Khabuli adalah seorang panglima yang selain tinggi besar dan kuat, juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia ahli gulat Mongol, juga dia telah mempelajari berbagai ilmu silat dan sudah banyak pengalamannya dalam perkelahian dan pertempuran. Akan tetapi, sekali ini dia menghadapi Cu Goan Ciang yang bukan saja sudah lihai sekali dengan ilmu andalannya, yaitu Sin-tiauw ciang-hoat (Ilmu Silat Rajawali Sakti), akan tetapi juga selama berbulan-bulan menerima gemblengan yang sungguh-sungguh dari Pek Mau Lokai dan kini dia menguasai ilmu tongkat Hok-mo-tung yang gerakannya aneh dan berbahaya sekali bagi lawan!
Sementara itu, Yen Yen memimpin dua puluh orang anak buah Hwa I Kaipang yang semua mengenakan pakaian dan kedok hitam, mendesak selosin orang prajurit pengawal Mongol. Pertempuran yang berat sebelah terjadi dan akhirnya selosin orang itu dapat dirobohkan semua, walaupun di pihaknya menderita tiga orang luka-luka.
Yen Yen kini hanya menonton perkelahian antara Goan Ciang dan panglima Khabuli. Pemuda itu telah mulai mendesak Khabuli dengan sengit, sedangkan Khabuli yang melihat betapa semua pengawalnya telah roboh, mulai merasa gentar dan permainan pedangnya mulai ngawur. Dia tidak melihat jalan keluar, tidak dapat melarikan diri. Melihat betapa orang-orang yang berpakaian dan berkedok hitam itu mengurung tempat itu, sedangkan dia didesak oleh lawan, dia hanya dapat berlaku nekat dan mati-matian.
“Wuuutt... singg...!!” Pedangnya digerakkan membabi-buta, menyambar dahsyat ke arah kepala Goan Ciang. Gerakan serangan ini sudah ngawur, lebih didorong kenekatan dan kemarahan dari pada gerak jurus yang baik. Goan Ciang merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya dan tongkatnya bergeral cepat menusuk ke arah perut lawan. Biarpun tongkat itu hanya terbuat dari kayu, namun ditangan Goan Ciang yang mengerahkan sin-kang, senjata sederhana itu akan mampu menembus pakaian dan kulit daging dan dapat mematikan, Khabuli maklum akan hal ini, maka diapun melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menghindarkan tusukan, Goan Ciang mengejar, tongkatnya menyambar-nyambar.
“Tukkk!” Tongkat itu cepat sekali berhasil menotok pergelangan tangan kanan Khabuli yang tiba-tiba merasa tangan kanan itu lumpuh sehingga pedangnya terlepas. Ketika dia hendak mengambil pedang yang terjatuh, ujung tongkat menyambar-nyambar ganas sehingga dia terpaksa meloncat ke belakang.
“Pengecut, engkau menghadapi orang yang tidak bersenjata lagi!” bentaknya marah. Gertakannya untuk memanaskan hati lawan ini berhasil menyinggung harga diri dan kegagahan lawan karena mendengar ini, Goan Ciang lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah dan menghadapi panglima Mongol itu dengan tangan kosong pula!
Akan tetapi ternyata hal ini sama sekali tidak menguntungkan Khabuli. Kalau tadi pedangnya masih dapat menandingi tongkat lawan dan dia masih dapat membela diri dengan gigih, kini dia terkejut bukan main karena begitu lawan memainkan Sin-tiauw ciang-hoat, Khabuli terdesak hebat dan dalam belasan jurus saja dia beberapa kali terhuyung.
Dengan nekat, melihat Goan Ciang memiliki gerakan yang seperti seekor burung menyambar- nyambar, dia hendak mengambil kemenangan dengan ilmu gulatnya. Ketika terbuka suatu kesempatan, begitu kedua lengan bertemu ketika dia menangkis tamparan lawan, secepat kilat pergelangan tangannya membalik dengan putaran kuat dan dia sudah berhasil menangkap lengan kanan Goan Ciang. Jari-jari tangannya yang panjang dan kuat itu mencengkeram dan menangkap lengan, memuntirnya dan jari-jari tangan kirinya berhasil pula menjambak rambut kepala Goan Ciang. Dengan satu tarikan saja dia akan dapat menjebol rambut itu atau memuntir patah sambungan tulang lengan lawan. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat tangan Goan Ciang, seperti seekor burung rajawali mematuk, telah menusuk ke arah ubun- ubun kepalanya yang tertutup topi panglima. “Takk...!!” Topi itu tidak ada gunanya melindungi kepala terhadap totokan jari tangan Goan Ciang. Mata Khabuli melotot, mulutnya terbuka dan terdengar suara aneh keluar dari kerongkongannya, cengkeraman kedua tangannya pada lengan dan rambut terlepas dan tubuhnya terjengkang dan tewaslah Khabuli dengan mata melotot dan mulut ternganga. Jari tangan Goan Ciang menembus topi dan panglima itu tewas dengan kepala berlubang!
