Goan Ciang menoleh ke arah hwesio itu dan menjura dengan sikap hormat sambil berkata, “Harap suhu memaafkan teecu (murid).”
“Losuhu!” tiba-tiba Yen Yen berseru marah. Sepatutnya losuhu melindungi murid losuhu yang diserang secara curang seperti itu, bukan malah memarahi Cu-twako! Kalau Cu-twako tidak dapat bergerak cepat dengan tongkatnya, tentu dia yang sekarang mati oleh serangan curang itu. Apa losuhu lebih senang melihat dia yang mati dari pada perempuan iblis itu?”
Melihat dirinya diserang gencar oleh gadis yang membela Cu Goan Ciang itu, Lauw In Hwesio tertegun, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata lirih, “Omitohud... Omitohud...!”
Terdengar suara tawa lembut dan Pek Mau Lokai yang tertawa. “Heh-heh-heh, Lauw In Hwesio, orang tua selalu mengandalkan peraturan lama dan peradatan yang kaku, tanpa melihat duduknya persoalan yang sebenarnya. Kita yang tua-tua ini kalah oleh yang muda- muda, karena kita tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Orang-orang muda lebih praktis dan pendapat mereka masuk akal dan luwes. Jang-kiang Sianlu terkenal jahat sehingga sudah sesuai dengan keadilanlah kalau ia menebus semua kelakuan jahatnya dengan kematian. Pula, jelas bahwa ia yang tadi melakukan kecurangan, hal yang amat dipantang oleh orang gagah.
Mati dalam pibu (adu silat) adalah hal yang wajar, kenapa engkau seperti kebakaran jenggot pada hal tidak memelihara jenggot? Ha-ha-ha-ha!” Pengemis tua itu tertawa bergelak.
“Omitohud...!” Lauw In Hwesio menghela napas panjang, dan dia merangkap kedua tangan ke depan dada. “Mulai detik ini, pinceng menyatakan bahwa pinceng tidak mempunyai hubungan apapun dengan Cu Goan Ciang, dan pinceng tidak akan mencampuri urusannya. Pinceng juga tidak akan mencampuri urusan pemilihan Beng-cu, hanya pinceng akan mencegah suheng Bouw In menjadi Beng-cu karena hal itu akan mencemarkan kebersihan nama Siauw-lim-pai. Pinceng telah bicara disaksikan banyak orang dan tidak akan pinceng ubah lagi.”
Ketika perdebatan terjadi, Coa Kun sudah berunding dengan Huang-ho Siang Lomo. Kini dia menyuruh anak buahnya membawa mayat Jang-kiang Sianli turun dari atas panggung dan mayat itu diterima oleh anak buah Jang-kiang-pang, lalu dibawa pergi. Suasana menjadi tenang akan tetapi tegang kembali setelah mayat itu dibawa pergi.
Menurut perhitungan Coa Kun, pihaknya tentu akan menang. Andai kata benar guru puterinya atau iparnya, Bouw In, dihadang dan dikalahkan Lauw In Hwesio, hal yang kiranya tidak mungkin mengingat bahwa Bouw In adalah suheng dari hwesio Siauw-lim-pai itu, yang pasti hal itu merupakan urusan pribadi antara mereka, dan Lauw In Hwesio tentu tidak akan mencampuri pemilihan Beng-cu. Di pihak lawan, yang tinggal hanyalah Cu Goan Ciang dan Pek Mau Lokai. Mereka itu dapat dihadapi dua orang gurunya, Huang-ho Siang Lomo. Besar harapan pihaknya akan menang. Andai kata sebaliknya sekalipun dan kedudukan Beng-cu tidak dapat diraih oleh pihak yang pro pemerintah, sudah direncanakan untuk menimbulkan kekacauan dan menggagalkan pemilihan itu sehingga secara resmi tetap saja tidak ada Beng- cu yang dipilih dan dunia kang-ouw belum menemukan Beng-cu dan karenanya akan mudah diadu domba. Pesan Menteri Bayan melalui kedua anaknya adalah satu antara dua. Rebut kedudukan Beng-cu atau gagalkan pemilihan itu. Pemerintah ingin mengulurkan tangan menjinakkan para tokoh dunia kang-ouw agar membantu pemerintah, kalau hal ini tidak berhasil, dunia kang-ouw harus diadu domba agar timbul perpecahan di kalangan mereka sendiri sehingga mereka menjadi lemah.
