“Malam ini, setiap satu jam sekali, dari menara harus dibunyikan lonceng lima kali dengan nyaring agar semua penjaga tidak sampai tertidur. Dan setelah lonceng berbunyi, seregu penjaga harus melakukan perondaan memutari tembok benteng dengan mengambil searah jarum jam, dari kanan terus memutar sampai kembali, ke pintu gerbang. Hujan lebatpun, perondaan harus dilakukan! Siapa melanggar, akan dihukum berat! Ingat, aku ikut mendengarkan lonceng itu, dan perondaan harus tepat pada waktunya.” Setelah meninggalkan pesan ini kepada kepala penjaga, yaitu perwira yang bertugas malam itu, Shu-Ciangkun lalu meronda ke tempat tahanan istimewa, di mana malam itu hanya ada dua orang tahanan, yaitu Cu Goan Ciang dan Tang Hui Yen.
Dia memeriksa keadaan ruangan tahanan itu. Ada seorang penjaga di setiap pintu dan tempat itu mempunyai tujuh lapis pintu! Sungguh merupakan tempat yang amat kokoh kuat dan betapapun tinggi tingkat kepandaian seseorang, kalau dia disekap di dalam tempat itu, jangan harap akan mampu meloloskan diri. Di bagian dalam sendiri terdapat tujuh orang penjaga sehingga jumlah mereka dari depan sampai ke dalam ada empat belas orang penjaga. Setiap tiga jam sekali, empat belas orang ini diganti dengan tenaga yang masih baru sehingga tidak mungkin ada yang mengantuk. Kalau ada tahanan hendak melarikan diri, lebih dahulu dia harus membunuh tujuh orang penjaga sebelah dalam itu, lalu dia harus mampu membuka setiap pintu baja sampai tujuh kali, pada hal semua pintu terkunci dari luar, dan harus membunuh setiap orang penjaga. Sebelum dia dapat melakukan ini, si penjaga tentu saja dapat memukul kentungan tanda bahaya dan dalam waktu sebentar saja tempat itu akan dipenuhi pasukan. Tidak, tidak mungkin orang dapat melarikan diri dari situ, betapapun lihainya.
Shu Ta memesan kepada semua penjaga agar malam itu hati-hati melakukan penjagaan dan siapapun juga orangnya, malam itu tidak diperkenankan masuk, kecuali kalau dia sendiri hendak memeriksa tahanan.
Tak lama setelah Shu Ta kembali ke bangunan tempat tinggalnya sendiri dalam perbentengan itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan menyelinap di antara kegelapan bayang-bayang bangunan di dalam benteng itu. Agaknya dia mengenal baik keadaan di situ. Dia menyusup- nyusup dan menghindarkan pertemuan dengan para petugas yang melakukan penjagaan malam itu. Betapapun ketatnya penjagaan karena malam itu turun hujan, maka para petugas agak enggan untuk berhujan-hujan dan mereka hanya berjaga-jaga di pos penjagaan. Tak seorangpun dapat melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya amat cepat itu, apa lagi malam itu amat gelapnya, biarpun hujan turun sejak tadi, langit masih saja gelap.
Setelah tiba di pintu pertama tempat tahanan istimewa, bayangan itu telah berubah menjadi Panglima Shu Ta, berpakaian lengkap. Tentu saja penjaga pintu pertama terkejut melihat munculnya komandan ini. Memang tidak aneh, kalau sang komandan melakukan perondaan, akan tetapi di malam hujan dan gelap dingin seperti itu!