Yen Yen bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman mereka. Tepuk tangan ini baru menyadarkan Goan Ciang yang berdiri memandangi mayat musuhnya dengan termenung karena dia teringat kepada kekasihnya yang telah tewas. Dalam hatinya dia berdoa agar Kim Lee Siang tidak merasa penasaran lagi.
“Mari kita cepat pergi!” katanya kepada Yen Yen. Mereka lalu meninggalkna tempat itu dengan cepat, membawa tiga orang teman yang terluka.
Tinggal dua orang pemilik kedai yang kini nampak ketakutan. Biarpun mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang yang memakai kedok hitam tadi dan mereka tidak tersangkut urusan perkelahian yang menyebabkan tewasnya pasukan pemerintah, namun kedai mereka telah berubah menjadi tempat pembantaian di mana tiga belas orang pasukan pemerintah kini menjadi mayat, berserakan di kedai mereka! Mereka hanya dapat menangis dan masih menangis ketika pasukan pemerintah datang dari Nan-king mendengar berita tentang pertempuran itu. Dua orang pemilik kedai itu dengan menangis ketakutan, menceritakan apa yang telah terjadi. Untung bagi mereka bahwa yang memeriksa dan menanyai mereka adalah Shu-Ciangkun. Setelah mendengar penjelasan kedua orang pemilik kedai bahwa yang membunuh Khabuli dan selosin anak buahnya adalah dua puluh lebih orang-orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula, dua orang itupun dibebaskan.
Yauw-Ciangkun marah-marah, akan tetapi kepada siapa dia harus marah? Para penyerang itu berkedok hitam, sama seperti si kedok hitam yang pernah mengacau dalam benteng dan membebaskan dua orang tawanan!
“Shu-Ciangkun, engkau harus dapat membasmi gerombolan kedok hitam ini. Kalau tidak dapat terbasmi dalam waktu sebulan, aku akan menganggap bahwa engkau telah gagal membersihkan daerah ini dari gangguan para pemberontak. Aku yakin bahwa gerombolan kedok hitam itu pasti golongan pemberontak, bukan sekedar gerombolan penjahat biasa.”
Shu Ta memberi hormat. “Baik, Ciangkun. Saya akan melakukan pembersihan dan dalam waktu sebulan, saya berjanji bahwa gerombolan kedok hitam itu tidak akan ada lagi di daerah ini!”
Shu Ta dapat menduga siapa yang melakukan pembunuhan terhadap Khabuli dan anak buahnya. Siapa lagi yang membunuh perwira Mongol dan pasukannya dengan menggunakan kedok hitam kalau bukang suhengnya? Dan diapun mengerti apa maksud suhengnya. Tentu penggunaan kedok hitam itu untuk membebaskan dia dari kecurigaan! Diam-diam dia mengutus A Sam untuk menemui pimpinan Hwa I Kaipang dan minta agar semua kegiatan para pejuan dihentikan dan agar tidak lagi muncul kedok hitam di Nan-king. Dia sendiri memimpin pasukan dan melakukan penggeledahan di semua rumah penduduk di kota besar Nan-king dan sekitarnya, sengaja menangkap beberapa orang yang dicurigai untuk kemudian dibebaskan kembali karena tidak ada bukti bersalah. Akan tetapi hasilnya, biarpun tidak dapat menangkap seorang pemberontakpun, hanya menangkapi beberapa orang penjahat yang memang sudah lama dicari petugas keamanan, ternyata semenjak Shu-Ciangkun melakukan pembersihan, tidak pernah lagi muncul di Nan-king! Hal ini tentu saja membuat Shu Ta semakin dipercaya, dan pangkatnya dinaikkan sehingga kini dia menjadi wakil komandan pasukan di Nan-king, yaitu pembantu utama dari Yauw-Ciangkun!
Perubahan siasat yang diperintahkan Menteri Bayan kepada para pejabat daerah di Nan-king, dilaksanakan dengan baik. Semenjak Panglima Shu Ta yang kini menjadi wakil komandan Nan-king mengadakan pembersihan terhadap gerombolan kedok hitam, tidak pernah lagi terjadi keributan dan seolah-olah terdapat perdamaian tak tertulis antara para pemberontak dan pemerintah. Tidak ada lagi kekacauan dilakukan para pejuang, dan juga pasukan pemerintah tidak pernah lagi mengadakan pembersihan untuk membasmi pemberontak.
Kehidupan di Nan-king dan sekitarnya nampak tenteram dan tenang.
Untuk melaksanakan siasat mendekati dunia kang-ouw agar dapat membantu pemerintah, maka dilaksanakan pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) atau juga pemimpin dunia kang- ouw. Undangan untuk pemilihan Beng-cu ini diadakan oleh Hwa I Kaipang dan Hek I Kaipang. Memang pandai sekali siasat yang dilakukan pemerintah, Hek I Kaipang mengirim utusan mencari Pek Mau Lokai dan tokoh tua Hwa I Kaipang ini diundang untuk mengadakan pertemuan dengan Coa Kun, ketua Hek I Kaipang. Dalam pertemuan ini, Coa Kun mengajak Pek Mau Lokai untuk menghentikan pertentangan antara kedua perkumpulan pengemis dan bersama-sama menyelenggarakan pemilihan Beng-cu. Pek Mau Lokai maklum bahwa kalau undangan terhadap para tokoh kang-ouw dilakukan atas namanya, maka tentu akan mendapat perhatian para tokoh kang-ouw, apa lagi masih ada nama Coa Kun, sebagai ketua Hek I Kaipang ikut pula mengundang.
