Coa Leng Si yang berpakaian serba hijau, gadis yang gagah dan cantik murid Bouw In Hwesio itu segera bangkit dari tempat duduknya dan suaranya terdengar nyaring, “Pihak Siauw-lim-pai sungguh bersikap tidak adil dan tidak wajar. Suhu tadi sudah mengatakan bahwa dia bukan lagi seorang hwesio Siauw-lim dan hal ini berarti dia boleh berbuat sekehendak hatinya. Kalau suhu melakukan perbuatan yang jahat, boleh saja Siauw-lim-pai merasa tersinggung dan merasa tercemar nama baiknya. Akan tetapi, suhu menjadi calon Beng-cu, kedudukan terhormat di dunia kang-ouw. Sepantasnyalah Siauw-lim-pai merasa ikut bangga karena suhu adalah bekas hwesio Siauw-lim-pai, bukan malah melarang dan menentang tanpa alasan!”
Para tamu banyak mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu, dan Lauw In Hwesio segera menjawab, “Omitohud... kalau benar Bouw In Suheng menyatakan tidak lagi menjadi anggota Siauw-lim-pai, tentu kami juga tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadinya!”
Kini Bouw In menjawab sambil tersenyum tenang. ‘Ha, agaknya engkau lupa bahwa engkau telah bersikap sama sekali tidak adil, sute Lauw In Hwesio! Aku tahu bahwa Cu Goan Ciang adalah muridmu, berarti dia murid Siauw-lim-pai pula. Akan tetapi kenapa engkau tidak menentang dia menjadi calon Beng-cu? Cu Goan Ciang itu muridmu, berarti murid Siauw- lim-pai juga, bukan? Apakah diapun harus keluar dari keanggotaannya di Siauw-lim-pai, abru boleh mengikuti pemilihan Beng-cu ini?”
Diserang seperti itu, Lauw In Hwesio tertegun. Dia menghela napas panjang dan berkata dengan suara mengeluh, “Omitohud...! Engkau tahu bahwa pinceng bicara demi kebaikanmu sendiri, suheng. Suheng pernah menjadi tokoh besar Siauw-lim-pai sehingga setiap sepak terjang suheng akan menjadi perhatian dunia persilatan. Adapun Cu Goan Ciang, dia seorang pemuda, tentu lebih berhak untuk mengejar cita-citanya. Engkau sudah tua, suheng, apakah juga masih ingin mengejar kedudukan dan kehormatan sebagai Beng-cu? Akan tetapi, kalau engkau nekat, pinceng juga tidak dapat menghalangimu, pinceng hanya dapat berdoa semoga engkau tidak terseret ke dalam kesesatan dan kehormatan.” Setelah berkata demikian, Lauw In Hwesio duduk kembali di bangkunya dan wajahnya nampak kecewa dan berduka. Bouw In juga duduk dna mukanya agak kemerahan dan dia duduk termenung.
Kini tiba giliran Jang-kiang Sianli Liu Bi, wanita yang cantik dan mewah pesolek itu. Biarpun tidak ada peserta yang mengajukan keberatan terhadap dirinya, namun wanita ini bangkit dari tempat duduknya dan sambil memandang ke arah Cu Goan Ciang, iapun berkata dengan suara tinggi nyaring, “Aku Jang-kiang Sianli Liu Bi bukan orang yang haus akan kedudukan. Aku sudah cukup senang dengan kedudukanku sebagai ketua Jang-kiang-pang dan selama ini dikenal sebagai perkumpulan orang gagah. Kalau sekarang aku mencalonkan diri, hanyalah semata untuk menyaingi dan menantang Cu Goan Ciang! Dia seorang laki-laki yang palsu, tidak bertanggung jawab dan tidak pantas untuk menjadi Beng-cu. Lihat, lengan kiriku buntung karena dia! Dia telah menjadi suamiku, akan tetapi dia tega untuk membuntungi tanganku hanya karena dia cemburu melihat adikku perempuan tidur dengan pria lain!”
Terdengar seruan-seruan mengejek ke arah Cu Goan Ciang yang mukanya berubah merah karena kemarahannya. Ingin dia membantah, ingin dia membongkar rahasia, busuk wanita itu yang telah mengorbankan sumoinya sendiri kepada Khabuli, akan tetapi dia anggap tidak perlu lagi. Biarkan saja perempuan itu bicara sesuka hatinya.
“Perempuan hina tak tahu malu!” katanya dengan lantang. “Tidak perlu kuceritakan dan kubongkar semua rahasia busukmu, semua orang sudah tahu belaka perempuan macam apa engkau ini!” kata Cu Goan Ciang dengan suara dingin.
“Aku tidak haus kedudukan, akan tetapi kalau Cu Goan Ciang yang terpilih, aku akan menentang mati-matian!” teriak Liu Bi.
Terdengar suara tawa yang lembut, namun mengandung getaran kuat sehingga mengejutkan semua orang yang menengok dan melihat ke arah Pek Mau Lokai yang tertawa.