Coa Kun sudah berdiri di panggung dan berkata lantang, “Dua orang calon telah dinyatakan kalah dalam pertandingan adu kepandaian. Sekarang diminta agar calon berikutnya maju. Lo- cian-pwe Bouw In dipersilahkan maju dan diharapkan ada calon lain yang berani menguji kepandaiannya!”
Sambil tersenyum Bouw In bangkit dari tempat duduknya dan dengan langkah tenang diapun maju ke tengah panggung. Para penonton menduga-duga sampai di mana tingkat kepandaian laki-laki tinggi besar botak yang selalu tersenyum ini. Akan tetapi pada saat itu, Lauw In Hwesio juga sudah maju ke tengah panggung dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Omitohud, agaknya suheng Bouw In hendak melanjutkan langkahnya yang menyimpang dari kebenaran!” kata Lauw In Hwesio dan kini, tidak seperti biasanya, dia mengangkat muka dan menatap wajah suhengnya itu dengan pandang mata tajam bersinar-sinar, penuh rasa penasaran.
“Hemm, Lauw In Hwesio, kenapa engkau berkepala batu dan hendak menentangku? Sudah kukatakan bahwa aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, dan kalau mulai saat ini aku kauanggap bukan orang Siauw-lim-pai seperti sikapmu terhadap Cu Goan Ciang tadi, akupun tidak akan membantah. Nah, aku bukan hwesio Siauw-lim-pai, bukan pula murid Siauw-lim-pai. Apakah engkau juga masih hendak menghalangiku? Aku bukan menjadi penjahat, melainkan menjadi calon Beng-cu. Apa salahnya memimpin dunia kang-ouw, membawa mereka ke jalan benar?”
“Bouw In Suheng, biar engkau mengaku bukan hwesio dan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi dalam setiap gerakan silatmu, engkau adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai. Dan kalau dalam sepak terjangmu engkau menyimpang dari garis yang ditentukan Siauw-lim-pai, berarti engkau akan mencemarkan nama baik perguruan kita. Pemilihan Beng-cu dalam masa pergolakan seperti ini, hanya akan mendatangkan permusuhan! Baik engkau berada di pihak yang bekerja sama dengan pemerintah, atau di pihak yang menentang pemerintah, bahkan di pihak yang tidak mencampuri politik sekalipun, tetap saja dalam jaman pergolakan seperti ini, engkau hanya akan menghadapi permusuhan dan pertentangan! Suheng, orang seperti kita, sungguh tidak layak untuk membiarkan diri terseret ke dalam kubangan lumpur itu!”
Pada saat itu terdengar suara merdu dan lantang. Coa Leng Si yang melihat gurunya diserang dengan kata-kata oleh hwesio itu, menjadi penasaran sekali dan iapun berkata, “Suhu, teecu kita pendapat losuhu itu ngawur dan kuno! Kalau memang jaman ini bergolak, sudah selayaknya kalau kita yang menyingsingkan lengan baju untuk menanggulangi dan mengatasinya. Yang penting bekerja, bukan bicara! Apakah jaman bergolak itu akan menjadi tenang kalau kita semua hanya bersamadhi di dalam kamar, duduk bersila dan merangkap tangan depan dada, memejamkan mata sampai berhari-hari? Suhu akan terjun langsung ke medan, memimpin dunia kang-ouw, menenteramkan kehidupan rakyat. Itu jauh lebih bermanfaat dari pada sekedar berdoa dan membaca liam-keng (kitab doa) di dalam kuil!”