“Buka pintu, aku akan memeriksa tawanan, lalu tutup lagi pintu, kunci dari dalam dan kau ikut mengawalku masuk,” kata sang komandan dengan singkat, namun suaranya mengandung perintah yang tidak boleh dibantah. Penjaga itu tentu saja melaksanakan perintah ini dengan girang bahwa dia disuruh mengawal masuk karena diapun ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan panglima yang bertangan besi terhadap para penjahat itu terhadap dua orang pemberontak yang ditawan. Shu Ta mengulangi perintahnya di pintu-pintu berikutnya, yaitu mengunci pintu kembali dari dalam dan memerintahkan penjaga ikut pula mengawalnya masuk. Sikap ini tentu saja tidak membuat para penjaga itu seujung rambutpun tidak mencurigai panglima ini. Panglima itu menyuruh mereka mengunci pintu dan mengajak mereka ikut masuk. Jelas ini merupakan langkah keamanan dan mereka merasa terhormat dipercaya untuk ikut masuk ke dalam tempat yang sesungguhnya terlarang oleh siapapun kecuali sang komandan dan petugas yang melakukan tugas jaga di dalam.
Tujuh orang penjaga di dalampun merasa heran ketika melihat komandan mereka muncul dikawal tujuh orang penjaga pintu. Kini Shu Ta berada di depan ruang tahanan bersama empat belas orang prajurit penjaga.
“Kalian semua harus berjaga dengan ketat di luar ruangan tahanan. Aku akan memeriksa tahanan dan membujuk mereka agar mengaku. Awas, semua siap, akan tetapi sebelum ada perintah dariku, jangan bergerak. Mereka terbelenggu, tidak perlu mengkhawatirkan aku. Kepala jaga, serahkan kunci-kuncinya kepadaku!”
Seuntai kunci diserahkan kepala jaga kepada Shu Ta, terdiri dari dua kunci pintu baja dan dua buah kunci belenggu kaki tangan dua orang tawanan itu. Setelah sekali lagi memperingatkan mereka untuk berjaga-jaga di luar menanti perintahnya, Shu Ta sendiri membuka pintu ruangan itu. Ketika dia memasuki ruangan itu, Goan Ciang dan Hui Yen yang sejak tadi sudah mendengarkan suara Shu Ta dan mereka berdua sudah siap siaga.
“Panglima Mongol jahanam busuk, mau apa engkau masuk ke sini? Pergi, engkau memuakkan perutku saja!” terdengar Yen Yen berteriak memaki-maki.
“Hemm, panglima Mongol, kami sudah tertawan dan kami siap menerima hukuman mati. Tidak ada gunanya bagi engkau membujuk kami, kami tetap tidak mau membantumu.
Bunuhlah kalau kau mau membunuhku!” kata pula Goan Ciang dengan suara penuh geram.
Sementara itu, Shu Ta sudah mengeluarkan kunci dan membuka belenggu kaki tangan dua orang itu selagi mereka memaki-makinya, dan dia berbisik, “Di luar ada empat belas orang pengawal, kita harus membunuh mereka dengan serentak, suheng. Kalau ada seorang saja yang lolos, kita bertiga takkan dapat lolos, dari sini!”
Goan Ciang sudah dapat mengerti dan dia merangkul Shu Ta. “Baik, sute, mari kita bunuh mereka!”
“Kalian pura-pura masih terbelenggu dan rebah, akan kupanggil mereka semua ke sini,” bisik Shu Ta dan diapun menjenguk keluar dari pintu kamar tahanan dan berteriak, “Kalian semua ke sini, aku membutuhkan bantuan kalian. Semua ke sini, jangan ada yang berada di luar!”
Mendengar perintah ini, empat belas orang penjaga itu seperti berlomba memasuki kamar tahanan. Hal ini tidak aneh karena seorang di antara dua tawanan itu adalah seorang gadis yang amat cantik manis dan mereka mengharapkan untuk dapat memperoleh tugas menggarap gadis itu agar mengaku.
Melihat empat belas orang itu sudah masuk semua, Shu Ta malah melangkah keluar dan menjaga di pintu, seolah menjaga agar dua orang tawanan itu tidak dapat lari keluar. Setelah empat belas orang itu memasuki kamar tahanan sehingga agak berhimpitan, mereka tidak tahu harus berbuat apa karena belum ada perintah. Mereka semua menghadap ke arah pintu sehingga membelakangi dua orang tawanan yang masih rebah miring. Mereka semua menanti perintah dari sang komandan. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tawanan yang tadinya nampak rebah miring dengan kaki tangan terbelenggu, tiba-tiba berloncatan bangun dan begitu kaki tangan mereka bergerak, empat orang penjaga roboh! Yen Yen merampas sebatang tombak, sedangkan Goan Ciang merampas sebatang pedang, lalu kedua orang ini mengamuk dari dalam.