“Ha-ha-ha, ketua Jang-kiang-pang muncul ke sini bukan untuk ikut pemilihan Beng-cu, melainkan untuk urusan dendam pribadi! Kita semua adalah orang-orang dunia persilatan yang menghargai kegagahan dan juga yang berani bertanggung jawab atas perbuatan kita. Kalau Cu Goan Ciang menang dalam pemilihan ini, mendapatkan suara terbanyak, maka tak seorangpun boleh menentangnya. Yang menentangnya akan berhadapan dengan aku, heh-heh! Aku sendiri, biarpun dicalonkan, tidak akan ikut memperebutkan kedudukan Beng-cu, melainkan kuberikan kepada Cu Goan Ciang yang lebih berhak dan lebih pantas menjadi Beng-cu!” Ucapan ini jelas menunjukkan bahwa kakek ini berdiri di belakang Cu Goan Ciang dan akan membelanya.
Terdengar berisik sekali karena semua orang saling bicara menyambut ucapan Pek Mau Lokai itu dan dari kelompok anak buah Hek I Kaipang terdengar teriakan-teriakan, “Jangan pilih pemberontak! Dia akan menyeret kita ke dalam pemberontakan melawan pemerintah! Biar pemberontak mampus!” Teriakan ini mendapat sambutan dari mereka yang memang tidak ingin terlibat dalam pemberontakan, apa lagi mereka yang berbaik dengan para pejabat, seperti para anggota Jang-kiang-pang.
“Jangan pilih penjilat penjajah!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari pihak Hwa I Kaipang.
“Lebih baik gugur sebagai harimau dari pada hidup sebagai babi! Pejuang yang tewas jauh lebih terhormat dari pada penjilat yang gendut! Hidup pejuang, pahlawan nusa bangsa dan mampuslah penjilat dan antek penjajah!”
Suasana menjadi riuh rendah dan gaduh karena terjadi perang mulut antara kedua pihak. Kini mereka tidak merahasiakan lagi isi hati mereka, yaitu sepihak anti pemerintah Mongol dan pihak lain mendukung pemerintah penjajah itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa bergelak. Suara itu kuat sekali, mengaung dan mengalahkan suara gaduh sehingga semua orang memandang dan suasana dengan sendirinya menjadi tenang. Yang tertawa itu adalah Tay-lek Kwi-ong, yaitu raksasa yang juga terpilih sebagai calon Beng-cu. Raksasa tinggi besar ini sudah bangkit berdiri dengan gagahnya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri mengelus brewoknya dan setelah dia tertawa dan suasana tidak segaduh tadi, terdengar dia bicara, suaranya menggeledek dan lantang. “Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali! Kalian semua telah mendengarnya. Kalian akan keliru kalau memilih satu di antara keduanya. Seperti menunggang harimau saja. Turun salah tidak turun juga berbahaya. Memilih yang anti pemerintah berbahaya, memilih yang mendukung pemerintah juga tidak tepat. Paling tepat dan aman adalah memilih aku, Tay-lek Kwi-ong!
Aku akan memimpin dunia kang-ouw menjadi golongan yang bebas, bukan penjilat pemerintah bukan pula pemberontak! Hidup kita akan aman dan tenteram, dan makmur. Kita sejak kecil mempelajari ilmu bukan untuk berperang, bukan untuk menyeret diri ke dalam bahaya, melainkan untuk dapat hidup senang, bukan? Nah, kalau kalian semua memilih aku, aku akan memimpin kalian untuk menuju kepada hidup bahagia itu, dan persetan dengan perjuangan!”
Banyak di antara mereka yang hadir menyambut ucapan si raksasa ini dengan gembira pula, menunjukkan bahwa ucapannya tadi banyak yang menyetujuinya. Sementara itu, Coa Kun dan puterinya ketika mendengar ucapan raksasa itu, otomatis menoleh ke arah dua orang yang duduk di dekat mereka, di kursi kehormatan pula. Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Pemudanya tampan gagah, dan gadis itu cantik jelita. Melihat pakaian mereka, kedua orang ini seperti orang-orang muda hartawan dan terpelajar. Mereka bukan lain adalah Bouw Kongcu atau Bouw Ku Cin dan adiknya, Bouw Mimi atau biasa dipanggil Bouw Siocia. Putera dan puteri Menteri Bayan ini sengaja datang sendiri menonton pemilihan Beng-cu. Biarpun keduanya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan tangguh untuk melindungi diri sendiri, namun tentu saja Yauw-Ciangkun mengkhawatirkan kehadiran mereka di antara tokoh-tokoh kang-ouw itu, maka diam-diam Yauw-Ciangkun mengirim belasan orang jagoan yang secara diam-diam melindungi dua orang muda bangsawan itu. Coa Kun dan puterinya telah diperkenalkan kepada mereka dan kini ayah dan anak itu ingin melihat bagaimana tanggapan dua orang muda bangsawan itu terhadap semua percakapan yang tentu terdengar tidak enak bagi kakak beradik itu. Akan tetapi, Bouw Kongcu yang juga memandang kepada mereka, tersenyum dan mengangguk-angguk.