Ucapan yang berapi-api dan bersemangat dari gadis cantik itu memancing tepuk tangan banyak penonton, terutama kaum mudanya. Bahkan Tang Hui Yen dan Cu Goan Ciang sendiri merasa setuju dan kagum. Akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan pendapat dan pandangan tentang cara pelaksanaan untuk menyumbangkan tenaga demi tercapainya ketenteraman kehidupan rakyat itu. Namun jelas tujuannya sama, hanya caranya yang berbeda! Mungkin pihak Coa Leng Si, menenteramkan rakyat paling baik dengan cara membantu pemerintah, meniadakan pemberontakan dan pengacauan agar kehidupan menjadi tenteram dan damai. Sebaliknya, pihak Cu Goan Ciang beranggapan bahwa yang menjadi sumber atau biang keladi pergolakan jaman adalah adanya pemerintahan penjajah Mongol, oleh karena itu, satu-satunya cara adalah menumbangkan kekuasaan penjajah.
Kita semua selalu tersilaukan oleh gemilangnya tujuan atau cita-cita. Semua cita-cita nampak indah gemilang, membuat kita berebut dan berlomba untuk mendapatkannya. Cita-cita bagaikan nyala api lilin yang indah menarik, membuat banyak binatang malam tertarik dan mereka beterbangan, berlomba mencapai sinar yang terang itu untuk jatuh terbakar dan mati. Kitapun sering terpukau oleh keindahan cita-cita sehingga kita menjadi mabok dan lupa, kita tidak segan menggunakan segala macam cara untuk mencapai cita-cita itu. Kita lupa bahwa tujuan atau cita-cita hanyalah suatu khayalan, suatu gambaran dari keadaan yang belum ada, sedangkan cara untuk mencapainya inilah yang nyata, yang berhubungan langsung dengan kehidupan kita. Cara inilah yang paling penting bukan tujuannya! Bagaimana mungkin cara yang salah dapat membawa kita kepada tujuan yang benar? Bagaimana mungkin kita dapat mencapai sesuatu yang baik kalau kita mengejarnya dengan cara yang jahat?
Kita seperti telah dibikin buta karena silau oleh cemerlang dan indahnya cita-cita. Bahkan banyak terjadi dalam sejarah betapa manusia mengadakan perang dengan tujuan untuk mencapai perdamaian! Betapa aneh, gila dan suatu lelucon yang tidak lucu! Perang terjadi karena satu pihak hendak memaksakan kehendaknya, karena kedua pihak hendak mencari kemenangan. Bagaimana mungkin terjadi kedamaian antara yang menang dan yang kalah? Bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang lain yang baru saja kita pukul hidungnya, atau dengan orang yang baru saja menghajar kita sampai babak belur? Perdamaian yang timbul antara yang kalah dan yang menang merupakan perdamaian paksaan, karena yang kalah terpaksa menaati kehendak yang menang. Mungkin karena merasa kalah, pada lahirnya dia terpaksa mau mengulurkan tangan untuk bersalaman akan tetapi jelas bahwa dalam batinnya, dendam dan penasaran yang ada!
Tujuan menghalalkan segala cara, demikianlah kalau kita terbuai dan tersilaukan cemerlangnya tujuan. Cita-cita menimbulkan pengejaran dan justeru pengejaran inilah yang menjadi sarang dari kekuasaan dan pengaruh daya-daya rendah yang menciptakan nafsu.