Tentu saja para penjaga itu terkejut setengah mati menghadapi amukan dua orang itu. Mereka tadinya tertegun melihat empat orang rekan mereka roboh, tidak tahu apa yang terjadi. Ketika melihat empat orang itu roboh oleh serangan dua orang tawanan yang tadinya rebah di lantai, mereka tidak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi. Mereka segera mencabut senjata dan melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena tempat itu sempit dan mereka tidak melakukan persiapan, diserang secara mendadak sehingga panik, maka sebentar saja, empat orang roboh lagi oleh tombak Yen Yen yang dimainkan seperti tongkat, dan pedang di tangan Goan Ciang.
Enam orang prajurit, sisa dari empat belas orang itu menjadi semakin panik dan mereka berdesakan hendak keluar dari kamar tahanan. “Ciangkun..., bagaimana ini...?” teriak mereka dengan bingung. Akan tetapi, sambutan yang mereka dapat dari Shu Ta menghilangkan kebingungan mereka, Shu Ta menggerakkan pedang dan membunuh dua orang yang berada paling depan. Tahulah mereka bahwa ini merupakan suatu pengkhianatan dari komandan mereka itu! Empat prajurit membalik dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Goan Ciang dan Hui Yen merobohkan mereka. Habislah empat belas orang itu, roboh semua oleh tiga orang itu. Shu Ta tidak mau mengambil resiko, dia mengajak Goan Ciang untuk melakukan pemeriksaan dengan teliti dan menambah tusukan maut bagi mereka yang belum tewas sehingga mereka yakin bahwa empat belas orang itu sudah tewaas semua.
“Sekarang, dengar baik-baik, suheng. Aku menjadi panglima agar kelak dapat membantumu dari dalam. Engkau dari luar dan aku dari dalam. Bagus, bukan?”
Goan Ciang tidak menjawab, hanya merangkul dan menepuk-nepuk pundak sutenya. “Sekarang, apa yang akan kita lakukan, sute?”
“Nah, perhatikan rencanaku ini. Siasat ini harus dilaksanakan sebaik mungkin karena kalau gagal, membahayakan keselamatan kita dan berarti menggagalkan pula perjuangan kita.” Dia lalu bicara berbisik-bisik namun singkat dan jelas. Setelah Goan Ciang dan Hui Yen mengangguk-angguk mengerti, barulah Shu Ta merasa puas.
“Nah, sekarang aku akan membuka satu demi satu tujuh pintu depan. Bantu aku mengambil kunci-kunci itu dari dalam saku baju para penjaga, suheng. Yang itu, dan itu, dan di sana itu...” Bukan hanya Goan Ciang, juga Hui Yen tanpa diperintah sudah ikut membantu, mencari dan mengambil kunci dari saku baju para penjaga yang ditunjuk dan yang telah menjadi mayat.
Tidak lama kemudian, tujuh lapis pintu itu terbuka semua dari dalam dan yang keluar dari pintu paling luar adalah dua orang prajurit dan seorang berpakaian dan berkedok hitam! Tentu saja si kedok hitam adalah Shu Ta dan dua orang pelarian itu melucuti dan mengenakan pakaian dua orang di antara para prajurit yang tewas. Karena sudah hafal benar akan keadaan dalam perbentengan itu, tentu saja tidak sukar bagi Shu Ta untuk mencari jalan paling aman sehingga mereka dapat mendekati pagar tembok tanpa diketahui seorangpun penjaga.
