Rajawali Lembah Huai Chapter 76

NIC

“Heh-heh-heh, kalau hanya melawan raksasa sombong tadi, apa sukarnya? Akan tetapi kalau harus bertanding melawan Pek Mau Lokai, agaknya sukar sekali menang tanpa membunuhnya atau melukai berat. Kalau terlalu mengalah terhadap lawan seperti dia, salah- salah nyawa kita yang melayang,” kata Thian Mokko sambil menoleh dan memandang ke arah Pek Mau Lokai.

“Cu Goan Ciang, majulah! Kini tiba giliran kita!” teriak Jang-kiang Sianli Liu Bi yang sudah meloncat ke tengah panggung dan tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Wanita cantik ini kelihatan marah, matanya mencorong dan mulutnya cemberut, sinar matanya mengandung kebencian.

Goan Ciang bangkit dan menghampiri wanita itu di tengah panggung. Dia masih bersikap tenang walaupun pandang matanya berkilat. “Liu Bi, ketika itu aku masih mengampunimu dan hanya menghajarmu dengan membuntungi lengan saja. Akan tetapi sekali ini, kalau engkau memaksaku, aku pasti akan membunuhmu. Engkau terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Sebaiknya, sebelum terlambat, pergilah dan jangan ganggu aku lagi.” Ucapannya bersungguh-sungguh dan lirih sehingga hanya dapat terdengar oleh Liu Bi dan para tamu yang duduknya di atas panggung, tidak terdengar oleh para tamu di bawah panggung yang saling bicara sendiri. Agaknya pertandingan antara kedua orang itu dinanti dengan hati tegang dan gembira oleh mereka yang haus akan pertandingan yang seru.

“Cu Goan Ciang, engkau ingin aku tidak melanjutkan perkelahian ini? Mudah saja, berlututlah minta ampun kepadaku dan biarkan aku membuntungi tangan kirimu, dan aku tidak akan membunuhmu!”

Cu Goan Ciang tersenyum mengejek. “Liu Bi, engkau memang tak tahu diri! Dengan kedua tanganmu masih lengkap saja engkau tidak akan mampu mengalahkan aku. Apa lagi tanganmu hilang sebelah. Bagaimana engkau akan mampu menandingi aku?” Kalau saja Cu Goan Ciang belum menerima gemblengan dari Pek Mau Lokai, yang melatihnya dengan tekun dan sungguh-sungguh mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepadanya, kiranya Goan Ciang tidak akan berani memandang rendah lawannya. Dia tahu bahwa wanita ini lihai bukan main. Dulupun tingkat kepandaian mereka hanya berselisih sedikit saja dan kalau dia dapat membuntungi dengan mudah tangan Liu Bi, hal itu adalah karena dia menyerang Liu Bi secara tiba-tiba saking marahnya melihat kekasihnya, Kim Lee Siang, tewas membunuh dirim dan Liu Bi menangkis dengan tangan kirinya. Akan tetapi sekarang dia merasa yakin bahwa dia akan mampu mengatasi wanita ini dengan mudah.

Kemarahan Liu Bi memuncak mendengar ejekan itu. Semenjak tangannya buntung, wanita ini telah melatih diri, memperdalam ilmu pedangnya dan selama ini ia telah memperoleh kemajuan yang cukup sehingga ia menganggap bahwa ia akan mampu menandingi Cu Goan Ciang.

“Jahanam busuk, lihat pedangku!” bentaknya karena ia sudah tidak sanggup bicara lebih banyak lagi saking marahnya. Tubuhnya bergerak cepat dan pedangnya menjadi sinar berkilat yang menyambar ke arah dada Goan Ciang!

Cu Goan Ciang cepat mengelak dan dia menggunakan Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti) untuk menghadapi amukan lawan yang memutar pedang itu. Diam-diam ada beberapa orang memperhatikan gerakannya. Pertama adalah Lauw In Hwesio yang diam-diam merasa bangga bahwa muridnya itu kini telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat simpanannya itu. Kedua adalah Bouw In dan muridnya, Coa Leng Si. Kedua orang guru dan murid ini juga kagum dan mereka harus mengakui bahwa ilmu silat Cu Goan Ciang memang hebat. Sin-tiauw ciang-hoat dapat dimainkannya dengan baik sekali, dan melihat gerakannya, pemuda itu jauh lebih tangguh dibandingkan Leng Si dan hanya Bouw In sajalah yang mampu menandingi dan mengalahkannya.