Pek Mau Lokai dan Cu Goan Ciang serta Tang Hui Yen, maklum bahwa Hek I Kaipang dipergunakan pemerintah Mongol untuk menarik dunia kang-ouw agar mendukung pemerintah. Oleh karena itu, merekapun tidak tinggal diam dan anak buah Hwa I Kaipang telah disebar luas untuk menghubungi para tokoh kang-ouw dan mengingatkan mereka agar jangan sampai terjebak dan diperalat penjajah Mongol yang hendak menggunakan siasat lain untuk menguasai para pemberontak. Semua pihak dapat merasakan bahwa walaupun nampaknya saja terdapat ketenangan dan suasananya penuh damai antara pihak yang pro dan pihak yang anti pemerintah Mongol, agaknya kedua pihak mengadakan kerja sama untuk mengadakan pemilihan Beng-cu, namun dalam pemilihan itu pasti akan terjadi pergolakan dan pertentangan hebat. Diam-diam telah terjadi pengelompokan, yaitu kelompok yang pro dan diperalat pemerintah Mongol, kelompok yang anti penjajahan, dan kelompok yang acuh akan urusan politik melainkan berpamrih untuk keuntungan pribadi saja.
Harapan kedua pihak yang diam-diam bertentangan itu terpenuhi ketika pada hari yang ditentukan, di tempat yang telah dipersiapkan untuk mengadakan pemilihan Beng-cu itu dibanjiri pengunjung. Hampir seluruh kang-ouw di daerah Nan-king ke selatan menghadiri pemilihan itu. Bahkan banyak pula tokoh dari utara dan barat datang sebagai penonton, bukan sebagai pengikut pemilihan.
Adapun pihak Hwa I Kaipang diwakili oleh Pek Mau Lokai sendiri, kakek berusia enam puluh enam tahun yang rambutnya putih riap-riapan itu, kakek yang selalu tersenyum dan matanya yang sipit tajam sinarnya. Semua tokoh kang-ouw juga mengenal baik kakek jangkung kurus ini karena namanya sebagai pendiri dan pemimpin Hwa I Kaipang, sudah terkenal di sepanjang lembah Yang-ce. Bahkan para tokoh besar dunia persilatan juga segan melihat sebatang tongkat butut yang selalu menjadi temannya karena tongkat itu kabarnya tak pernah dikalahkan lawan! Di samping kanan kakek ini duduk seorang gadis yang berusia dua puluh satu tahun, cantik manis dengan tubuhnya yang tinggi ramping, rambutnya hitam tebal digelung ke atas, wajahnya bulat telur manis sekali, dengan sepasang mata indah dan jeli, dagunya runcing dan di sebelah kiri mulutnya membayang lesung pipit. Mulut yang manis itupun selalu tersenyum seperti mulut Pek Mau Lokai, dan memang gadis ini adalah cucu pendiri Hwa I Kaipang itu. Ia adalah Tang Hui Yen yang biasa disebut Yen Yen. Di sampingnya duduk Cu Goan Ciang dengan sikap gagah dan tenang. Para tokoh kang-ouw diam-diam memperhatikan pemuda tinggi tegap yang gagah dan anggunm berwibawa dan pembawaannya seperti seekor rajawali, demikian perkasa dan matanya mencorong tajam.
Semua orang sudah mendengar akan sepak terjang pemuda ini. Dia amat dikenal karena semua orang mendengar betapa pemuda ini berjiwa pahlawan yang menentang penjajahan dengan berani, dan mendengar pula bahwa Cu Goan Ciang menjadi orang buruan pemerintah, namun tak pernah dapat ditangkap karena dia amat cerdik dan pandai mengatur siasat.
Di belakang kursi ke tiga orang wakil Hwa I Kaipang ini duduk pula tiga orang ketua cabang Hwa I Kaipang, yaitu Lee Ti dari cabang barat, Pouw Sen dari cabang timur, dan Kauw Bok dari cabang selatan. Anak buah Hwa I Kaipang juga banyak yang hadir, akan tetapi mereka berbaur dengan para pendatang lainnya dan tidak mengenakan pakaian perkumpulan mereka. Pemilihan ini merupakan pemiihan pemimpin kang-ouw umum, bukan pemimpin perkumpulan, maka mereka tidak mewakili perkumpulan, melainkan sebagai orang-orang kang-ouw. Pula, para pimpinan Hwa I Kaipang memang melarang anak buah mereka mengenakan pakaian baju kembang karena pihak pemerintah sedang mengincar mereka dan kalau mereka mengenakan baju kembang, tentu akan mudah ditangkap.