Dari dalam segerombolan semak Shu Ta mengeluarkan segulung tali yang dipasangi kaitan di ujungnya. Semua terjadi sesuai dengan rencana yang sudah dipersiapkannya sore tadi. Dia mengajak dua orang pelarian itu bersembunyi di belakang semak yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari pagar tembok dan menanti. Hujan masih turun rintik-rintik dan malam gelap sekali. Tak lama kemudian, terdengar bunyi pukulan lonceng dan seperti yang sudah diperintahkan Shu-Ciangkun, beberapa orang peronda lewat.
Goan Ciang dan Hui Yen cepat keluar dari balik semak belukar, berlari mendekati pagar tembok dan Goan Ciang segera melemparkan ujung tali yang ada kaitannya ke atas. Sekali lempar, kaitan itu meluncur ke atas membawa tali dan berhasil menggait tepi pagar di atas. Setelah menarik-narik tali itu dan mendapat kenyataan bahwa kaitannya cukup kuat, dia memberi isarat kepada Hui Yen dan mereka lalu merayap naik melalui tali yang kuat itu. Setibanya di atas pagar tembok, mereka mendekam dan Goan Ciang menarik tali itu ke atas tembok. Tali itu masih mereka butuhkan. Meloncat begitu saja ke bawah dari pagar tembok setinggi itu, mengandung bahaya besar karena di luar pagar tembok masih terdapat banyak penjaga yang selalu melakukan perondaan. Sesuai dengan siasat yang sudah diatur Shu Ta, mereka kini menanti di atas pagar tembok dan memandang ke arah pos penjagaan di depan pintu gerbang benteng. Shu Ta sudah memilih tempat yang paling tepat. Benteng itu terkurung parit yang berisi air dan keadaannya amat berbahaya, sukar untuk dapat diseberangi. Bagian yang dipilih Shu Ta itu dekat dengan pintu gerbang yang merupakan bagian paling sulit dilalui karena banyaknya pasukan yang berjaga. Ketika Goan Ciang dan Hui Yen memperhatikan ke bawah, ternyata di luar pagar tembok di bawah mereka terdapat bangunan kecil seperti pondok berjajar lima. Tempat ini adalah tempat peristirahatan bagi para prajurit yang tidak berjaga, juga menjadi tempat penyimpanan ransum, dapur dan penyimpanan senjata.
Kedua orang pelarian itu ingat benar akan pesan Shu Ta tadi, pesan yang barus dilaksanakan dengan cermat. Sebentar lagi rombongan peronda di atas pagar tembok benteng yang tebal itu akan lewat dan di atas itu tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri. Mereka akan ketahuan, dan kalau ketahuan di atas tembok itu, tentu saja amat membahayakan mereka dan sukar untuk dapat meloloskan diri.
Tiba-tiba terdengar teriakan dan keributan di bawah, sebelah dalam. Tahulah Goan Ciang bahwa sutenya sudah bertindak, sesuai dengan siasat yang telah diaturnya. Shu Ta telah memancing perhatian di sebelah dalam pagar tembok.
“Mari kita turun cepat dan hati-hati,” bisiknya kepada Hui Yen dan diapun melepas gulungan tali yang ujungnya sudah dikaitkan di atas itu, ke bawah. Lalu keduanya merayap turun dengan cepat sehingga mereka dapat tiba di atas atap pondok-pondok itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Akan tetapi, tetap saja ada seorang penjaga yang melihat mereka. Penjaga itu berteriak dan sedikitnya tiga puluh orang prajurit mengepung pondok itu sambil berteriak- teriak. Di antara mereka bahkan ada yang sudah berloncatan ke atas genteng pondok.
Dua orang pertama yang meloncat ke atas genteng, disambut oleh Goan Ciang dan Hui Yen. Mereka terjungkal ke bawah sambil mengaduh. Para prajurit yang berada di bawah menjadi gempar. Kini banyak orang yang berloncatan ke atas, dan pada saat itu, Goan Ciang dan Hui Yen meloncat turun! Dua orang pelarian ini menyelinap di antara para prajurit yang berteriak- teriak itu dan karena tempat itu gelap, hanya remang-remang saja diterangi lampu gantung dari pondok, maka tentu saja para prajurit menganggap mereka itu kawan sendiri.