Melihat betapa tunangannya menghadapi pedang yang amat dahsyat itu dengan tangan kosong saja, Tang Hui Yen melemparkan tongkatnya kepada Goan Ciang sambil berseru. “Toako, pakai tongkatku ini!”

Cu Goan Ciang menangkap tongkat itu dan sekali dia memutar tongkat, dia telah memainkan Hok-mo-tung-hoat yang baru saja dia pelajari dari Pek Mau Lokai. “Aihhh...!!” Jang-kiang Sianli menjerit ketika tiba-tiba tongkat itu membuat gerakan berputar dan pedangnya ikut pula terbawa berputar dan tongkat itu, seperti sebuah ular hidup, sudah meluncur melalui tepi pedangnya dan menotok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Untung ia masih dapat menarik lengannya dan meloncat ke belakang.

Wajahnya pucat lalu merah kembali. Hampir saja dalam segebrakan ia kehilangan pedang!

Goan Ciang mengamang-amangkan tongkatnya. “Liu Bi, bertaubatlah dan bubarkan perkumpulan jahatmu, lalu pergilah ke kuil menjadi biarawati, aku akan mengampunimu.” Ucapan ini bukan dimaksudkan untuk menghina, melainkan membujuk dan memberi kesempatan terakhir kepada wanita jahat itu. Akan tetapi, Liu Bi menganggapnya sebagai penghinaan dan sambil mengeluarkan suara melengking panjang, iapun menyerang lagi dengan penuh kemarahan.

Andai kata Goan Ciang tidak memegang tongkat sekalipun, dengan ilmu Sin-tiauw ciang- hoat, dia akan mampu menghadapi pedang Liu Bi dan akan amat sukar bagi wanita itu untuk mengalahkannya. Apa lagi kini ada tongkat di tangannya, dan diapun sudah mahir memainkan Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis), maka gulungan sinar pedang itu makin lama semakin menyempit tertindih oleh gulungan sinar tongkat. Begitu cepat gerakan kedua orang ini sehingga mereka hanya nampak seperti dua bayangan berkelebatan, di antara gulungan sinar pedang dan tongkat.

“Cringg... dukk!” Liu Bi menjerit karena ketika pedangnya tertangkis tongkat dan pedang itu melekat pada tongkat, kaki Goan Ciang telah berhasil menendang dan mengenai pahanya, membuat ia terpelanting roboh. Goan Ciang memandang kepada wanita itu. Bagaimanapun juga, wanita ini pernah jatuh cinta kepadanya dan menariknya menjadu suami. Melihat wanita itu telah roboh dan menyeringai kesakitan, hatinya tidak tega dan diapun membalikkan tubuh membelakanginya. “Pergilah kau!” katanya, menahan kemarahan yang timbul karena kembali dia teringat akan kematian Kim Lee Siang.

Liu Bi bangkit berdiri sambil merintih. Tulang pahanya yang terkena tendangan terasa nyeri bukan main, mungkin tulangnya retak. Sambil meringis ia bangkit berdiri di belakang Goan Ciang, mukanya menunduk dan suaranya gemetar ketika berkata, “Aku... aku...” Tiba-tiba Hui Yen menjerit.

“Toako, awas...!!” Namun agaknya terlambat karena pada saat itu, sama sekali tidak diduga- duga oleh Goan Ciang, Liu Bi menggerakkan pedangnya dan menusuk pedang itu ke punggung Goan Ciang. Jarak antara mereka sangat dekat dan pedang meluncur dengan kecepatan kilat karena ditusukkan dengan pengerahan seluruh sisa tenaganya.

Andai kata Yen Yen tidak berteriak sekalipun, Goan Ciang sudah dapat menangkap suara angin gerakan itu dan secepat kilat dia mengelak ke samping sambil memutar tubuhnya dan tongkatnya menyambar. Pedang itu menusuk lewat dekat lambungnya, sempat merobek bajunya, akan tetapi ujung tongkatnya dengan tepat sekali menotok pelipis kiri Liu Bi.

“Tukkk!” Tubuh wanita itu terkulai dan ia roboh tewas seketika karena pelipis itu retak dan otaknya terguncang dan terluka parah! Suasana menjadi gaduh ketika orang-orang saling bicara sendiri.

“Omitohud! Cu Goan Ciang, di depan pinceng, engkau berani melakukan pembunuhan kejam seperti itu?” seru Lauw In Hwesio sambil bangkit berdiri.

Posting Komentar