Coa Kun lalu memberi isarat kepada anak buahnya untuk bersiap-siap. Dari Yauw-Ciangkun, dia telah memperoleh pesan akan siasat yang telah mereka rencanakan dalam pemilihan Beng-cu ini, sesuai dengan pesan Menteri Bayan yang dibawa oleh Bouw Kongcu. Siasat itu
adalah bahwa di dalam pemilihan Beng-cu itu, hanya ada dua pilihan. Pertama, Beng-cu yang dipilih haruslah orang yang mau bekerja sama dengan pemerintah. Kalau tidak berhasil, dari pada Beng-cu dipegang oleh yang anti pemerintah, lebih baik pemilihan digagalkan sehingga dunia kang-ouw akan tetap terpecah belah. Pendeknya, kalau mungkin, dengan Beng-cu pilihan, pemerintah ingin mengulurkan tangan mengajak dunia persilatan bekerja sama. Kalau hal itu tidak terlaksana, maka pemerintah ingin melihat dunia kang-ouw terpecah belah dan terjadi pertentangan dan permusuhan di antara golongan-golongan itu sendiri, karena kalau dunia kang-ouw sampai bersatu dan menentang pemerintah, hal itu dapat berbahaya.
Setelah suara gaduh agak mereda, Coa kun kembali bangkit dan mengangkat kedua lengan ke atas memberi isarat agar semua orang diam dan tidak membuat gaduh. “Saudara sekalian telah mendengarkan pendapat dan penilaian terhadap para calon. Kita semua mengetahui bahwa biarpun kita adalah orang-orang dunia persilatan yang menghargai kegagahan, namun di antara kita terdapat ketidak cocokan dalam hal sikap kita terhadap pemerintah. Ada pihak yang ingin bekerja sama dengan pemerintah memakmurkan kehidupan rakyat, ada pula pihak yang menentang pemerintah, dan ada pula pihak yang tidak pro maupun anti pemerintah.
Pihak pertama diwakili oleh kami dan calon-calon kami adalah lo-cian-pwe Bouw In, dan kedua lo-cian-pwe Huang-ho Siang Lomo. Pihak kedua yang menentang pemerintah diwakili oleh Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang, adapun pihak yang ke tiga adalah Jang-kiang Sianli dan Tay-lek Kwi-ong. Sekarang kita tiba pada saat penentuan siapa yang paling tepat menjadi Beng-cu. Seorang Beng-cu haruslah memiliki ilmu silat yang paling tangguh, dan para calon diharapkan untuk dapat membuktikan bahwa dirinya paling lihai.”
Para pemilih bersorak menyambut pengumuman ini karena memang inilah yang menarik perhatian mereka untuk datang, yaitu menonton pertandingan silat antara orang-orang yang berilmu tinggi!
Pek Mau Lokai bangkit berdiri dan menggerakkan tongkatnya ke atas sehingga terdengar suara mengaung dan membuat semua orang terdiam. Kakek rambut putih itu tersenyum. “Heh-heh, pendapat yang dikemukakan Coa-pangcu tadi menggelikan hatiku. Kalau untuk memilih seorang Beng-cu dipilih orang yang paling kuat dan lihai ilmu silatnya saja, lalu apa bedanya seorang Beng-cu dengan seorang kepala gerombolan penjahat? Kita orang-orang kang-ouw bukanlah sekumpulan penjahat atau tukang pukul yang membutuhkan seorang pemimpin yang hanya pandai ilmu silat saja! Untuk dapat memimpin dunia kang-ouw, memimpin rakyat, dibutuhkan orang yang selain pandai ilmu silat, juga bijaksana, baik budi, adil dan tidak mementingkan diri sendiri, orang yang benar-benar memiliki bakat kepemimpinan. Dan di antara kita semua, hanya Cu Goan Ciang seorang yang memiliki bakat itu. Akan tetapi kalau Coa-pangcu ingin menguji ilmu silat kami, silahkan!”
Mendengar tantangan Pek Mau Lokai, tentu saja Coa Kun tidak berani menyambut. Dia tahu betapa lihainya kakek itu. Baru melawan Cu Goan Ciang saja, murid Lauw In Hwesio yang menjadi calon ke dua dari Hwa I Kaipang, dia tidak mampu menandinginya. Diapun menoleh kepada para jagoannya, yaitu Bouw In dan Huang-ho Siang Lomo, minta bantuan.
Thian Moko yang tinggi kurus, loyo dan bertumpu pada tongkatnya, bangkit dan terdengar suaranya yang kecil menggetar, “Benar sekali ucapan murid kami Coa Kun tadi. Seorang Beng-cu memang harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau Beng-cunya lemah, bagaimana mungkin orang-orang kang-ouw mau taat kepadanya? Sebaiknya pertandingan untuk menguji ilmu kepandaian dimulai saja. Biar aku menguji yang muda-muda lebih dulu. Tay-lek Kwi-ong, majulah sudah lama aku mendengar nama besarmu dan ingin sekali aku melihat sampai di mana kehebatanmu sehingga engkau ingin menjadi Beng-cu!”
Ucapan ini disusul ucapan Tee Moli, isterinya yang pendek gendut dan yang suaranya menjadi kebalikan dari suara suaminya, yaitu parau dan besar.