaga nama baik Siauw-lim-pai dan menarikmu kembali ke jalan benar.”
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Mereka memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lutunya, dan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian keduanya menggerakkan kedua kaki, ditarik merapat lalu tumit diangkat, berdiri di atas jari-jari kaki, kedua tangan dipentang di atas kanan kiri membentuk sayap burung. Mereka seperti dua ekor burung rajawali yang hendak terbang dan berhadapan! Kelihatan lucu dan indah, akan tetapi Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si yang mengenal pembukaan jurus ilmu silat Rajawali Sakti itu memandang dengan hati berdebar tegang. Mereka tahu bahwa ilmu silat itu dirangkai oleh kedua orang kakek itu! Dan kini mereka hendak mempergunakan ilmu yang dirangkai bersama-sama itu untuk saling serang! Dua orang ini maklum betapa hebat dan dahsyatnya ilmu itu, apalagi kalau dimainkan oleh dua orang penemunya!
Bagaikan dua ekor rajawali, dua orang kakek itu mulai bergerak dan saling serang. Gerakan mereka sama. Sepasang tangan digerakkan seperti sepasang sayap yang menampar dari kanan kiri, dan sepasang kaki bergerak menendang-nendang seperti sepasang cakar burung rajawali mencakar dan menendang. Gerakan mereka kadang cepat kadang lambat, namun yang hebat adalah hawa pukulan mereka yang menyambar-nyambar dahsyat, sehingga angin pukulannya terasa oleh semua yang hadir, bahkan oleh mereka yang berada di bawah panggung.
Panggung itu sendiri bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara gemeretak, seolah dapat ambruk sewaktu-waktu!
Bahkan Pek Mau Lokai dan juga sepasang Huang-ho Siang Lomo sendiri memandang kagum karena mereka maklum betapa lihai kedua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Yang dapat mengikuti pertandingan itu dengan cermat adalah Cu Goan Ciang dan Coa Leng Si karena mereka telah menguasai ilmu itu, akan tetapi mereka kini maklum bahwa belum sepenuhnya mereka menguasai Sin-tiauw ciang-hoat itu.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya keluar sebagai pemenang dalam pertandingan antara dua orang kakak beradik seperguruan itu. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang, apa lagi ilmu silat Rajawali Sakti itu merupakan hasil rangkaian mereka berdua! Setiap gerakan lawan telah mereka kenal dan mereka ketahui perkembangannya sehingga tentu saja mereka selalu dapat menghindarkan diri dengan tangkisan maupun elakan. Akhirnya, karena mengandalkan ilmu silat mereka tidak mungkin keluar sebagai pemenang, untuk menentukan siapa yang lebih kuat, kini mereka lebih mengandalkan kekuatan tenaga sakti mereka!
“Dess...!!” Untuk ke lima kalinya, mereka mengadu tenaga dengan menyalurkan sin-kang melalui sepasang tangan yang didorongkan ke depan, kedua pasang telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Lauw In Hwesio hampir terpelanting sehingga terpaksa dia meloncat ke samping dan merangkap kedua tangan depan dada sambil memuji, “Omitohud...!!” Diam-diam dia maklum bahwa dalam mengadu tenaga sin-kang dia masih kalah setingkat dibandingkan suhengnya. Walaupun mungkin tidak diketahui orang lain, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dia berada di pihak yang kalah.
“Uhhh...!!” Bouw In terbatuk dan muntahkan sedikit darah segar dan diapun terhuyung- huyung.
“Suhu...!!” Coa Leng Si berseru dan meloncat ke dekat gurunya dan memegang lengan gurunya agar tidak sampai gurunya terjatuh. Bouw In tersenyum, mengusap darah dari bibirnya dan mengangguk-angguk.
