“Biar aku yang menguji kepandaian ketua Jang-kiang-pang!” Nenek itu berdiri di depan suaminya, keduanya bertemu pada tongkat mereka, nampaknya suami isteri yang usianya sudah delapan puluh tahun ini lemah. Tay-lek Kwi-ong yang ditantang kakek itu agaknya memandang rendah. Biarpun dia sudah mendengar akan kelihaian Thian Moko, akan tetapi tokoh itu kini sudah tua renta, bagaimana mungkin mampu menandingi kekuatannya yang dahsyat? Biar dia kalahkan kakek ini lebih dulu agar mendapat kesan baik. Diapun bangkit dan melangkah ke tengah panggung.
“Akupun ingin sekali menerima pelajaran dari lo-cian-pwe Thian Moko yang namanya sudah lama kukagumi!” katanya dengan suara lantang.
Akan tetapi Jang-kiang Sianli Liu Bi bersungut-sungut tidak berdiri dari bangkunya. “Aku hanya ingin bertanding melawan Cu Goan Ciang!” teriaknya. “Hayo, Cu Goan Ciang, aku menantangmu untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi Beng-cu, aku atau engkau!”
Sejak tadi Cu Goan Ciang sudah menjadi panas hatinya melihat wanita itu. Teringatlah dia akan kekasihnya, Kim Lee Siang, yang tewas membunuh diri setelah dikorbankan sucinya, diberikan kepada mendiang Khabuli-Ciangkun yang telah dibunuhnya. Mendengar tantangan itu, diapun berkata kepada Pek Mau Lokai, “Lo-cian-pwe, perkenankan saya melayani perempuan jahat itu.” Kini, setelah dia diangkat menjadi ketua Hwa I Kaipang, Cu Goan Ciang tidak lagi menyebut pangcu (ketua) kepada Pek Mau Lokai, melainkan menyebutnya lo-cian-pwe. Mendengar ucapan itu, Pek Mau Lokai mengelus jenggotnya dan mengangguk. Dia tahu bahwa Cu Goan Ciang masih selalu terkenang kepada kekasihnya yang tewas karena ulah ketua Jang-kiang-pang itu.
“Twako, hati-hatilah, ia amat jahat dan curang,” bisik Yen Yen kepada pemuda yang menjadi calon jodohnya dan yang amat dicintanya. Goan Ciang mengangguk, lalu bangkit berdiri dan menuju ke tengah panggung menghadapi ketua Jang-kiang-pang.
Coa Kun segera berseru, “Harap pertandingan diatur agar satu lawan satu. Kami minta agar nona Liu Bi dan Cu Goan Ciang mundur dulu menanti giliran, karena lebih dahulu akan diuji kepandaian antara lo-cian-pwe Thian Moko melawan Tay-lek Kwi-ong. Semua yang hadir menyetujui dan berteriak-teriak minta kepada dua orang muda itu untuk mundur. Terpaksa Cu Goan Ciang dan Liu Bi mundur kembali ke bangku masing-masing.
Kini, semua mata ditujukan kepada kakek loyo yang berhadapan dengan raksasa Tay-lek Kwi-ong. Dilihat begitu saja, tentu kakek itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus! Dia sudah begitu tua sehingga tertiup angin yang agak keras saja sudah dapat terpelanting.
Bagaimana mungkin melawan seorang bertubuh raksasa seperti Tay-lek Kwi-ong?
Tay-lek Kwi-ong agaknya dapat merasakan apa yang dipikirkan semua orang, maka diapun merasa agak malu harus menandingi seorang kakek loyo seperti itu, maka setelah berhadapan satu lawan satu, diapun menjura dan berkata dengan nada mengejek, “Lo-cian-pwe, apakah tidak sebaiknya kalau lo-cian-pwe mundur saja? Lo-cian-pwe sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu, sebaiknya kalau menghabiskan sisa waktu yang tak berapa lama lagi di rumah saja, menerima pelayanan anak cucu, dan mengalah kepada aku yang lebih muda.” Ucapan itu seperti membujuk, pada hal mengandung ejekan yang menyakitkan hati.