Kalau kita tidak waspada, nafsu menguasai batin dan kitapun menjadi lupa diri, lupa bahwa diri ini majikan nafsu, bukan nafsu majikan diri. Banyak sekali contohnya dalam kehidupan ini, di mana kita silau oleh tujuan sehingga membiarkan diri diperhamba nafsu, mengejar tujuan dengan cara apapun. Mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup memang mutlak perlu, kalau kita mau hidup sebagai orang normal. Akan tetapi, tujuan mencari uang dapat mengobarkan nafsu sehingga kita menggunakan cara apa saja dalam pengejaran kita terhadap uang. Terjadilah penipuan, pencurian atau perampokan, korupsi dan sebagainya. Hubungan sex merupakan suatu kewajaran, bahkan mutlak perlu bagi kehidupan dan kelangsungan perkembang biakan manusia. Akan tetapi, kalau kita sudah mengejar-ngejarnya sebagai suatu tujuan, kita dapat lupa diri dan segala carapun kita lakukan demi memperolehnya. Terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Demikian pula, orang memperebutkan kedudukan, nama besar dengan saling hantam, saling jegal, saling bunuh. Bahkan demikian gilanya kita sudah, sehingga untuk tujuan terakhir yang suci dan luhur, seperti keinginan kembali kepada Tuhan, keinginan masuk Sorga sekalipun, kadang diperebutkan dan dipertentangkan! Kalau sudah begitu, tanpa kita sadari akan kemunafikan kita sendiri, kita bahkan tidak malu untuk memperebutkan Tuhan! Semua berkah Tuhan untukku, bukan untukmu dan bukan untuk mereka. Tuhanku sendirilah yang benar, Tuhan kalian dan mereka adalah palsu, dan sebagainya lagi. Dan perang saling membunuh antara manusiapun terjadilah, saling bunuh dengan nama Tuhan, seolah mereka itu masing-masing merasa sebagai suruhan Tuhan untuk membunuh orang lain. Kita tidak menyadari akan hal ini. Akan tetapi kalau kita mau berhenti sejenak, merenungkan semuanya, orang seperti itu terjadi setiap hari, setiap saat dalam hati kita. Bukan hanya perang antar negara, bukan hanya perang antar kelompok dan antar agama, melainkan perang di dalam batin kita sendiri. Konflik terjadi setiap saat, bentrokan kepentingan daya-daya rendah yang saling berebutan untuk menguasai diri kita sebagai manusia. Daya-daya rendah yang membonceng kita itu memang ingin mencari kesempurnaan dan kenikmatan melalui jasmani kita, dan kita tidak sadar bahwa pembonceng-pembonceng itu berebutan untuk menjadi maling dan bahkan menjadi majikan, merajalela dalam batin kita, menguasai kita sepenuhnya!
Apakah kalau begitu kita tidak perlu mempunyai cita-cita dan membuang cita-cita? Pendapat ini sempit sekali. Namun, kalau kita sudah dapat mengerti benar apa sebenarnya cita-cita itu, maka pertanyaan itu tidak akan timbul. Apakah seorang murid akan berhasil menjadi sarjana hanya karena dia memiliki cita-cita untuk menjadi sarjana? Bukankah yang mengantarkan dia menjadi seorang sarjana itu adalah CARA-nya, yaitu ketekunan dan kesungguhannya untuk belajar? Dapatkah seseorang menjadi pedagang yang sukses hanya karena cita-citanya?
Ataukah yang membuat dia berhasil itu karena ketekunan dan kesungguhan dalam pekerjaan itu? Jadi, yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya. Kalau kita menjadi pelajar, kita belajar dengan tekun dan rajin, bersungguh-sungguh, dan tanpa kita cita-citakan sekalipun, kita pasti akan berhasil lulus dalam pelajaran itu. Demikian pula dengan pekerjaan dan sebagainya lagi.
Tidak mungkin mencapai perdamaian atau ketenteraman dengan jalan berperang. Justeru perang itu meniadakan kedamaian. Kalau kita ingin damai? Mudah saja, jangan berperang! Jangan bermusuhan! Kalau tidak berperang otomatis perdamaian ada. Tentu akan timbul bantahan dan sanggahan. Bagaimana kalau pihak sana yang menyerang? Pihak sana yang memulai. Pihak sana yang salah, dan sebagainya lagi. Selalu “pihak sana” yang salah, dan “pihak kita” yang benar. Justeru di sini letaknya pertentangan yang menimbulkan permusuhan. Pertentangan pendapat. Bentrokan kepentingan, bentrokan kebutuhan. Pada hal, yang menjadi kuncinya bukanlah mengubah pihak sana, melainkan mengubah pihak sini.