“Hemmm, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Lauw In Sute. Aku mengaku kalah!” Kemudian, kakek itu memutar tubuhnya menghadapi Coa Kun dan berkata, “Coa-pangcu, aku sudah kalah oleh suteku, maka terpaksa aku memenuhi janji dan tidak mencampuri lagi urusan pemilihan Beng-cu ini.” Setelah berkata demikian, dia lalu turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Lauw In Hwesio merasa girang bukan main. Dia tahu bahwa sebetulnya dia yang kalah, dan suhengnya itu telah mengaku kalah dan dengan ilmunya telah mengeluarkan darah dari mulut. Hal ini menunjukkan bahwa suhengnya telah menyadari kekeliruannya dan tidak mau lagi diperalat orang lain untuk menjadi Beng-cu. Tentu saja Lauw In Hwesio merasa girang bukan main.
“Terima kasih, suheng!” katanya sambil merangkap kedua tangan depan dada menghadap ke arah perginya Bouw In. Ucapan itu dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga tentu saja dapat terdengar oleh suhengnya. Diapun menghadap ke arah kedua pimpinan tuan rumah. “Omitohud... pinceng telah menyelesaikan tugas pinceng dan akan meninggalkan pertemuan ini. Terserah kepada cu-wi (anda sekalian) tentang siapa yang akan dipilih menjadi Beng-cu. Hanya pinceng pesan agar jangan cu-wi meninggalkan kerukunan di antara orang segolongan, tidak lupa untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal.”
“Suhu...!!” Cu Goan Ciang sudah mendekati gurunya dan memberi hormat. “Suhu tentu mengetahui bahwa teecu melakukan semua ini demi negara dan bangsa, mohon suhu sudi memaafkan teecu.”
“Omitohud, semoga Yang Maha Kuasa memberkahimu, Siauw Cu. Lupakah engkau akan riwayat dahulu, ketika beberapa orang murid Siauw-lim-pai melibatkan diri dengan urusan politik, akibatnya kuil Siauw-lim-si dibakar dan banyak murid Siauw-lim-pai dibunuh? Tugas kami menyebar pelajaran agama untuk menyadarkan manusia dari kesesatannya dan kembali ke jalan yang benar, bukan mencampuri urusan pemerintahan. Oleh karena itu, tak seorangpun murid Siauw-lim-pai boleh melibatkan diri dalam urusan politik sehingga akan menyeret nama baik Siauw-lim-pai. Kini, semua yang hadir menjadi saksi bahwa kami tidak lagi mengakui engkau sebagai murid dan sejak ini, semua sepak terjangmu tidak ada sangkut- pautnya dengan Siauw-lim-pai. Selamat tinggal!” Hwesio itu lalu melompat turun dari panggung, diikuti pandang mata Cu Goan Ciang. Ia tidak merasa bersedih karena maklum bahwa gurunya itu tidak melarangnya, hanya ingin agar Siauw-lim-pai tidak terbawa-bawa dalam perjuangannya. Gurunya benar. Pada hal dia tahu benar bahwa di lubuk hati para pendeta Siauw-lim-pai, mereka tidak senang melihat nusa bangsa dijajah orang Mongol. Namun, demi keamanan dan kelancaran tugas mereka menyebar luaskan agama, mereka tidak ingin terlibat urusan pemberontakan.
Selagi dia berdiri termangu, nampak bayangan berkelebat dan kini sepasang kakek dan nenek Huang-ho Siang Lomo telah berdiri di hadapannya. “Cu Goan Ciang, engkau ini orang muda yang bahkan tidak diakui oleh gurumu sendiri, dan engkau berani mengajukan diri sebagai calon Beng-cu?” teriak Tee Moli dengan suaranya yang parau.
“Hi-hi-hik!” Suaminya tertawa dengan suaranya yang tinggi. “Kami, Huang-ho Siang Lomo maju sebagai pasangan suami isteri, dan kami yang akan menjadi Beng-cu, kami berdua.
Beranikah engkau melawan kami, Cu Goan Ciang?” tantang laki-laki tua renta yang nampak loyo akan tetapi yang tadi dengan mudahnya mengalahkan Tay-lek Kwi-ong itu.
Sebelum Cu Goan Ciang menjawab, Pek Mau Lokai sudah berada di situ dan tertawa, “Ha- ha-ha, agaknya saking sudah terlalu tua, kalian menjadi pikun, Huang-ho Siang Lomo! Selain Cu Goan Ciang, masih ada aku di sini yang tadipun dipilih menjadi calon Beng-cu. Akan tetapi, kalaupun aku yang menang, kedudukan itu akan kuserahkan kepada Cu Goan Ciang.