“Eh-heh-heh, Tay-lek Kwi-ong, kaukira engkau mampu mengalahkan aku? Kekuatanmu seperti angin kosong belaka. Betapapun kuatnya angin, mana mampu merobohkan sebatang pohon cemara yang nampak lemas dan lemah? Heh-heh, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu!”
“Hemm, orang tua renta, engkau sendiri yang mencari penyakit. Nah, sambutlah seranganku ini!” Tay-lek Kwi-ong membentak, kini tidak sungkan lagi karena kakek tua renta itu tadi telah memandang rendah kepadanya dan semua orang mendengar kata-katanya. Maka, dengan niat merobohkan kakek itu dengan sekali pukul, dia mengerahkan tenaga dan tangannya yang lebar itu dengan jari-jari terbuka menyambar dan menampar ke arah kepala lawan. Angin bersiut keras ketika tangan kanan itu menyambar ke arah telinga Thian Moko, dan agaknya sebelum telapak tangan itu sendiri mengenai sasaran, lebih dahulu angin pukulan yang keras membuat tubuh kakek itu mendoyong! Akan tetapi, justeru karena tubuhnya mendoyong itulah maka lemparan tangan Tay-lek Kwi-ong luput! Nampaknya saja demikian, akan tetapi sesungguhnya, kakek yang berpengalaman dan lihai itu memang mempergunakan kelembutan untuk mengalahkan kekasaran. Seperti juga sebuah penggada besar yang kokoh kuat tidak mungkin dapat memukul sehelai bulu yang ringan melayang-layang, demikian pula serangan-serangan yang dilancarkan raksasa itu tak pernah dapat menyentuh Thian Moko yang terkekeh-kekeh dengan suaranya yang tinggi. Dan setelah belasan kali serangan lawan tidak mampu menyentuhnya, mulailah Thian Moko sambil mengelaj menggerakkan tongkatnya. Dan begitu kakek itu membalas serangan lawan dengan tongkat, Tay-lek Kwi- ong menjadi repot bukan main! Ujung tongkat butut itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya dan setiap ujung tongkat mengancam dengan totokan maut ke arah jalan darah di tubuhnya.
“Heh-heh-heh!” kakek itu terkekeh dan ujung tongkatnya menyambar ke arah mata kanan Tay-lek Kwi-ong. Raksasa ini terkejut sekali dan nyaris matanya menjadi korban dicongkel ujung tongkat. Dia melempar tubuh ke belakang dan terjengkang, lalu bergulingan dan begitu dia meloncat bangkit, tangannya sudah mencabut sebatang golok besar. Wajahnya yang tertutup brewok itu kemerahan dan matanya yang lebar membikin melotot, kemudian dengan gerengan seperti seekor harimau terluka, diapun menerjang ke depan sambil memutar golok besarnya.
Namun, bantuan senjata berat dan besar itu sama sekali tidak mampu menolongnya. Seperti juga serangan kedua tangannya tadi, serangan goloknya tidak ada yang menyentuh tubuh lawan. Kakek itu seolah terdorong lebih dahulu oleh angin sambaran golok, seperti sehelai bulu melayang yang tak pernah terkena hujan bacokan, dan sebaliknya, ujung tongkat itu terus menerus mengancam jalan darahnya.
“Tukk!” Akhirnya ujung tongkat itu menotok jalan darah dekat siku kanan dan Tay-lek Kwi- ong berteriak, lengan kanannya lumpuh dan golok besar itupun terlepas dari tangannya. Pada saat itu, ujung tongkat sudah bergerak cepat menotok ke arah pinggir lutut kirinya dan sekali lagi Tay-lek Kwi-ong berteriak lalu roboh terguling, dan terus bergulingan sampai akhirnya dia terjatuh ke bawah panggung! Tepuk sorak menyambut kemenangan Thian Moko yang amat mudah ini. Tay-lek Kwi-ong dengan susah payah bangkit, lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu, tidak berani menoleh lagi karena dia merasa malu bukan main.
Dikalahkan oleh seorang kakek tua renta yang sudah loyo. Bayangkan saja!
Thian Moko tertatih-tatih kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Coa Kun dengan gembira. “Suhu telah mengalahkan tanpa membunuhnya, tepat seperti pesan Yauw-Ciangkun. Terima kasih, suhu,” katanya.