Dialah yang paling cocok untuk menjadi pemimpin dunia kang-ouw. Dia masih muda, penuh semangat, gagah perkasa, berjiwa pahlawan tidak seperti kalian yang menjadi penjilath penguasa. Juga kalian hendak main curang, maju berdua menantang Cu Goan Ciang. Aku masih ada di sini, dan kalau kalian maju berdua, Cu Goan Ciang dan aku yang akan menghadapi kalian. Jadi dua lawan dua. Bukankah hal ini adil sekali, saudara sekalian?”
Teriakan Pek Mau Lokai ini disambut oleh sorakan yang riuh karena semua orang menyetujuinya. Mereka semua adalah orang-orang dari dunia persilatan yang rata-rata menghargai kegagahan. Kecurangan sikap sepasang kakek dan nenek tadi membuat mereka penasaran dan kini di dalam hati mereka mendukung Cu Goan Ciang!
Huang-ho Siang Lomo menjadi marah. “Jembel tua bangka busuk, kaukira aku takut melawanmu?” bentak Tee Moli. Nenek ini memang lebih galak dari suaminya dan iapun sudah menggunakan tongkatnya untuk menyerang Pek Mau Lokai dengan dahsyat. Pek Mau Lokai maklum akan kelihaian nenek loyo itu, maka diapun cepat mengelak dan memutar tongkatnya. Mereka sudah saling serang dengan cepat.
“Cu Goan Ciang, bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Thian Moko berseru dan kakek inipun menggerakkan tongkatnya menyerang. Cu Goan Ciang menyambar tongkat yang dilontarkan Yen Yen untuk kedua kalinya kepadanya dan diapun menyambut serangan kakek itu dengan tongkatnya. Terjadilah pertandingan yang hebat di atas panggung antara dua pasangan. Mereka semua menggunakan tongkat, dan baik Goan Ciang maupun Pek Mau Lokai memainkan ilmu tongkat Hom-mo-tung menghadapi sepasang kakek dan nenek yang lihai itu.
Para penonton merasa tegang sekali melihat perkelahian yang benar-benar amat hebat itu. Biarpun sudah tua renta, namun kakek dan nenek itu ternyata masih memiliki tenaga yang kuat dan gerakan merekapun masih cepat. Bahkan Cu Goan Ciang yang memiliki dua ilmu yang ampuh, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat dan Hok-mo-pang, harus mengakui bahwa belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang begini ulet dan lihai. Serangan-serangan tongkat kakek itu yang menotok ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, menunjukkan bahwa kakek itu seorang ahli totok yang lihai sekali. Satu kali saja tubuhnya terkena totokan itu, tentu akan berakibat celaka baginya. Diapun mengerahkan tenaganya dan berusaha membalas serangan lawan, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh kakek tua renta yang kelihatan loyo namun ternyata lihai bukan main itu. Setiap kali tongkatnya beradu dengan tongkat Thian Moko, dia merasa betapa tangannya tergetar dan panas. Ternyata Thian Moko yang tua renta itu masih tangkas dan kuat sekali.
Pertandingan antara Pek Mau Lokai melawan Tee Moli juga terjadi dengan seru dan seimbang. Tee Moli yang sudah tua itupun ternyata amat tangguh seperti suaminya. Sungguh mengherankan sekali kakek dan nenek tua renta ini, walaupun kalau berjalan biasa saja harus dibantu tongkat, kini begitu bertanding, seolah mereka itu memperoleh tenaga baru dan mereka dapat bergerak dengan tangkas dan kuat seperti orang-orang muda saja.
Akan tetapi, berbeda dengan Cu Goan Ciang yang membalas serangan lawannya dengan dahsyat, Pek Mau Lokai yang menghadapi Tee Moli itu seperti orang bermain-main saja! Pada hal, tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kakek pengemis itu lebih banyak mengelak, bahkan berlari-lari dan berputaran di atas panggung sambil mengejek lawan.